Minggu, 22 November 2015

SEORANG OCEANOGRAFER MASUK ISLAM

Mr. Costeau pun berkata bahwa Alquran memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.Dream - Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton acara TV 'Discovery Chanel', pasti mengenal sosok Mr. Jacques Yves Costeau. Ia adalah seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka asal Prancis. Orang tua berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke berbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat film dokumenter tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton oleh seluruh dunia. Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba Jacques Yves Costeau menemukan beberapa kumpulan mata air tawar segar yang sangat sedap rasanya karena tidak bercampur dengan air laut yang asin di sekelilingnya. Seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya. Fenomena ganjil itu membuat bingung Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari tahu penyebab terpisahnya air tawar dari air asin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berpikir, jangan-jangan itu hanya halusinasi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut. Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Alquran tentang bertemunya dua lautan (surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez. Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laayabghiyaan�" Artinya: "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing." Kemudian dibacakan pula surat Al Furqan ayat 53, yang berbunyi: "Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al-Furqan: 53) Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diartikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" Artinya, "Dari keduanya keluar mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak ditemukan mutiara. Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Alquran itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Ia pun berpikir, Alquran ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahwa Alquran memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam. (Sumber: kisahmuallaf.com) Takjub dengan Alquran, Profesor Bulgaria Peluk Islam Shah Rukh Khan dan Perjuangan Muslim India Profesor Austria Peluk Islam Setelah Tahu Keajaiban Wudu Usai Tes Kejiwaan, Pemuda AS Peluk Islam Keraguan Pada Media AS Jadi Pengantar Pria Ini Pelajari Islam Kapten Shindy, Muslimah Penjaga Toleransi di AL Australia

Minggu, 11 Oktober 2015

MU'AWIYAH

AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH

Inspirasi Kota Ilmu

 

Beranda Ibrahim Amini TEOSOFI ▼

Minggu, 26 Juli 2015

Muawiyah melaknat Imam Ali lalu Aswaja (Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah) Sunni bilang si pengutuk adil..., Kenapa Anda masih tetap berkeras membela musuh islam dan membenarkan tindakan mereka dengan istilah islah?




Kenapa Mu’awiyah  tidak  menjadi kafir  zindiq padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat  Imam Ali – Fatimah – Hasan dan  Husain ??

Kenapa Mu’awiyah hadisnya diterima lalu dianggap tsiqah dan adil padahal  dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat  Imam Ali – Fatimah – Hasan dan  Husain ??

Banyak kitab sejarah  mencatat bahwa  “Khalifah Bani Umayyah memerintahkan pemuka agama untuk melaknat   Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Pemerintah Bani Umayyah menyuruh khatib khatib untuk melaknat keluarga Ali”, contoh :
Kitab Al Ahdats karya Ali Al Madini (gurunya Bukhari).Tarikh Ibnu Asakir jilid 4 halaman 69.Tarikh Ibnu Ishaq.Tarikh Ibnu Khaldun  3/55-58.Musnad Ahmad jilid 1 halaman 188.Mustadrak Al Hakim  jilid 1 halaman 358.
Abi Sa’id al-Khudri berkata:
“Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah Saw keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah.”.

Abu Sa’id melanjutkan: 

Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai khotbah Id-nya sebelum shalat. Kukatakan padanya: “Demi Allah kalian telah rubah.” “Wahai Aba Sa’id” Tukas Marwan, “Telah sirna apa yang kau ketahui” Kukatakan padanya: “Demi Allah, apa yang kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui.” Kemudian Marwan berkata lagi: “Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya.”.[1]

 

Coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani merubah Sunnah Nabi. Itu dikarenakan Bani Umaiyah (yang mayoritasnya adalah sahabat Nabi) terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar- mimbar masjid. Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan oleh para khatib.

 

Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Muawiyah tidak segan-segan

memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U’dai beserta para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan hidup-hidup.  

 

“Kesalahan” mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.


Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Ada empat hal dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:

Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus.Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi Saw bersabda: “Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi rajam.Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.[2]

 

Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merubah Sunnah Nabi ini dengan mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa mendengarnya.

 

Nah, sahabat jenis apa yang berani merubah Sunnah Nabinya, bahkan hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya sebagaimana kepada Rasul-Nya.

Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk mencintainya hingga Nabi Saw bersabda: 

Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak.“.[3]

 

Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merubahnya. Mereka berkata, kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh sejarah.

 

Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad Saw telah membunuh “Harun-nya” (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya serta para Syi’ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka.

 

Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka paksa untuk melakukan hal yang serupa. Demi Allah, sangat mengherankan ketika membaca buku-buku referensi kitab ahl-Sunnah yang memuat berbagai Hadits yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah Hadits-Hadits lain yang mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain.

 

Sehingga Nabi Saw bersabda:

“Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.[4]

 

Atau sabdanya:

“Engkau dariku dan aku darimu”.[5]

 

Dan sabdanya lagi:

“Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak”.[6]

 

Sabdanya:

“Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”.[7]

 

Dan sabdanya:

“Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku.[8]

 

Dan sabdanya:

“Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya dan musuhilah mereka yang memusuhinya.[9]

 

Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi Saw dan yang diriwayatkan oleh para ulama ahl-Sunnah dengan sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura tidak tahu akan Hadits ini, lalu mencacinya, memusuhinya, melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?

 

Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali) beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan dan A’mr bin A’sh dan sebagainya.

 

Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir.

Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan “Radhiallahu Anhum”, bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali.

 

Sehingga ada yang berkata, “Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan“. Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya.

 

Rasululah Saw telah bersabda:

“Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka.[10]

 

Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah tertutup rapat?

 

Anas bin Malik berkata:

“Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari (hukum) shalat.” Kemudian dia bertanya: “Tidakkah kalian kehilangan sesuatu di dalam shalat?”

 

Az-Zuhri pernah bercerita:

“Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik. Saat itu beliau sedang menangis. “Apa yang menyebabkan Anda menangis?”, tanyaku. “Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini. Itupun telah kusia-siakan.” Jawab Anas.[11]

 

Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para Tabi’inlah yang merubah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah fitnah, perselisihan dan serta peperangan, ingin kunyatakan di sini bahwa orang pertama yang merubah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin Affan. Begitu juga Ummul Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Rasulullah Saw menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qashar). Begitu juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Utsman. Setelah itu Utsman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat.”[12]

 

Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Zuhri berkata: 

 “Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat dalam perjalanan musafirnya?”

“Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Utsman”[13] jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di hadapan nas-nas Nabi yang sangat jelas, bahkan dihadapan nas-nas Al-Qur’an, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya.

 

Beliau pernah berkata: 

Dua mut’ah yang dahulunya (halal) dan dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman bagi orang yang melaksanakannya[14], (bertamattu’ dalam haji dan nikah mut’ah pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi tidak memperoleh air untuk mandi, “Jangan sembahyang”

.

Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6: 

… Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih”.

 

Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Idza Khofa al-Junub A’la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut: 

Kudengar Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?” Abdillah menjawab, “dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air.” Abu Musa bertanya lagi, “bagaimana pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada Ammar dalam masalah yang sama ini?” Abdullah menjawab, “Umar tidak begitu yakin dengan itu.” Abu Musa melanjutkan, “lalu bagaimana dengan ayat ini, (al-Maidah: 6)?” Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia berkata, “apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila udaranya dirasakan dingin. ” Kukatakan pada Syaqiqbahwa Abdillah sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiq pun mengiakan”.

 

Kesaksian Sahabat atas Diri Mereka

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada kaum Anshar: “Suatu hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku. Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan Rasul-Nya di telaga haudh.” Anas berkata, “Kami tidak sabar.“.[15]

 

Ala’ bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: “Aku berjumpa dengan Barra’ bin A’zib ra. Kukatakan padanya, “berbahagialah Anda karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai’atnya di bawah pohon (bai’ah tahta syajarah). Barra’ menjawab, “wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya.”.[16]

 

Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin dan pernah membai’at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan “sesuatu” sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran yang disabdakan oleh Nabi Saw bahwa sebagian dari sahabatnya akan berpaling darinya sepeninggalnya.

 

Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah menyalahi nas dan akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.

 

—————————————

Referensi:

Shahih Bukhari jil. 1 hal. 122.Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal. 106.Shahih Muslim jil. 2 hal. 61Shahih Bukhari jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109.Shahih Bukhari jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Shahih Ibnu Majahjil. 1 hal. 44Shahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306.Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 126.Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281.Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi hal. 81; ar-Riyadh an Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-Suyuti hal. 73.Shahih Bukhari jil.l hal.74Shahih Bukhari jil. 2 hal. 154; Shahih Muslim jil. 1 hal. 260Shahih Muslim jil. 2 hal.134.Shahih Bukhari jil. 1 hal. 54Shahih Bukhari jil. 2 hal. 135Shahih Bukhari jil.3 hal. 32.(islamquest/hauzahmaya/syiahali/ABNS)



Salam WarahmahPosted via Blogaway

NIKAH MUT'AH

Sayyed Mahsyar Sayyed Mahsyar

18 jam · 

Tinjauan Referensi
Nikah Mut’ah merupakan sebuah perdebatan yang cukup rumit. Sebagian kaum muslim mengharamkan dan sebagian membolehkan. Tampaknya pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini adalah pendapat yang hampir mayoritas umat Islam pada masa awal. Di dalam Al-Qu’an terdapat dalam Surat An-Nisa’: 24. Ayat ini diturunkan untuk menetapkan syariat nikah mut’ah. Keterangan lebih rinci silahkan merujuk pada kitab-kitab berikut: 
Kitab Tafsir Perihal Mut’ah:
1. Tafsir Al-Qurthubi, jilid 5, halaman 130.
2. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, halaman 474.
3. Tafsir Ar-Razi, jilid 3, halaman 200 dan 201, cetakan Al-Amirah, Mesir.
4. Tafsir Ath-Thabari, jilid 5, halaman 9, cetakan lama.
5. Tafsir Abi Sa`udah, catatan pinggir tafsir Ar-Razi, jilid 3, halaman 251.
6. Tafsir An-Naisaburi, catatan pinggir Ath-Thabari, jilid V, halaman 18.
7. Tafsir Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari, jilid 1, halaman 498, cet Bairut.
8. Tafsir Al-Khazi, jilid 1, halaman 357.
9. Tafsir Al-Alusi, jilid V, halaman 5.
10. Tafsir Al-Baidhawi, jilid 1, halaman 259.
11. Tafsir Ibnu Hiyan, jilid 3, halaman 218.
12. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, jilid 2, halaman 140.
13. Tafsir Nailul Awthar, jilid VI, halaman 270 dan 275.
14. Tafsir Al-Baidhawi, catatan pinggir Tafsir Al-Khazin jilid 1, halaman 423.
15. Syarah Shahih Muslim, oleh An-Nawawi, bab Nikah Muth’ah, jilid 9, halaman 140.
16. Sunan Al-Baihaqi, jilid VII, halaman 205.
17. Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, halaman 305.
18. Musnad Ahmad, jilid 4, halaman 346, cetakan lama.
19. Bidayatul Mujtahid, jilid 2, halaman 178.
20. Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 7, halaman 497 dan 498.
21. Al-Idhah oleh Ibnu Syadzan, halaman 440.
22. Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash, jilid 2, halaman 178.
23. Az-Zuwaj Al-Muwaqqat fil Islam, halaman 32 dan 33.
24. Al-Bayan, oleh Al-Khu’i, halaman 313.
25. Ath-Tharaif, Ibnu Thawus, halaman 459.
26. At-Tashil, jilid 1, halaman137.
27. Al-Jawahir, jilid 30, halaman 148, cetakan Najef.
28. Kanzul Irfan, jilid 2, halaman 2, halaman151.
29. Al-Mut’ah, Al-Fukaiki.
30. Dalailul Shidqi, Al-Mudhaffar, jilid 3.
31. Al-Fushulul Muhimmah wal Masailul Fiqhiyyah, Syarafuddin Al-Musawi.
32. Al-Ghadir, jilid 6, halaman 229-235.
33. Ahkamul Qur’an, Abu Bakar Al-Andalusi Al-Qadhi, jilid 1, halaman 162.

Sahabat dan Tabi’in yang menghalalkan Mut’ah:

1. Imran bin Hushain, silahkan buka:
1. Shahih Muslim, kitab haji,jilid 1,halaman 474.
2. Shahih Bukhari, kitab tafsir Surat Al-Baqarah, jilid 7,halaman 24,cet tahun
1277H.
3. Tafsir Al-Quthubi,jilid 2,halaman 265;jilid 5,halaman 33.
4. Tafsir Ar-Razi,jilid 3,halaman 200 dan 202, cet. Pertama.
5. Tafsir An-Naisaburi,catatan pinggir tafsir Ar-Razi 3/200.
6. Tafsir Ibnu Hiyan, jilid , halaman 218.
7. Sunan Al-Kubra,Al-Baihaqi,jilid 5,halaman 20.
8. Sunan An-Nasa’i,jilid 5, halaman 155.
9. Musnad Ahmad,jilid 4, halaman 436,cet.pertama, dengan sanad yang shahih.
10. Fathul Bari,jilid 3,halaman 338.
11. Al-Ghadir,jilid 6, halaman 198-201.
12. Al-Mihbar,Ibnu Habib,halaman 289.
13. Al-Mut’ah,Al-Fukaiki,halaman 64.
14. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 124.

2. Jabir bin Abdullah Al-Anshari silahkan buka:
1. Umdatul Qari,Al-’aini’,jilid 8,halaman 310.
2. Bidayatul Mujatahid,Ibnu Rusyd,jilid 2,halaman 58.
3. Shahih Muslim,kitab nikah,bab nikah mut’ah,jilid 1,halaman 39.
4. Musnad Ahmad,jilid 3,halaman 380.
5. Tibyanul Haqaiq,syara Kanzud Daqaiq.
6. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 206.
7. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 205,206,208,dan209-211.
8. Jami’ul Ushul,Ibnu Atsir.
9. Taysirul Wushul,Ibnu Daiba,jilid4,halaman 262.
10. Za’dul Ma’ad,Ibnu Qayyum,jilid1,halaman 144.
11. Fathul Bari,Ibnu hajar,jilid 9,halaman 141dan 150;jilid 9,halaman
172 dan174, cet. Darul Ma’rifah.
12. Kanzul Ummal,jilid 8,halaman 294,cet.pertama.
13. Catatan pinggir Al-Muntaqa,Al-Faqi,jilid 2, halaman 520.
14. Al-Muhalla,Ibnu hazm,jilid 9,halaman 519.
15. Nailul Awthar,jilid 6,halaman 270.
16. As-Sarair,halaman 311.
17. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
18. Mustadrakul Wasail,jilid 2,halaman 595.
19. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 124.
20. Al-Mut’ah,Al-Fukaiki,halaman 44.
21. Al-Mushannaf,abdurrazzaq,jilid 7,halaman 497.
22, Ajwibah Masail Musa Jarullah,Syarafuddin Al-Musawi,halaman 111.

3. Abdullah bin Mas’ud, silahkan buka:
1. Shahih Bukhari, kitab nikah mut’ah; Shahih Muslim,jilid 4,halaman 130.
2. Ahkamul Qur’an,Al-Jashshash,jilid 2,halaman 184.
3. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 200.
4. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5, halaman 130.
5. Tafsir Ibnu Karsir, jilid 2, halaman 87.
6. Ad-Durul Mantsur,jilid 2, halaman 207, menukil darai 9 Huffazh.
7. Al-Ghadir, jilid 6, halaman 220.
8. Al-Muhalla, Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
9. Al-Bayan,Al-Khu’i,halaman 320.
10. Za’dul Ma’ad,jilid 4, halaman 6; jilid 2,halaman 184.
11. Syarhul Muwaththa’, Az-Zarqani, catatan pinggir Al-Munraqa, jilid 2,halaman 520.
12. Syarhul Lum’ah,jilid 5,halaman 282.
13. Fathul Bari,jilid 9,halaman 102 dan 150; jilid 9, halaman 174,cet. Darul Ma’rifah
14. Syarhun Nahji, Al-Mu’tazili, jilid 12,halaman 254.
15. As-Sarair, halaman 311.
16. Al-Jawahir, jilid 30, halaman 150.
17. Mustadrakul Wasail ,jilid 2,halaman 595.

4. Abdullah bin Umar.
At-Tirmidzi meriwatyatkan dalam kitab Shahihnya, dari Ibnu Umar,ia ditanya oleh seorang laki – laki dari penduduk Syam tentang Nikah mut’ah maka ia menjawab: “Nikah mut’ah itu halal.”Kemudian laki-laki itu berkata,:”Tetapi ayahmu telah melarangnya.” Maka ia berkata :”Bila kamu telah mengetahui,ayahku melarangnya, sedangkan Rasulullah SAW membolehkannya, apakah kamu akan menunggalkan sunnah Rasul lalu mengekitu ayahku.”
Riwayat ini juga diriwayatkan oleh :
1. Ath-Tharaif,Ibnu Thawus,halaman 460,cet.Qum.
2. Syarhul Lum’ah,Asy-Syahid Tsani,jilid 5,halaman 283.
3. Jawahirul Kalam,An-Najafi,jilid 30,halaman 145.
4. Dalailush Shidqi,jilid 3,halaman 97.

5. Muawiyah bin Abi sofyan, silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla,Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
2. Umdatul Qari, al-’Aini,jilid 8, halaman 310.
3.Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2, halaman 520.
4. Al-Bayan, Al-Khu’i,halaman 314.
5. Ath-Tharaif,Ibnu Thawus,halaman 458.
6. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
7. Jawahirul Kalam, jilid 30,halaman 150.
8. Syarhul Muwaththa’,Az-Zarqani.
9. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 496 – 499.
10. Fathul Bari, jilid 9,halaman 174,cet.Darul ma’rifah.

6. Abu Said Al-Khudri,silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla, jilid 9, halaman 519.
2. Umdatul Qari,jilid 8, halaman 310.
3. Catatan pinggir Al-Munraqa,jilid 2,halaman 520.
4. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abl Hadid,jilid 12/254.
5. Fathul Bari,jilid 9, halaman 174.
6. As-Sarair, Ibnu Idris,halaman 311.
7. Al-Bayan,Al-Khu’i, halaman 514.
8. Al-Ghadir, jilid 6, halaman208 dan 221.
9. Jawahirul Kalam,jilid 30, halaman 150.
10. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam, halaman 125.
11. Musnad Ahmad, jilid 3, halaman 22.
12. Majma’uz Zawaid, jilid 4, halaman 264.
13. Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 7, halaman 571.
14. Al-Mughni, Ibnu Qudamah,jilid 7, halaman 571.

7. Salamah bin Umayah bin Khalf, silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla, jilid 9,halaman 519.
2. Syarhul Muwaththa’, Az-Zarqani.
3. Al-Ishabah, jilid 2,halaman 63.
4. Catatan pinggir, Al-Muntaqa, jilid 2, halaman 520.
5. Al-Bayan, halaman 314.
6. Al-Ghadir, jilid 6, halaman 221.
7. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
8. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 314

8. Ma’bad bin Muawiyah, silahkan buka:
1. Al-Muhalla,jilid 9,halaman 519.
2. Syarhul Muwatha’, Az-Zarqani.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
5. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
6. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 137.
7. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq,jilid 7,halaman 499.Dan dalam diterangkan bahwa
Ma’bad dilahirkan dari nikah mut’ah.
8. Fathul Bari, jilid 9,halaman 174.

9. Zubair bin Awwam,ia melakukan nikah mut’ah dengan Asma’ puteri Abu Bakar,dan melahirkan anak bernama Abdullah. Silahkan rujuk:
1. Al-Muhadharat,Al-Raghib Al-Isfahani,jilid 2,hal.94.
2. Al-Iqdu Al-Farid,jilid 2,halaman 139.
3. Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 208 dan 209.
5. Murujudz Dzahabi,jilid 3, halaman 81.
6. Az-Zuwaj Al-Muaqqat fil Islam,halaman 101 dan 127.
7. Syarah Najul Balaghah,Ibnu Abil Hadid,jilid 20/130.

10. Khalid bin Muhajir bin Khalid Al-Makhzumi,rujuk:
1. Shahih Muslim, kitab nikah, bab nikah mut’ah ,jilid 4,halaman 133,cet. Al-Amirah.
2. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 205.
3. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
4. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 205.

11. Amer bin Huraits, silahkan rujuk:
1. Fathu Bari,jilid 9,halaman 141; jilid 11/76.
2. Kanzul Ummal,jilid 8,halaman 293.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.
4. Al-Bayan,halaman 314.
5. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
6. Shahih Muslim,kitab nikah,bab nikah mut’ah,jilid 4,halaman 131.
7. Al-Mushanaf,jilid 7,halaman 500.Dan dalam kitap ini tertulis Amer bin Hausyab, penyimpan dari Aner bin Hiraits.

12. Ubay bin Ka’b,silahakan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari,jilid 5,halaman 9, tentang bacaan Ubay ”Ila ajalinMusamma”(dalam ayat mut’ah).
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
3. Al-Jawahir,jilid 30,halaman150.
4. Ahkamul Qur’an,,Al-Jshshash, jilid 2, halaman 147.

13. Rabi’ah bin Umayah,silahkam rujuk:
1. Al-Muwaththa’, Al-Maliki,jilid 2,halaman 30.
2. As-Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 206.
3. Al-Umm,Asy-Syafi’i,jilid 7,halaman 219.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
5. Musnad Asy-Syafi’i, halaman 132.
6. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 503.
7. Al-Jawahir,jilid 30,halaman 150.
8. Al-Ishaba,jilid 1,halaman 514.
9. Tafsir As-Suyuthi,jilid 2,halaman 141.
10. Ajwiba Masail Musa Jarullah, Syarafuddin Al-Musawi, halaman 116.

14. Sumair,dan bisa jadi Sammarah bin Jundab, silahkan rujuk:
1. Al-Ishabah,Ibnu Hajar, jilid 2,halaman 519.
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.

15. Said bin Jubair,silahkan rujuk:
1. Al-Muhalla,Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
2. Tafsir Ath-Thabari,jilid 5,halaman 9.
3. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 221.
4. Tafsir Ibnu Katsir.
5. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 496.
6. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Habil Hadid,jilid 12/254.

16. Thawus Al-Yamani, silahkan rujuk:
1.Al-Muhalla, jilid 9,halaman 915.
2. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.
3. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
4. Al-Mughni,Ibnu Qudamah,jilid 7,halaman 571.

17. ‘Atha’ Abu Muhammad Al-Madani,silahkan rujuk:
1. Al-Mushannaf,jilid 7,halaman 497.
2. Bidayatul Mujtahid,Ibnu Rusyd,jilid 2,halaman 63.
3. Al-Muhalla,jilid 9, halaman 519.
4. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
5. Ad-Durul Mantsur,jilid 2,halaman 140.
6. Mukhtashar Jami’Bayan Al-Ilmi,halaman 196, sebagaimana dikutip di dalam Ajwibah masail Musa Jarullah,halaman 105. Silahkan rujuk: Dirasat wal Buhuts fit Tarikh wal Islam jilid 1/14,tetapi Sa’udi membuang riwayat ini dari kitab Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi ketika dicetak pada tahun 1388.H.

18. As-Sudi, Silahkan rujuk:
1. Tafsir As-Sudi.
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.
3. Tafsir Ibnu Katsir.

19. Mujahid,silahkan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari,jild 5,halaman 9.
2. Al-Ghadir, jilid 6,halaman 222.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
4. Syarah Nahjul Bajaghah, Ibnu Hadid, jilid 12/254.

20. Zufar bin Aus Al-Madani,silahkan rujuk:
1. Bahrur Raiq,Ibnu Najim,jilid 3, halaman 115.
2. Al-Ghadir,jilid 6,halaman 222.

21. Abdullah bin Abbas,silahkan rujuk:
1. Tafsir Ath-Thabari,jilid 5, halaman 9.
2. Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash,jilid 2,halaman 147.
3. Sunan Al-Baihaqi,jilid 7,halaman 205.
4. Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari,jilid 1,halaman 519.
5. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5,halaman 130 dan 133.
6. Al-Muhalla,Ibnu Hazm,jilid 9,halaman 519.
7. Al-Mughni,Ibnu Qudamah,jilid 9,halaman 571.
8. Fathul Bari,jilid 9,halaman 172, cet. Darul Ma’rifah.

22. Asma’ puteri Abu Bakar,silahkan rujuk:
1. Musnad Ath-Thayalisi, hadis 1637.
2. Al-Muhalla,Ibnu Hazm, jilid 9,halaman 519.
3. Syarah Nahjul Balaghah,Ibnu Abil Hadid,jilid 20/130.

Ibnu Hazm, dalam kitabnya Al-Muhalla 9/519, setelah manetapakan jumlah sahabat yang membolehkan nikah mut’ah, ia berkata: Ini diriwayatkan dari Jabir dan seluruh sahabat sejak masa Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan sampai pertengahan masa kekhalifahan Umar. Kemudian ia berkata: Dari tabi’in adalah Thawus, Said bin Jubair dan seluruh fuqaha Mekkah. Abu Umar, penulis kitab I-Isti’ab berkata, bahwa sahabat – sahabat Ibnu Abbas dari penduduk Mekkah dan Yaman, semuanya memandang nikah mut’ah adlah halal menurut mazhab Ibnu Abbas, sementara semua manusia mengharamkan. Silahkan rujuk:

1. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5,halaman 133.
2. Fathul Bari,jilid 9,halaman 142,cet. Darul Ma’rifah.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya 5/132 berkata : penduduk Mekah banyak mempraktekan nikah mut’ah. Ar-Razi dalam tafsirnya 3/200, tentang ayat mut’ah berkata: mereka berbeda pendapat dalam hal apakah ayat itu dimanskh atau tidak ? Para tokoh Ummat mayoritas mengatakan dimansukh dan sebagian mereka mengatakan tidak dimansukh, hukumnya tetap berlaku sebagaimana adanya. Iman Malik bin Annas adalah salah seorang Fuqaha Ahlus sunnah yang membolehkan nikah mut’ah . Silahkan rujuk kitab – kitab berikut: Al-Mabsuth,As-sarkhasi; Syarah Kanzud Daqaiq; Fatawa Al-Faraghi;Khizatur Riwayat, Al-Ghadi,Al-Kafi fil furu’ Al-Hanafiyah;’Inayah Syarhul Hidayah; Syarah Al-Muwaththa’, Az-Zarqani; Al-Ghadir 6/222-223;dan tafsir Al-Qurthubi, jilid 5, halaman 130.

Ada beberapa pendapat:
Pendapat Pertama: HARAM. Mut`ah sebagai perbuatan zina dan keji. Berarti Nabi saw pernah membolehkan sahabatnya melakukan perbuatan zina dan keji.

Pendapat kedua: MUBAH, sebagai bantahan pada pendapat pertama. Kapan dimansukh oleh Nabi saw? Ayat apa yang memansukhnya?
Dalam kelompok ini ada beberapa pendapat.
1. Dimansukh oleh Surat Al-Mu’minun: 5-7
2. Dimansukh oleh ayat tentang iddah yaitu Surat Ath-Thalaq: 1
3. Dimansukh oleh ayat tentang waris yaitu Surat An-Nisa’: 12
4. Dimnsukh oleh ayat tentang muhrim (orang-orang yang haram dinikahi) yaitu Surat An-Nisa’: 23
5. Dimansukh oleh ayat tentang batasan jumlah istri yaitu Surat An-Nisa’: 3
6. Dimansukh oleh hadis Nabi saw.

Terhadap pendapat yang pertama: Tidak sesuai dengan hukum nasikh-mansukh, karena Surat An-Nisa’: 24 (tentang nikah mut`ah) ayat Madaniyah sedangkan Surat Al-Mu’minun: 5-7 ayat Makkiyah. Tidak ayat Makkiyah menasikh ayat Madaniyah.

Terhadap pendapat ke 2, 3, 4, dan ke 5: Hubungan Surat An-Nisa’: 24 dengan ayat-ayat tersebut bukan hubungan Nasikh-Mansukh, tetapi hubungan umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad (mutlak dan terbatas). Memang sebagian ulama Ushul figh mengatakan bahwa jika yang khusus diikuti oleh yang umum dan berlawanan dalam penetapan dan penafian, maka yang umum menasikh yang khusus. Tetapi menggunakan kaidah dalam masalah ini sangat lemah dan tidak sesuai dengan pokoh persoalannya.

Misalnya ayat tentang Iddah sifat umum dan terdapat di dalam Surat Al-Baqarah sebagai awal surat Madaniyah, diturunkan sebelum surat An-Nisa’ yang di dalam terdapat ayat tentang nikah mu`ah. Demikian juga ayat tentang batasan jumlah istri, dan muhrim terdapat di dalam Surat An-Nisa’ sebagai pengantar ayat tentang nikah mut`ah saling berkaitan satu sama lain. Semua ayat itu bersifat umum, dan ayat tentang nikah mut`ah sebagai ayat yang bersifat khusus diakhir dari yang umum. Bagaimana mungkin pengantar menasikh penutup pembicaraan.

Wabil khusus, pendapat yang mengatakan ayat tentang Iddah menasikh ayat nikah mut`ah sama sekali tidak berdasar, karena hukum iddah itu berlaku juga dalam nikah mut’ah selain di dalam nikah permanen. Demikian juga pendapat yang mengatakan ayat tentang muhrim menasikh ayat nikah mu`ah, semuan perempuan yang haram dinikahi saling berkaitan dan tak terpisahkan dengan segala bentuk pernikahan baik permanen maupun mut`ah. Bagaimana mungkin pengantar pembicaraan menasikh penutupnya. Lagi pula ayat tersebut tidak menunjukkan larangan hanya terhadap nikah permanen.

Pendapat yang keenam: Ayat nikah mut’ah dimasukh oleh hadis Nabi saw. Pendapat ini sama sekali tidak berdalil, karena secara mendasar ia bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir yang menjelaskan Al-Qur’an, dan riwayat-riwayat yang merujuk kepada Al-Qur`an.

Siapakah yang menghapus Nikah Mut’ah?

Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Kami melakukan nikah mut`ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum, beberapa hari pada zaman Rasulullah saw dan khalifah Abu Bakar, sehingga Umar melarangnya karena kasus Amer bin Huraits.Dalam Ad-Durrul Mantsur, Malik dan Abdurrahman meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa pada suatu hari Khawlah binti Hakim datang dan melapor kepada Umar bin Khattab: Sesungguhnya Rabi`ah bin Umayyah melakukan mut`ah dengan seorang perempuan hingga ia hamil. Kemudian Umar keluar dari rumahnya sambil menarik-narik bajunya dan berkata: Inilah akibat mut`ah, kalau sekiranya aku sudah membuat keputusan tentangnya sebelumnya, niscaya aku rajam ia. Dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad meriwayatkan dari `Atha`, ia berkata: Setelah Jabir bin Abdullah selesai melakukan umrah, kami berkunjung ke rumahnya, ketika itu ada sekelompok orang bertanya kepadanya tentang sesuatu, kemudian mereka menyebutkan mut`ah. Jabir berkata: Kami melakukan mut`ah pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Menurut riwayat dari Ahmad, sehingga akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam Sunan Al-Baihaqi, dari Nafi`, dari Abdullah bin Umar, ketika ia ditanya tentang nikah mut`ah, ia berkata: Nikah mut`ah itu haram menurut Umar, dan sekiranya ada orang yang melakukannya, ia pasti merajamnya dengan batu.

Dalam Sunan Al-Baihaqi: Jabir berkata, Umar berdiri kemudian berkata: sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang diinginkan dengan apa yang diinginkan, maka hendaknya kamu menyempurnakan haji dan umrah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, dan hentikan melakukan nikah ini, tidak ada seorang pun laki-laki yang menikahi perempuan dengan waktu yang ditentukan kecuali aku rajam dia. Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dari Umar bin Khattab, dalam khutbahnya ia berkata: Dua mut`ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut`ah haji dan nikah mut`ah. Wallahu a’lam bi showaab



Salam WarahmahPosted via Blogaway

Rabu, 07 Oktober 2015

SALMAN AL-FARISI

Minggu, 23 Agustus 2015

BANGSA PARSI YANG DI PUJI ALLAH DAN RASUL TETAPI DI CERCA OLEH UMAT ISLAM






SALMAN AL FARISI
Nama asal beliau Rouzbeh
Seorang dari keturunan Parsi/Iran lahir di kota Kazerun, Fars, Iran.
Seorang dari keterunan kaya raya.
Ayahnya amat menyayangi beliau sehingga menjaga beliau seperti di penjara.
Ringkas cerita dari seorang penyembah api (Majusi).
Beliau berusaha untuk keluar mencari agama dan akhirnya sampai ke Madinah.
Bertemu dengan Rasul saw dan memeluk Islam,
Salaman terkenal dengan peristiwa Perang Khandaq.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Ramai kita suka melakukan pendustaan dan memfitnah Iran.
Namun Rasul saw memuji bangsa Parsi.
Malangnya kejahilan umat Islam sekarang lupa akan pesanan dalam Al Quran siapa bangsa Parsi yang Allah kasih mereka dan mereka kasih pada Allah.

Kejahilan umat Islam lupa bahawa bangsa Parsi adalah bangsa yang di sebut akan menggantikan bangsa Arab sekarang yang berpaling dari agama sebenar kerana tidak menggunakan akal dalam mencari kebenaran sebenar.

Bangsa yang sering di cerca sekarang tetapi tidak takut akan orang cerca mereka. Sekarang ini sudah berlaku realiti apa yang di sebut jelas dalam Al Quran.
Tapi mari kita lihat dalam beberapa hadis mengenai orang orang Parsi yang di puji oleh Rasul saw tetapi di cerca oleh majoriti umat Islam sekarang.


Ketika mana Rasul membaca: “Dan jika kamu berpaling (daripada beriman, bertaqwa dan berderma) Dia akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain; setelah itu mereka tidak akan berkeadaan seperti kamu." (Surah Muhammad ayat 38).

Sahabat bertanya,"Siapakah mereka yang akan menggantikan kami?"
Rasul saw menjawab sambil memegang bahu Salman Al Farisi "Dia dan kaumnya. Demi Dia yang nyawaku di tanganNya, jika agama ini tergantung di bintang-bintang, kaum lelaki dari bangsa Parsi pasti akan mengambilnya.” “[Tafsir al-Mizan, v. 18, p. 250].

Dalam suatu kisah lain: 
Abu Hurairah yang berkata, “Kami sedang duduk bersama para sahabat Rasulullah saw ketika Surah Jumuah turun kepada baginda lalu baginda membacakan ayat: ” … Dan juga (telah mengutuskan Nabi Muhammad kepada) orang-orang yang lain dari mereka, yang masih belum datang …”

Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw sebanyak dua atau tiga kali tetapi baginda tidak menjawab. Bersama kami adalah Salman al-Farisi. Rasulullah saw berpaling kepadanya dan meletakkan tangan baginda ke atas paha Salman seraya bersabda, “Sekiranya iman berada di bintang Suraya sekalipun, nescaya lelaki dari bangsa ini yang akan mencapainya.” (Sahih Muslim, Kitab al-Fada’il as-Sahabah hadis 6178 dan Sahih Bukhari, Kitab Tafsir, Jilid 5, halaman 108).

Dalam suatu kisah yang lain:
Seterusnya Rasulullah (sawa) apabila ditanya tentang ayat ini:
“Hai orang-orang beriman, barangsiapa yang murtad di antara kamu dari pada agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Allah mengasihi mereka dan mereka mengasihi Allah, mereka lemah lembut terhadap orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir. Mereka berjuang pada jalan Allah, dan tidak takut akan cerca orang yang mencerca. Demikian itu kurnia Allah, diberikan kepada sesiapa yang dikehendakinya, Allah luas kurnianya lagi maha mengetahui.” (Al Maidah :54)

Baginda bersabda:
Jika agama ini tergantung di bintang-bintang, kaum lelaki dari bangsa Parsi pasti akan mengambilnya.[Majma`a al-Bayan, v. 3 p. 321].



MAQAM SALMAN AL FARISI DI DAERAH KELAHIRANNYA


SELEPAS ANDA MEMBACA TULISAN BLOG INI MAKA TERPULANGLAH PADA ANDA SEKELIAN SAMADA MAU MENERUSKAN CERCAAN DAN FITNAH ATAU SEBALIKNYA PADA BANGSA PARSI YANG DI PUJI RASUL SAW . 

SAMADA ANDA MEMAHAMI DAN BERIMAN ATAU SEBALIKNYA,
PADA SURAH AL MAIDAH YANG MENCERITAKAN, 
PERIHAL BANGSA PARSI YANG MENGGANTIKAN, 
BANGSA ARAB YANG KINI PENUH DENGAN KEJAHILAN.

(Jalan-Itrah/ABNS)



Salam WarahmahPosted via Blogaway

Kamis, 01 Oktober 2015

IMAM JA'FAR AS-SHADIQ AS

ayyed Mahsyar Sayyed Mahsyar

2 jam · 

Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s.
A. Biografi Singkat Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s.
Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s. dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabi'ul Awal 83 H. Ayahnya adalah Imam Muhammad Baqir a.s. dan ibunya adalah Ummu Farwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Namanya adalah Ja'far, julukannya adalah Ash-Shadiq dan panggilannya adalah Abu Abdillah.
Ia syahid di Madinah diracun oleh Manshur Ad-Dawaniqi pada tanggal 25 Syawal 148 H. dalam usianya yang ke-65 tahun. Ia dikuburkan di pekuburan Baqi'.

b. Program-program Imam Shadiq a.s. (dalam Menyebarkan Islam)
Imam Shadiq a.s. telah memusatkan seluruh tenaga dan pikirannya dalam bidang keilmuan, dan hasilnya, ia berhasil membentuk sebuah "hauzah" pemikiran yang telah berhasil mendidik fuqaha` dan para pemikir kaliber dunia. Dengan demikian, ia telah meninggalkan warisan ilmu yang sangat berharga bagi umat manusia. Di antara murid-muridnya yang ternama adalah Hisyam bin Hakam, Mukmin Ath-Thaaq, Muhammad bin Muslim, Zurarah bin A'yan dan lain sebagainya.
Gebrakan ilmiah Imam Shadiq a.s. telah berhasil menguasai seluruh penjuru negeri Islam sehingga keluasan ilmunya dikenal di seluruh penjuru negara dan menjadi buah bibir masyarakat.
Abu Bahar Al-Jaahizh berkata: "Imam Shadiq telah berhasil menyingkap sumber-sumber ilmu di muka bumi ini dan membuka pintu ilmu pengetahuan bagi seluruh umat manusia yang sebelumnya belum pernah terjadi. Dengan ini, ilmu pengetahuannya menguasai seluruh dunia".
Tujuan utama kegiatan ilmiah dan budaya Imam Shadiq a.s. adalah menyelamatkan umat manusia dari jurang kebodohan, menguatkan keyakinan mereka terhadap Islam, mempersiapkan mereka untuk melawan arus kafir dan syubhah yang menyesatkan dan menangani segala problema yang muncul dari ulah penguasa waktu itu.
Usaha Imam Shadiq a.s. tersebut --dari satu sisi-- adalah untuk melawan arus rusak akibat situasi politik yang terjadi pada masa dinasti Bani Umaiyah dan Bani Abasiyah. Penyelewengan akidah yang terjadi pada masa itu banyak difaktori oleh penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India, dan bermunculannya aliran-aliran berbahaya seperti Ghulat, kaum zindiq, pemalsu hadis, ahlur raiy dan tasawuf. Aliran-aliran inilah yang telah menyiapkan lapangan bagi tumbuhnya banyak penyelewengan saat itu. Imam Shadiq a.s. melawan mereka, dan dalam bidang keilmuan, ia mengadakan dialog terbuka dengan mereka sehingga alur pemikiran mereka diketahui oleh khalayak ramai.
Dan dari sisi lain, ia juga --dengan usahanya tang tak kenal lelah-- telah berhasil menyebarkan akidah yang benar dan hukum-hukum syariat, memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan mempersiapkan para ilmuwan guna mendidik masyarakat.
Imam Shadiq a.s. menjadikan masjid Rasulullah SAWW di Madinah sebagai pusat kegiatan. Masyarakat datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru untuk menanyakan berbagai masalah dan mereka tidak pulang dengan tangan kosong.
Di antara "figur-figur" yang pernah menimba ilmu dari Imam Shadiq a.s. adalah Malik bin Anas, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan Asa-Syaibani, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu 'Uyainah, Yahya bin Sa'id, Ayub As-Sijistani, Syu'bah bin Hajjaj, Abdul Malik bin Juraij dan lain-lain.
Imam Shadiq a.s. memerintahkan kepada para pengikutnya untuk tidak berlindung kepada penguasa zalim dan melarang mereka untuk mengadakan kerja sama dalam bentuk apa pun dengannya. Ia juga mewasiatkan kepada mereka untuk melakukan taqiyah supaya para musuh tidak menyoroti gerak-gerik mereka.
Imam Shadiq a.s. menganjurkan kepada semua masyarakat untuk mendukung perlawanan yang dipelopori oleh Zaid bin Ali melawan dinasti Bani Umaiyah. Ketika berita kematian Zaid bin Ali sampai ke telinganya, ia sangat terpukul dan sedih. Ia memberikan santunan kepada setiap keluarga yang suaminya ikut berperang bersama Zaid bin Ali sebesar 1000 Dinar. Begitu juga, ketika pemberontakan Banil Hasan a.s. mengalami kekalahan total, ia sangat sedih dan menyayangkan ketidakikutsertaan masyarakat dalam pemberontakan tersebut. Meskipun demikian, ia enggan untuk merebut kekuasaan. Hal ini ditangguhkannya sehingga umat betul-betul siap untuk mengadakan sebuah perombakan besar-besaran, ia dapat menyetir alur pemikiran yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan dapat memperbaiki realita politik dan sosial yang sudah betul-betul bobrok.

c. Imam Shadiq a.s. dalam Kaca Mata Orang Lain
Fuqaha` dan para ilmuwan yang hidup pada masa Imam Shadiq a.s. serta mereka yang hidup sesudah itu memujinya dengan penuh keagungan dan keluasan ilmu pengetahuan. Mereka antara lain:
a. Abu Hanifah, pemimpin dan imam mazhab Hanafiah. Ia berkata: "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih alim dari Ja'far bin Muhammad". Dalam kesempatan lain ia juga berkata: "Jika tidak ada dua tahun (belajar kepada Ja'far bin Muhammad), niscaya Nu'man akan celaka". Nama asli Abu Hanifah adalah Nu'man bin Tsabit.
b. Malik, pemimpin dan imam mazhab Malikiah. Ia pernah berkata: "Beberapa waktu aku selalu pulang pergi ke rumah Ja'far bin Muhammad. Aku melihatnya selalu mengerjakan salah satu dari tiga hal berikut ini: mengerjakan shalat, berpuasa atau membaca Al Quran. Dan aku tidak pernah melihatnya ia menukil hadis tanpa wudhu`".
c. Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: "Karena ilmunya sering dinukil oleh para ilmuwan, akhirnya ia menjadi buah bibir masyarakat dan namanya dikenal di seluruh penjuru negeri. Para pakar (fiqih dan hadis) seperti Yahya bin Sa'id, Ibnu Juraij, Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Abu Hanifah, Syu'bah dan Ayub As-Sijistani banyak menukil hadis darinya".
d. Abu Bahar Al-Jaahizh berkata: "Ilmu pengetahuan Ja'far bin Muhammad telah menguasai seluruh dunia. Dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri adalah muridnya, dan hal ini cukup untuk membuktikan keagungannya".
e. Ibnu Khalakan, seorang sejarawan terkenal menulis: "Dia adalah salah seorang imam dua belas mazhab Imamiah dan termasuk salah seorang pembesar keluarga Rasulullah yang karena kejujurannya ia dijuluki dengan ash-shadiq. Keutamaan dan keagungannya sudah dikenal khalayak ramai sehingga tidak perlu untuk dijelaskan. Abu Musa Jabir bin Hayyan Ath-Thurthursi adalah muridnya. Ia menulis sebuah buku sebanyak seribu halaman yang berisi ajaran-ajaran Ja'far Ash-Shadiq dan memuat lima ratus pembahasan".

d. Keberhasilan Imam Shadiq a.s. dalam Membentuk Sebuah Tatanan Masyarakat Baru di Balik Berkecamuknya Situasi Politik
Masa Imam Shadiq a.s. adalah masa melemahnya pemerintahan Bani Umaiyah dan menguatnya kekuatan Bani Abasiyah. Dua kelompok ini saling tarik-menarik kekuatan dan berperang demi merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Sejak Hisyam bin Abdul Malik berkuasa, perang politik Bani Abasiyah sudah dimulai. Pada tahun 129 H. mereka mulai mengadakan pemberontakan bersenjata, dan akhirnya, pada tahun 132 H. mereka mencapai kemenangan. Pada masa-masa itu Bani Umaiyah sedang menghadapi berbagai problema politik sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengadakan penekanan serius terhadap Syi'ah. Bani Abasiyah pun karena mereka ingin merebut kekuasaan atas nama membela keluarga Rasulullah SAWW dan membalas dendam atas darah mereka yang sudah terteteskan, mereka tidak berani mengadakan penekanan terhadap para pengikut Ahlul Bayt a.s.
Atas dasar ini, periode tersebut adalah sebuah periode tenang bagi Imam Shadiq a.s. dan para pengikutnya meskipun sangat relatif. Ia menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya dengan memulai sebuah gebrakan kebudayaan yang tidak tanggung-tanggung. Karena ia yang berhasil menyebarkan fiqih dan ilmu Ahlul Bayt a.s. dengan pesat serta mempermantap hukum dan teologi Syi'ah, akhirnya mazhab Syi'ah dikenal dengan nama mazhab Ja'fari.
Imam Shadiq a.s. menghadapi segala aliran pemikiran dan akidah yang berkembang pada waktu itu. Dengan segala upaya ia telah menjelaskan Islam dan tasyayyu' di hadapan mereka dan berhasil membuktikan keunggulan pemikiran Syi'ah dibandingkan dengan aliran-aliran pemikiran tersebut.
Imam Shadiq a.s. mendidik murid-muridnya sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Hasilnya, setiap orang dari mereka memiliki spesialisasi dalam ilmu-ilmu tertentu, seperti hadis, tafsir, fiqih dan kalam.
Hisyam bin Salim bercerita bahwa pada suatu hari kami duduk di hadapan Imam Shadiq a.s. Tidak lama kemudian seseorang yang berkewarganegaraan Syam minta izin untuk masuk. Setelah ia masuk, Imam berkata kepadanya: "Duduklah! Apa yang kau inginkan?".
Ia menjawab: "Saya mendengar bahwa engkau menjawab semua pertanyaan orang. Aku datang untuk berdebat denganmu".
"Dalam bidang apa?", tanya Imam kembali.
"Dalam bidang bacaan Al Quran", jawabnya pendek.
Imam Shadiq a.s. menoleh kepada Hamran seraya berkata: "Hamran, orang ini adalah milikmu!"
Orang Syam itu kembali berkata: "Aku ingin berdebat denganmu, bukan dengan Hamran".
"Jika engkau dapat mengalahkan Hamran, berarti engkau telah mengalahkanku", ia menimpali.
Dengan terpaksa ia menerima untuk berdebat dengan Hamran. Setiap pertanyaan yang dilontarkan dijawab dengan tegas dan berdalil oleh Hamran hingga akhirnya ia merasa kalah dan kecapaian.
"Bagaimana engkau melihat Hamran?", tanya Imam a.s.
"Sungguh Hamran sangat cerdik. Setiap pertanyaan yang kulontarkan, dijawabnya dengan tepat", jawabnya.
Setelah itu ia berkata kembali: "Saya ingin berdebat denganmu berkenaan dengan bahasa dan sastra Arab".
Imam a.s. menoleh kepada Aban bin Taghlib seraya berkata: "Berdebatlah dengannya!"
Aban pun tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mengelak dan berdalih serta akhirnya ia menyerah.
"Aku ingin berdebat mengenai fiqih denganmu", lanjutnya.
Imam a.s. menoleh kepada Zurarah seraya berkata: "Berdebatlah dengannya!" Ia pun mengalami nasib yang sama.
"Aku ingin berdebat denganmu berkenaan dengan ilmu kalam", katanya lagi.
Imam a.s. menunjuk Mukmin Ath-Thaaq untuk melayaninya. Dan tidak lama kemudian ia pun mengalami nasib yang sama.
Begitulah seterusnya ketika ia meminta untuk berdebat berkenaan dengan masalah kemampuan (seseorang) untuk melakukan kebaikan dan keburukan, tauhid dan imamah, Imam a.s. menunjuk Hamzah Ath-Thayyar, Hisyam bin Salim dan Hisyam bin Hakam untuk melayaninya. Dan mereka dapat melaksanakan tugas mereka masing-masing dengan baik.
Melihat peristiwa yang sangat menyenangkan itu Imam Shadiq a.s. tersenyum bahagia.
Pada kesempatan ini kami haturkan kepada para pembaca budiman hadis-hadis suci pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Shadiq a.s. selama ia hidup.
1. Mengecek diri setiap hari
"Seyogianya setiap muslim yang mengenal kami (Ahlul Bayt) untuk mengecek setiap amalannya setiap hari dan malam. Dengan demikian ia telah mengontrol dirinya. Jika ia merasa berbuat kebaikan, maka berusahalah untuk menambahnya, dan jika ia merasa mengerjakan keburukan, maka beristigfarlah supaya ia tidak hina di hari kiamat".
2.Istiqamah
"Jika Syi'ah kami mau beristiqamah, niscaya malaikat akan bersalaman dengan mereka, awan akan menjadi pelindung mereka (dari terik panas matahari), bercahaya di siang hari, rezekinya akan dijamin dan mereka tidak akan meminta apa pun kepada Allah kecuali Ia akan mengabulkannya".
3.Akibat menipu dan dengki
"Barang siapa yang menipu, menghina dan memusuhi saudaranya (seiman), maka Allah akan menjadikan neraka sebagai tempat kembalinya. Dan barang siapa merasa dengki terhadap saudaranya, maka imannya akan meleleh sebagaimana garam meleleh (di dalam air)".
4.Wara', usaha dan menolong mukminin
"Janganlah kalian terbawa arus mazhab dan aliran! Demi Allah, berwilayah kepada kami tidak akan dapat digapai kecuali dengan wara`, usaha yang keras di dunia, dan menolong saudara-saudara seiman. Dan tidak termasuk Syi'ah kami orang yang menzalimi orang lain".
5.Hasil percaya kepada Allah
"Barang siapa yang percaya kepada Allah, maka Ia akan menjamin segala yang diinginkannya, baik yang berkenaan dengan urusan dunia maupun akhiratnya, dan akan menjaga baginya apa yang sekarang tidak ada di tangannya. Sungguh lemah orang yang enggan membekali diri dengan kesabaran untuk menghadapi sebuah bala`, tidak mensyukuri nikmat dan tidak mengharapkan kelapangan di balik sebuah kesulitan".
6.Praktek akhlak
"Bersilaturahmilah kepada orang yang memutus tali hubungan denganmu, berikanlah orang yang enggan memberimu, berbuat baiklah kepada orang yang berbuat jahat kepadamu, ucapkanlah salam kepada orang yang mencelamu, berbuat adillah kepada orang yang memusuhimu, maafkanlah orang yang menzalimimu sebagaimana engkau juga ingin diperbuat demikian. Ambillah pelajaran dari pengampunan Allah yang telah mengampunimu. Apakah engkau tidak melihat matahari-Nya menyinari orang yang baik dan orang yang jahat dan air hujan-Nya turun kepada orang-orang yang saleh dan bersalah?".
7.Pelan-pelan!
"Pelankanlah suaramu, karena Allah yang mengetahui segala yang kau simpan dan tampakkan. Ia telah mengetahui segala yang engkau inginkan sebelum kalian meminta kepada-Nya".
8.Surga dan neraka adalah kebaikan dan keburukan sejati
"Segala kebaikan ada di depan matamu dan segala keburukan juga ada di depan matamu. Engkau tidak akan melihat kebaikan dan keburukan (sejati) kecuali di akhirat. Karena Allah azza wa jalla telah menempatkan semua kebaikan di surga dan semua keburukan di neraka. Hal itu dikarenakan surga dan nerakalah yang akan kekal".
9.Wajah Islam
Islam itu telanjang. Bajunya adalah rasa malu, hiasannya adalah kewibawaan, harga dirinya adalah amal saleh dan tonggaknya adalah wara`. Segala sesuatu memiliki asas, dan asas Islam adalah kecintaan kepada kami Ahlul Bayt".
10.Beramal untuk akhirat
"Beramallah sekarang di dunia demi kebahagiaan yang kau harapkan di akhirat".
11.Pahala membantu para pengikut Ahlul Bayt a.s.
"Tidak ada seorang pun yang membantu salah seorang pengikut kami walaupun dengan satu kalimat kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga tanpa hisab".
12.Jauhilah riya`, berdebat dan permusuhan
"Jauhilah riya`, karena sifat riya` akan memusnahkan amalanmu, jauhilah berdebat, karena berdebat itu akan menjerumuskanmu ke dalam jurang kehancuran dan jauhilah permusuhan, karena permusuhan itu akan menjauhkanmu dari Allah".
13.Kebersihan jiwa adalah tolak ukur penentu seorang mukmin
"Jika Allah menghendaki kebaikan atas seorang hamba, maka Ia akan membersihkan jiwanya. Dengan itu, ia tidak akan mendengar kebaikan kecuali ia akan mengenalnya dan tidak melihat kemungkaran kecuali ia akan mengingkarinya. Kemudian Ia akan mengilhamkan di hatinya sebuah kalimat yang akan mempermudah segala urusannya".
14.Meminta afiat kepada Allah
"Mintalah afiat kepada Tuhan kalian. Bersikaplah wibawa, tenang dan milikilah rasa malu".
15.Jiwa doa adalah amal
"Perbanyaklah doa, karena Allah menyukai hamba-hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya. Ia telah menjanjikan kepada mereka untuk mengabulkan (doa-doa mereka). Pada hari kiamat Ia akan menghitung doa-doa mereka sebagai sebuah amalan yang pahalanya adalah surga".
16.Cinta orang-orang miskin
"Cintailah orang-orang miskin yang muslim, karena orang yang menghina dan bertindak sombong terhadap mereka, ia telah menyimpang dari agama Allah dan Ia akan menghinakannya dan murka atasnya. Kakek kami SAWW pernah bersabda: "Tuhanku telah memerintahkanku untuk mencintai orang-orang miskin yang muslim".
17.Akar kekufuran
"Jangan menghasut orang lain, karena akar kekufuran adalah hasud dan iri dengki".
18.Amalan penumbuh benih kecintaan
"Tiga amalan dapat menumbuhkan benih kecintaan: memberi hutang, rendah diri dan berinfak".
19.Amalan penumbuh benih permusuhan
"Tiga amalan penimbul benih permusuhan: kemunafikan, kezaliman dan kesombongan".
20.Tiga tanda untuk tiga orang
"Tiga hal tidak dapat diketahui kecuali dalam tiga kondisi: penyabar tidak akan dikenal kecuali dalam kondisi marah, pemberani tidak akan diketahui kecuali ketika perang dan saudara tidak akan diketahui kecuali ketika (kita) membutuhkan"



Salam WarahmahPosted via Blogaway

Kamis, 27 Agustus 2015

DOA KUMAYL

DUA KUMAYL

The Supplication of Kumayl ibn Ziyad al-Nakha’i, one of the close disciples of Imam AliAmeer al-Momineen(a.s.).

This is one of the well-known supplications. Being the supplication of al-Khadir (a.s.)‘Allamah al-Majlisi says that it is the best of all supplications, which Imam AliAmeer al-Momineen(a.s.) taught to Kumayl, one of his best disciples. Recommendably, the supplication may be said during nights of mid-Sha’ban and every Thursday evening (i.e. the nights before Fridays). It is useful for protecting against the evil of enemies, for opening the gate of sustenance, and for forgiveness of sins. Both Shaykh al-Tusiand Sayyid Ibn Tawus have recorded this supplication; rather, I am quoting it from the book of Misbah al-Mutahajjid as follows:

اَللّهُمَّ اِنّى اَسْئَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتى وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍ وَ بِقُوَّتِكَ الَّتى قَهَرْتَ بِها كُلَّشَىْءٍ وَ خَضَعَ لَها كُلُّ شَىْءٍ وَ ذَلَّ لَها كُلُّ شَىْءٍ وَ بِجَبَرُوتِكَ الَّتى غَلَبْتَ بِها كُلَّ شَىْءٍ وَ بِعِزَّتِكَ الَّتى لا يَقُومُ لَها شَىْءٌ وَ بِعَظَمَتِكَ الَّتى مَلاَتْ كُلَّ شَىْءٍ وَ بِسُلْطانِكَ الَّذى عَلا كُلَّشَىْءٍ وَ بِوَجْهِكَ الْباقى بَعْدَ فَناَّءِ كُلِّشَىْءٍ وَ بِاَسْمائِكَ الَّتى مَلاَتْ اَرْكانَ كُلِّشَىْءٍ وَ بِعِلْمِكَ الَّذى اَحاطَ بِكُلِّشَىْءٍ وَ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذى اَضاَّءَ لَهُ كُلُّشىْءٍ يا نُورُ يا قُدُّوسُ يا اَوَّلَ الاْوَّلِينَ وَ يا اخِرَ الاْ خِرينَ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِىَ الذُّنُوبَ الَّتى تَهْتِكُ الْعِصَمَ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِىَ الذُّنُوبَ الَّتى تُنْزِلُ النِّقَمَ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِىَ الذُّنُوبَ الَّتى تُغَيِّرُ النِّعَمَ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لىَ الذُّنُوبَ الَّتى تَحْبِسُ الدُّعاَّءَ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِىَ الذُّنُوبَ الَّتى تُنْزِلُ الْبَلاَّءَ  اَللّهُمَّ اغْفِرْلى كُلَّ ذَنْبٍ اَذْنَبْتُهُ وَ كُلَّ خَطَّيئَةٍ اَخْطَاْتُها اَللّهُمَّ اِنّى اَتَقَرَّبُ اِلَيْكَ بِذِكْرِكَ وَ اَسْتَشْفِعُ بِكَ اِلى نَفْسِكَ وَ اَسْئَلُكَ بِجُودِكَ اَنْ تُدْنِيَنى مِنْ قُرْبِكَ وَ اَنْ تُوزِعَنى شُكْرَكَ وَ اَنْ تُلْهِمَنى ذِكْرَكَ اَللّهُمَّ اِنّى اَسْئَلُكَ سُؤ الَ خاضِعٍ مُتَذَلِّلٍ خاشِعٍ اَنْ تُسامِحَنى وَ تَرْحَمَنى وَ تَجْعَلَنى بِقَِسْمِكَ راضِياً قانِعاً وَ فى جَميعِ الاْحْوالِ مُتَواضِعاً اَللّهُمَّ وَ اَسْئَلُكَ سُؤالَ مَنِ اشْتَدَّتْ فاقَتُهُ وَ اَنْزَلَ بِكَ عِنْدَ الشَّدآئِدِ حاجَتَهُ وَ عَظُمَ فيما عِنْدَكَ رَغْبَتُهُ اَللّهُمَّ عَظُمَ سُلْطانُكَ وَ عَلا مَكانُكَ وَ خَفِىَ مَكْرُكَ وَ ظَهَرَ اَمْرُكَ وَ غَلَبَ قَهْرُكَ وَ جَرَتْ قُدْرَتُكَ وَ لا يُمْكِنُ الْفِرارُ مِنْ حُكُومَتِكَ اَللّهُمَّ لا اَجِدُ لِذُنُوبى غافِراً وَ لا لِقَبائِحى ساتِراً وَ لا لِشَىْءٍ مِنْ عَمَلِىَ الْقَبيحِ بِالْحَسَنِ مُبَدِّلاً غَيْرَكَ لا اِلهَ اِلاّ اَنْتَ سُبْحانَكَ وَ بِحَمْدِكَ ظَلَمْتُ نَفْسى وَ تَجَرَّأتُ بِجَهْلى وَ سَكَنْتُ اِلى قَديمِ ذِكْرِكَ لى وَ مَنِّكَ عَلَىَّ اَللّهُمَّ مَوْلاىَ كَمْ مِنْ قَبيحٍ سَتَرْتَهُ وَ كَمْ مِنْ فادِحٍ مِنَ الْبَلاَّءِ اَقَلْتَهُ وَ كَمْ مِنْ عِثارٍ وَقَيْتَهُ وَ كَمْ مِنْ مَكْرُوهٍ دَفَعْتَهُ وَ كَمْ مِنْ ثَناَّءٍ جَميلٍ لَسْتُ اَهْلاً لَهُ نَشَرْتَهُ اَللّهُمَّ عَظُمَ بَلاَّئى وَ اَفْرَطَ بى سُوَّءُ حالى وَ قَصُرَتْ بى اَعْمالى وَ قَعَدَتْ بى اَغْلالى وَ حَبَسَنى عَنْ نَفْعى بُعْدُ اَمَلى وَ خَدَعَتْنِى الدُّنْيا بِغُرُورِها وَ نَفْسى بِجِنايَتِها وَ مِطالى يا سَيِّدى فَاَسْئَلُكَ بِعِزَّتِكَ اَنْ لا يَحْجُبَ عَنْكَ دُعاَّئى سُوَّءُ عَمَلى وَ فِعالى وَ لا تَفْضَحْنى بِخَفِىِّ مَا اطَّلَعْتَ عَلَيْهِ مِنْ سِرّى وَلا تُعاجِلْنى بِالْعُقُوبَةِ عَلى ما عَمِلْتُهُ فى خَلَواتى مِنْ سُوَّءِ فِعْلى وَ اِساَّئَتى وَ دَوامِ تَفْريطى وَ جَهالَتى وَ كَثْرَةِ شَهَواتى وَ غَفْلَتى وَ كُنِ اللّهُمَّ بِعِزَّتِكَ لى فى كُلِّ الاْحْوالِ رَؤُفاً وَ عَلَىَّ فى جَميعِ الاُْمُورِ عَطُوفاً اِلهى وَرَبّى مَنْ لى غَيْرُكَ اَسْئَلُهُ كَشْفَ ضُرّى وَالنَّظَرَ فى اَمْرى. اِلهى وَ مَوْلاىَ اَجْرَيْتَ عَلَىَّ حُكْماً اِتَّبَعْتُ فيهِ هَوى نَفْسى وَ لَمْ اَحْتَرِسْ فيهِ مِنْ تَزْيينِ عَدُوّى فَغَرَّنى بِما اَهْوى وَ اَسْعَدَهُ عَلى ذلِكَ الْقَضاَّءُ فَتَجاوَزْتُ بِما جَرى عَلَىَّ مِنْ ذلِكَ بَعْضَ حُدُودِكَ وَ خالَفْتُ بَعْضَ اَوامِرِكَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَىَّ فى جَميعِ ذلِكَ وَ لا حُجَّةَ لى فيما جَرى عَلَىَّ فيهِ قَضاَّؤُكَ وَ اَلْزَمَنى حُكْمُكَ وَ بَلاؤُكَ وَ قَدْ اَتَيْتُكَ يا اِلهى بَعْدَ تَقْصيرى وَ اِسْرافى عَلى نَفْسى مُعْتَذِراً نادِماً مُنْكَسِراً مُسْتَقيلاً مُسْتَغْفِراً مُنيباً مُقِرّاً مُذْعِناً مُعْتَرِفاً لا اَجِدُ مَفَرّاً مِمّا كانَ مِنّى وَ لا مَفْزَعاً اَتَوَجَّهُ اِلَيْهِ فى اَمْرى غَيْرَ قَبُولِكَ عُذْرى وَ اِدْخالِكَ اِيّاىَ فى سَعَةِ رَحْمَتِكَ اَللّهُمَّ فَاقْبَلْ عُذْرى وَارْحَمْ شِدَّةَ ضُرّى وَ فُكَّنى مِنْ شَدِّ وَ ثاقى يا رَبِّ ارْحَمْ ضَعْفَ بَدَنى وَ رِقَّةَ جِلْدى وَ دِقَّةَ عَظْمى يا مَنْ بَدَءَ خَلْقى وَ ذِكْرى وَ تَرْبِيَتى وَ بِرّى وَ تَغْذِيَتى هَبْنى لاِبْتِدآءِ كَرَمِكَ وَ سالِفِ بِرِّكَ بى يا اِلهى وَ سَيِّدى وَ رَبّى اَتُراكَ مُعَذِّبى بِنارِكَ بَعْدَ تَوْحيدِكَ وَ بَعْدَ مَا انْطَوى عَلَيْهِ قَلْبى مِنْ مَعْرِفَتِكَ وَ لَهِجَ بِهِ لِسانى مِنْ ذِكْرِكَ وَاعْتَقَدَهُ ضَميرى مِنْ حُبِّكَ وَ بَعْدَ صِدْقِ اعْتِرافى وَ دُعاَّئى خاضِعاً لِرُبُوبِيَّتِكَ هَيْهاتَ اَنْتَ اَكْرَمُ مِنْ اَنْ تُضَيِّعَ مَنْ رَبَّيْتَهُ اَوْ تُبْعِدَ مَنْ اَدْنَيْتَهُ اَوْ تُشَرِّدَ مَنْ اوَيْتَهُ اَوْ تُسَلِّمَ اِلَى الْبَلاءِ مَنْ كَفَيْتَهُ وَ رَحِمْتَهُ وَ لَيْتَ شِعْرى يا سَيِّدى وَ اِلهى وَ مَوْلاىَ اَتُسَلِّطُ النّارَ عَلى وُجُوهٍ خَرَّتْ لِعَظَمَتِكَ ساجِدَةً وَ عَلى اَلْسُنٍ نَطَقَتْ بِتَوْحيدِكَ صادِقَةً وَ بِشُكْرِكَ مادِحَةً وَ عَلى قُلُوبٍ اعْتَرَفَتْ بِاِلهِيَّتِكَ مُحَقِّقَةً وَ عَلى ضَماَّئِرَ حَوَتْ مِنَ الْعِلْمِ بِكَ حَتّى صارَتْ خاشِعَةً وَ عَلى جَوارِحَ سَعَتْ اِلى اَوْطانِ تَعَبُّدِكَ طاَّئِعَةً وَ اَشارَتْ بِاسْتِغْفارِكَ مُذْعِنَةً ما هكَذَا الظَّنُّ بِكَ وَ لا اُخْبِرْنا بِفَضْلِكَ عَنْكَ يا كَريمُ يا رَبِّ وَ اَنْتَ تَعْلَمُ ضَعْفى عَنْ قَليلٍ مِنْ بَلاَّءِ الدُّنْيا وَ عُقُوباتِها وَ ما يَجْرى فيها مِنَ الْمَكارِهِ عَلى اَهْلِها عَلى اَنَّ ذلِكَ بَلاَّءٌ وَ مَكْرُوهٌ قَليلٌ مَكْثُهُ يَسيرٌ بَقاَّئُهُ قَصيرٌ مُدَّتُهُ، فَكَيْفَ احْتِمالى لِبَلاَّءِ الاْخِرَةِ وَ جَليلِ وُقُوعِ الْمَكارِهِ فيها وَهُوَ بَلاَّءٌ تَطُولُ مُدَّتُهُ وَ يَدُومُ مَقامُهُ وَ لا يُخَفَّفُ عَنْ اَهْلِهِ لاِنَّهُ لا يَكُونُ اِلاّ عَنْ غَضَبِكَ وَاْنتِقامِكَ وَ سَخَطِكَ وَ هذا ما لا تَقُومُ لَهُ السَّمواتُ وَالاَْرْضُ يا سَيِّدِى فَكَيْفَ لى وَ اَنَا عَبْدُكَ الضَّعيفُ الذَّليلُ الْحَقيرُ الْمِسْكينُ الْمُسْتَكينُ يا اِلهى وَ رَبّى وَ سَيِّدِى وَ مَوْلاىَ لاِىِّ الاُْمُورِ اِلَيْكَ اَشْكُو وَ لِما مِنْها اَضِجُّ وَ اَبْكى لاِليمِ الْعَذابِ وَ شِدَّتِهِ اَمْ لِطُولِ الْبَلاَّءِ وَ مُدَّتِهِ فَلَئِنْ صَيَّرْتَنى لِلْعُقُوباتِ مَعَ اَعْدآئِكَ وَ جَمَعْتَ بَيْنى وَ بَيْنَ اَهْلِ بَلاَّئِكَ وَ فَرَّقْتَ بَيْنى وَ بَيْنَ اَحِبّاَّئِكَ وَ اَوْلياَّئِكَ فَهَبْنى يا اِلهى وَ سَيِّدِى وَ مَوْلاىَ وَ رَبّى صَبَرْتُ عَلى عَذابِكَ فَكَيْفَ اَصْبِرُ عَلى فِراقِكَ وَ هَبْنى صَبَرْتُ عَلى حَرِّ نارِكَ فَكَيْفَ اَصْبِرُ عَنِ النَّظَرِ اِلى كَرامَتِكَ اَمْ كَيْفَ اَسْكُنُ فِى النّارِ وَ رَجاَّئى عَفْوُكَ ، فَبِعِزَّتِكَ يا سَيِّدى وَ مَوْلاىَ اُقْسِمُ صادِقاً لَئِنْ تَرَكْتَنى ناطِقاً لاَضِجَّنَّ اِلَيْكَ بَيْنَ اَهْلِها ضَجيجَ الاْ مِلينَ وَ لاَصْرُخَنَّ اِلَيْكَ صُراخَ الْمَسْتَصْرِخينَ وَ لاََبْكِيَنَّ عَلَيْكَ بُكاَّءَ الْفاقِدينَ وَ لاَُنادِيَنَّكَ اَيْنَ كُنْتَ يا وَلِىَّ الْمُؤْمِنينَ يا غايَةَ امالِ الْعارِفينَ يا غِياثَ الْمُسْتَغيثينَ يا حَبيبَ قُلُوبِ الصّادِقينَ وَ يا اِلهَ الْعالَمينَ اَفَتُراكَ سُبْحانَكَ يا اِلهى وَ بِحَمْدِكَ تَسْمَعُ فيها صَوْتَ عَبْدٍ مُسْلِمٍ سُجِنَ فيها بِمُخالَفَتِهِ وَ ذاقَ طَعْمَ عَذابِها بِمَعْصِيَتِهِ وَ حُبِسَ بَيْنَ اَطْباقِها بِجُرْمِهِ وَ جَريرَتِهِ وَ هُوَ يَضِجُّ اِلَيْكَ ضَجيجَ مُؤَمِّلٍ لِرَحْمَتِكَ وَ يُناديكَ بِلِسانِ اَهْلِ تَوْحيدِكَ وَ يَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِرُبُوبِيَّتِكَ يا مَوْلاىَ فَكَيْفَ يَبْقى فِى الْعَذابِ وَ هُوَ يَرْجُوا ما سَلَفَ مِنْ حِلْمِكَ اَمْ كَيْفَ تُؤْلِمُهُ النّارُ وَ هُوَ يَأمُلُ فَضْلَكَ وَ رَحْمَتَكَ اَمْ كَيْفَ يُحْرِقُهُ لَهيبُها وَ اَنْتَ تَسْمَعُ صَوْتَهُ وَ تَرى مَكانَهُ اَمْ كَيْفَ يَشْتَمِلُ عَلَيْهِ زَفيرُها وَ اَنْتَ تَعْلَمُ ضَعْفَهُ اَمْ كَيْفَ يَتَقَلْقَلُ بَيْنَ اَطْباقِها وَ اَنْتَ تَعْلَمُ صِدْقَهُ اَمْ كَيْفَ تَزْجُرُهُ زَبانِيَتُها وَ هُوَ يُناديكَ يا رَبَّهُ اَمْ كَيْفَ يَرْجُو فَضْلَكَ فى عِتْقِهِ مِنْها فَتَتْرُكُهُ فيها هَيْهاتَ ما ذلِكَ الظَّنُ بِكَ وَ لاَالْمَعْرُوفُ مِنْ فَضْلِكَ وَ لا مُشْبِهٌ لِما عامَلْتَ بِهِ الْمُوَحِّدينَ مِنْ بِرِّكَ وَ اِحْسانِكَ فَبِالْيَقينِ اَقْطَعُ لَوْ لا ما حَكَمْتَ بِهِ مِنْ تَعْذيبِ جاحِديكَ وَ قَضَيْتَ بِهِ مِنْ اِخْلادِ مُعانِديكَ لَجَعَلْتَ النّارَ كُلَّها بَرْداً وَ سَلاماً وَ ما كانَ لاِحَدٍ فيها مَقَرّاً وَ لا مُقاماً لكِنَّكَ تَقَدَّسَتْ اَسْماَّؤُكَ اَقْسَمْتَ اَنْ تَمْلاَها مِنَ الْكافِرينَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنّاسِ اَجْمَعينَ وَ اَنْ تُخَلِّدَ فيهَا الْمُعانِدينَ وَ اَنْتَ جَلَّ ثَناؤُكَ قُلْتَ مُبْتَدِئاً وَ تَطَوَّلْتَ بِالاِْنْعامِ مُتَكَرِّماً اَفَمَنْ كانَ مُؤْمِناً كَمَنْ كانَ فاسِقاً لا يَسْتَوُونَ اِلهى وَ سَيِّدى فَاَسْئَلُكَ بِالْقُدْرَةِ الَّتى قَدَّرْتَها وَ بِالْقَضِيَّةِ الَّتى حَتَمْتَها وَ حَكَمْتَها وَ غَلَبْتَ مَنْ عَلَيْهِ اَجْرَيْتَها اَنْ تَهَبَ لى فى هذِهِ اللَّيْلَةِ وَ فى هذِهِ السّاعَةِ كُلَّ جُرْمٍ اَجْرَمْتُهُ وَ كُلَّ ذَنْبٍ اَذْنَبْتُهُ وَ كُلَّ قَبِيحٍ اَسْرَرْتُهُ وَ كُلَّ جَهْلٍ عَمِلْتُهُ كَتَمْتُهُ اَوْ اَعْلَنْتُهُ اَخْفَيْتُهُ اَوْ اَظْهَرْتُهُ وَ كُلَّ سَيِّئَةٍ اَمَرْتَ بِاِثْباتِهَا الْكِرامَ الْكاتِبينَ الَّذينَ وَكَّلْتَهُمْ بِحِفْظِ ما يَكُونُ مِنّى وَ جَعَلْتَهُمْ شُهُوداً عَلَىَّ مَعَ جَوارِحى وَ كُنْتَ اَنْتَ الرَّقيبَ عَلَىَّ مِنْ وَراَّئِهِمْ وَالشّاهِدَ لِما خَفِىَ عَنْهُمْ وَ بِرَحْمَتِكَ اَخْفَيْتَهُ وَ بِفَضْلِكَ سَتَرْتَهُ وَ اَنْ تُوَفِّرَ حَظّى مِنْ كُلِّ خَيْرٍ اَنْزَلْتَهُ اَوْ اِحْسانٍ فَضَّلْتَهُ اَوْ بِرٍّ نَشَرْتَهُ اَوْ رِزْقٍ بَسَطْتَهُ اَوْ ذَنْبٍ تَغْفِرُهُ اَوْ خَطَاءٍ تَسْتُرُهُ يا رَبِّ يا رَبِّ يا رَبِّ  يا اِلهى وَ سَيِّدى وَ مَوْلاىَ وَ مالِكَ رِقّى يا مَنْ بِيَدِهِ ناصِيَتى يا عَليماً بِضُرّى وَ مَسْكَنَتى يا خَبيراً بِفَقْرى وَ فاقَتى يا رَبِّ يا رَبِّ يا رَبِّ اَسْئَلُكَ بِحَقِّكَ وَ قُدْسِكَ وَ اَعْظَمِ صِفاتِكَ وَ اَسْماَّئِكَ اَنْ تَجْعَلَ اَوْقاتى مِنَ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ بِذِكْرِكَ مَعْمُورَةً وَ بِخِدْمَتِكَ مَوْصُولَةً وَ اَعْمالى عِنْدَكَ مَقْبُولَةً حَتّى تَكُونَ اَعْمالى وَ اَوْرادى كُلُّها وِرْداً واحِداً وَ حالى فى خِدْمَتِكَ سَرْمَداً يا سَيِّدى يا مَنْ عَلَيْهِ مُعَوَّلى يا مَنْ اِلَيْهِ شَكَوْتُ اَحْوالى يا رَبِّ يا رَبِّ يا رَبِّ قَوِّ عَلى خِدْمَتِكَ جَوارِحى وَاشْدُدْ عَلَى الْعَزيمَةِ جَوانِحى وَ هَبْ لِىَ الْجِدَّ فى خَشْيَتِكَ وَالدَّوامَ فِى الاِْتِّصالِ بِخِدْمَتِكَ حَتّى اَسْرَحَ اِلَيْكَ فى مَيادينِ السّابِقينَ وَ اُسْرِعَ اِلَيْكَ فِى الْبارِزينَ وَ اَشْتاقَ اِلى قُرْبِكَ فِى الْمُشْتاقينَ وَ اَدْنُوَ مِنْكَ دُنُوَّ الْمُخْلِصينَ وَ اَخافَكَ مَخافَةَ الْمُوقِنينَ وَ اَجْتَمِعَ فى جِوارِكَ مَعَ الْمُؤْمِنينَ اَللّهُمَّ وَ مَنْ اَرادَنى بِسُوَّءٍ فَاَرِدْهُ وَ مَنْ كادَنى فَكِدْهُ وَاجْعَلْنى مِنْ اَحْسَنِ عَبيدِكَ نَصيباً عِنْدَكَ وَ اَقْرَبِهِمْ مَنْزِلَةً مِنْكَ وَ اَخَصِّهِمْ زُلْفَةً لَدَيْكَ فَاِنَّهُ لا يُنالُ ذلِكَ اِلاّ بِفَضْلِكَ وَ جُدْلى بِجُودِكَ وَاعْطِفْ عَلَىَّ بِمَجْدِكَ وَاحْفَظْنى بِرَحْمَتِكَ وَاجْعَلْ لِسانى بِذِكْرِكَ لَهِجاً وَ قَلْبى بِحُبِّكَ مُتَيَّماً وَ مُنَّ عَلَىَّ بِحُسْنِ اِجابَتِكَ وَ اَقِلْنى عَثْرَتى وَاغْفِرْ زَلَّتى فَاِنَّكَ قَضَيْتَ عَلى عِبادِكَ بِعِبادَتِكَ وَ اَمَرْتَهُمْ بِدُعاَّئِكَ وَ ضَمِنْتَ لَهُمُ الاِْجابَةَ فَاِلَيْكَ يا رَبِّ نَصَبْتُ وَجْهى وَ اِلَيْكَ يا رَبِّ مَدَدْتُ يَدى فَبِعِزَّتِكَ اسْتَجِبْ لى دُعاَّئى وَ بَلِّغْنى مُناىَ وَ لا تَقْطَعْ مِنْ فَضْلِكَ رَجاَّئى وَاكْفِنى شَرَّ الْجِنِّ وَالاِْنْسِ مِنْ اَعْدآئى ، يا سَريعَ الرِّضا اِغْفِرْ لِمَنْ لا يَمْلِكُ اِلا الدُّعاَّءَ فَاِنَّكَ فَعّالٌ لِما تَشاَّءُ يا مَنِ اسْمُهُ دَوآءٌ وَ ذِكْرُهُ شِفاَّءٌ وَ طاعَتُهُ غِنىً اِرْحَمْ مَنْ رَأسُ مالِهِ الرَّجاَّءُ وَ سِلاحُهُ الْبُكاَّءُ يا سابِغَ النِّعَمِ يا دافِعَ النِّقَمِ يا نُورَ الْمُسْتَوْحِشينَ فِى الظُّلَمِ يا عالِماً لا يُعَلَّمُ صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَافْعَلْ بى ما اَنْتَ اَهْلُهُ وَ صَلَّى اللّهُ عَلى رَسُولِهِ وَالاْئِمَّةِ الْمَيامينَ مِنْ الِهِ وَ سَلَّمَ تَسْليماً كَثيراً




Salam WarahmahPosted via Blogaway