Selasa, 04 Agustus 2015

HERMENEUTIK UMUM TANPA NAMA

Hermeneutik Umum Dan Tanpa Nama


Oleh: Mohammad Adlany

Hermeneutik Umum
Dalam pengkajian tentang subjek hermeneutik telah disinggung bahwa hermeneutik khusus diperhadapkan dengan hermeneutik umum. Hermenenutik filosofis adalah bersifat umum dan aliran-aliran hermeneutik lainnya ialah dipandang bersifat khusus dan terbatas. Persoalannya adalah apakah hermeneutik merupakan suatu ilmu yang bersifat umum dan mencakup ilmu-ilmu lainnya ataukah hanya terbatas pada cabang ilmu tertentu?

Dikatakan bahwa hermeneutik, di awal kehadirannya pada abad ketujuhbelas, hanya berhubungan dengan ilmu dan seni penafsiran, dan hingga abad kesembilanbelas masih dalam bentuk konsep yang mentah dan diharapkan mampu merumuskan secara jelas kaidah dan aturan ilmu tafsir. Dalam rentangan abad tersebut, hermeneutik ini hanya diletakkan sebagai metodologi untuk ilmu-ilmu tafsir dengan tujuan utamanya menghentikan penafsiran-penafsiran yang tak berkaidah dan tak beraturan. Peran hermeneutik, pada abad itu dan untuk waktu yang cukup lama, adalah pendukung sekunder bagi ilmu-ilmu lainnya yang dikaitkan dengan penafsiran teks dan simbol-simbol.

Pada zaman itu terbentuklah apa yang dinamakan dengan hermeneutik sakral (hermeneutica sacra) yang memiliki kaidah-kaidah yang sistimatik dan begitu pula hermeneutik filosofis yang dikenal dengan hermeneutica profana serta hermeneutik hukum disebut dengan nama hermeneutica juris.[1]Setiap hermeneutik tersebut memiliki fungsi, posisi, dan peran yang signifikan untuk membantu setiap ilmu dan pengetahuan demi meraih pemahaman yang lebih akurat, valid, dan benar serta penyelesaian berbagai persoalan mengenai kekaburan teks-teks.

Para penulis mencermati teks-teks hermeneutik pertama dan merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasar penafsiran untuk cabang-cabang dan disiplin ilmu-ilmu tertentu, seperti teologi, hukum, filsafat, dan philology, kemudian menetapkannya sebagai hermeneutik khusus.

Sebagian dari kaidah dan dasar penafsiran tersebut bisa diaplikasikan secara umum, namun maksud para penulis tersebut tidak merumuskannya untuk hermeneutik umum dalam semua ilmu dan pengetahuan yang berpijak pada penafsiran, melainkan menetapkan hermeneutik sakral misalnya untuk teks-teks kitab suci dan hermeneutik filosofis bagi teks-teks filsafat.

Para penulis sejarah pada umumnya sepakat memandang Schleiermacher sebagai orang pertama yang berupaya merumuskan hermeneutik umum dan semua sepaham atas perspektifnya yang berbunyi, “Pada masa kini hermeneutik hanya berbentuk hermeneutik-hermeneutik yang berkaitan khusus dengan cabang-cabang ilmu dan belum dirumuskan suatu konsep umum yang meliputi seluruh ilmu.” Tetapi kenyataan yang sesungguhnya adalah D. Howard pada abad ketujuhbelas yang memunculkan untuk pertama kali kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum tentang penafsiran dan interpretasi.[2]

Alasan utama Schleiermacher menghadirkan kaidah-kaidah umum dalam penafsiran teks-teks adalah dengan perantaraannya para mufassir bisa terhindar dari belbagai kekeliruan pemahaman dan meraih pengetahuan yang benar dan valid.

Hermeneutik Dilthey juga bersifat umum, ia berupaya merumuskan metodologi umum untuk semua ilmu humaniora, supaya dengan aturan itu ilmu humaniora bisa setara dengan ilmu alam dan ilmu empirik, begitu pula pemahaman-pemahaman ilmu humaniora bisa mencapai derajat validitas sebagaimana hasil-hasil eksperimen dalam disiplin ilmu-ilmu alam.

Namun perlu diperhatikan bahwa keumuman kaidah hermeneutik hingga akhir abad kesembilanbelas adalah bersifat nisbi dan tidak mencakup segala cabang ilmu dan pengetahuan manusia, karena keumuman yang bisa disaksikan dalam karya-karya Schleiermacher dan Chladenius itu hanya terbatas pada penafsiran teks-teks, oleh sebab itulah, kaidah-kaidah dan basis-basis tafisr dalam pandangan mereka ini hanya mencakup ilmu dan pengetahuan manusia yang berkaitan dengan penafsiran teks-teks saja. Begitu pula metodologi yang digagas oleh Dilthey hanya diperuntukkan bagi ilmu-ilmu humaniora.

Di abad keduapuluh ini kita menjadi saksi belbagai upaya dan usaha perumusan hermeneutik dalam setiap cabang dan disiplin ilmu seperti dalam bidang linguistik, teologi, dan ilmu-ilmu sosial. Sementara hermeneutik filosofis yang dirumuskan oleh Heidegger dan pemikir-pemikir setelahnya, seperti Gadamer, ialah dengan suatu tujuan umum dan berupaya supaya keumuman yang terdapat dalam hermeneutik filosofis abad keduapuluh ini meliputi semua pengetahuan manusia dan terpisah dari keumuman hermeneutik yang ada sebelumnya.

Secara terperinci akan dibahas hermeneutik filosofis Heidegger dan Gadamer, akan tetapi untuk memahami maksud mereka ini tentang ‘keumuman’, perlu dicermati poin ini bahwa hermeneutik filosofis Heidegger tidak menekankan penafsiran teks dan juga tidak membatasi penelitiannya kepada pembentukan metodologi humaniora, melainkan subjek hermeneutik filosofis adalah realitas eksistensial dan syarat-syarat fundamental yang melandasi hadirnya fenomena-fenomena pemahaman dalam segala variannya.[3]

Walhasil, tema dan ranah hermeneutik filosofis ialah pemahaman secara umum dan bukan perumusan metodologi pemahaman secara khusus.

Alasan yang sangat mungkin mengapa hermeneutik filosofis yang dipandang oleh para pendukungnya sebagai prima philosophia (filsafat pertama) dan mencakup seluruh aspek keilmuan ialah kehadirannya secara mutlak dalam segala bentuk pemahaman dan fenomena penafsiran.
Sebelum Heidegger, Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) beranggapan bahwa semua pengalaman dan pemahaman manusia hanyalah bersifat penafsiran semata dan meyakini bahwa apa-apa yang kita pahami hanyalah sebuah penafsiran yang tidak mewakili fakta dan kenyataan hakiki. Penafsiran ini mencakup semua realitas penafsiran dan ilmu-ilmu teoritis serta pemikiran.

Sifat penafsiran itu yang terkait dengan ilmu-ilmu dan pemahaman secara mutlak adalah problem umum dan filosofis. Dari sinilah, hermeneutik filosofis kemudian meletakkan pemahaman secara mutlak itu sebagai tema kajiannya.[4] Perlu diketahui bahwa pengakuan keumuman dan keuniversalan subjek hermeneutik filosofis itu, tidak menjadi penghalang bagi perkembangan pemikiran-pemikiran hermeneutik yang khusus dalam cabang-cabang pengetahuan manusia. Dari hal ini, pembahasan-pembahasan tentang hermeneutik terus berlanjut dalam bidang linguistik, teologi, hukum, dan ilmu-ilmu sosial.

Hermeneutik Tanpa Nama
Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya bahwa hermeneutik dikenal secara resmi sebagai disiplin ilmu mulai abad ketujuhbelas Masehi. Namun, sebelum abad ini dan setelahnya, senantiasa bermunculan gagasan dan konsep yang dilontarkan tidak dengan nama hermeneutik, sementara hal itu secara substansial terkait dengan kajian hermeneutik. Bentuk perspektif dan pemikiran seperti ini biasa disebut dengan “hermeneutik tanpa nama”.

Yang dimaksud dengan suatu pemikiran dan konsep yang secara esensial merupakan hermeneutik ialah bahwa gagasan ini senada dan seirama dengan sebagian aliran-aliran hermeneutik. Sebagai contoh, jika seorang pemikir percaya pada keberadaan interpretasi dan pemahaman manusia, maka realitas ini sesuai dengan hermeneutik filosofis Heidegger dan Gadamer, dan dari sisi ini, ia telah mengemukakan suatu konsep hermeneutikal, walaupun ia tidak mengatasnamakan gagasan dan pemikirannya itu sebagai bagian dari konsep hermeneutikal.

Di bawah ini akan diungkapkan beberapa gagasan para pemikir yang melontarkan beberapa konsep di sela-sela karyanya yang mereka tidak namakan hermeneutik:
Santa Augustine (AD 430-454) ialah seorang filosof dan teolog yang banyak mempengaruhi hermeneutik modern. Heidegger dan Gadamer, terilhami dari pikiran-pikiranya. Heidegger sering menyebut Augustine dalam karya-karya dan orasinya.
Makalah Augustine, On Christian Doctrine, yang menurut Jean Grondin, dari sisi historis, merupakan karya yang sangat berpengaruh dalam hermeneutik.[5] Ia menitikberatkan penelitian hermeneutik itu pada dimensi-dimensi yang kabur dari Kitab Suci dan beranggapan bahwa Kitab Suci itu bisa dipahami.

Kebutuhan terhadap hermeneutik hanya pada wilayah-wilayah yang tak jelas dimana memerlukan penafsiran dan pemahaman. Idenya ini melandasi perumusan kaidah-kaidah hermeneutik.

Augustine tidak mencukupkan pemahaman Kitab Suci hanya pada kaidah-kaidah tafsir, sesungguhya harus “datang” dari sisi Tuhan suatu “cahaya” yang dengannya segala bentuk kekaburan dan ketakjelasan yang ada pada Kitab Suci menjadi sirna, dengan demikian, segala sesuatunya berpijak pada kondisi jiwa seorang mufassir.

Poin terakhir ini menjadi perhatian dan sumber ilham bagi kehadiran hermeneutik filosofis, yakni untuk sampai pada pemahaman itu, selain konsentrasi pada teks, juga sangat dipengaruhi oleh kondisi jiwa dan pikiran penafsir.

Menurutnya, ketiadaan pemisahan yang jelas antara makna hakiki dengan majasi adalah penyebab utama kekaburan Kitab Suci, pemilahan ini bisa tercapai dengan pencerahan Ilahi dan penjelasan makna yang kabur dengan berpijak pada makna-makna yang sudah jelas dan gamblang.
Para mufassir mesti sedemikian rupa berupaya mengenal Kitab Suci sehingga bisa memahami dengan benar aspek-aspek yang kabur dengan bantuan dimensi-dimensi yang nyata dan jelas. Konsepnya ini juga sebagai poin mendasar dalam wilayah penafsiran teks.[6]

Disamping itu, ia juga menekankan bahwa ketika kita mendengar sebuah kalimat, kita tak lagi mencermati kata-kata itu sendiri yang ada pada kalimat, melainkan berupaya memahami “sesuatu” yang tidak dapat didengar oleh telinga dan lebih tinggi dari bahasa lahiriah. Ia menamai “sesuatu” itu sebagai “kata internal (verbum)” atau “reason” yang berada tersembunyi dibalik kalimat dan bahasa lahiriah.

Reason (akal-pikiran) ini tidak bisa diungkapkan secara nyata sehingga mampu ditangkap dengan indera lahiriah. Bahasa kita bukanlah terjemahan akurat atas pemikiran-pemikiran internal-kejiwaan kita, dan bahasa lahiriah tidak dapat memanifestasikan secara sempurna dan komprehensif makna-makna internal-kejiwaan atau verbum itu, sebagaimana Isa Almasih yang merupakan manifestasi Tuhan di alam natural, walaupun tajalli itu sendiri bersifat sempurna dan kamil, akan tetapi, secara hakiki tidak bisa dipandang mewakili hakikat wujud Tuhan yang azali.

Makna-makna internal-kejiwaan kita bersumber dari makrifat jiwa yang bersifat batiniah, dengan alasan ini, bahasa kita – yang merupakan manifestasi batin – tidak menjadi jelas dan menjelma dalam bentuk yang beragam.[7] Gagasan Augustine ini sangat menarik perhatian Gadamer dan sekaligus mengilhami perluasan teori-teori tafsirnya.[8]
Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), filosof Jerman, yang dalam karya-karyanya juga ditemukan sisi pemikiran hermeneutik. Salah satu pemikirannya yang terpenting adalah beranggapan bahwa semua pengetahuan manusia bersifat interpretatif.
Nietzsche memandang bahwa segala hakikat dan realitas murni tidak bisa dipahami, namun apa-apa yang kita sebut sebagai “pemahaman” itu tidak lain ialah mitos dan fiksi yang bersumber dari penafsiran-penafsiran dan takwil-takwil kita. Penafsiran dan takwil ini berasal dari perspektif-perspektif, dan segala perspektif sangat dipengaruhi oleh kecenderungan alami manusia.

Begitu pula kategori-kategori akal yang terbentuk dari kekuatan imajinasi juga tidak lepas dari kenyataan tersebut, yakni juga bersifat mitologikal dan semata-mata merupakan perspektif logikal yang kemudian menjelma sebagai hakikat-hakikat yang niscaya dan pasti.[9]

Gagasan tentang keinterpretasian pengetahuan dan pemahaman merupakan hal yang sangat ditekankan oleh hermeneutik filsafat, dan Heidegger, dalam salah satu karyanya, menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap diri sendiri, senantiasa bersifat hermeneutikal.

Pengertian dia atas “pemahaman hermeneutikal” adalah berpijak pada latar belakang penginderaan dan kerangka berpikir, dimana realitas ini banyak semakna dengan gagasan Nietzsche tentang efek perspektif terhadap pengetahuan dan pemahaman.

Pemikiran lain Nietzsche yang bersifat hermeneutikal adalah seputar masalah “hakikat”. Konklusi dari pemikiran yang menyatakan bahwa “segala pemahaman itu bersifat interpretatif” adalah kemustahilan kita menjangkau hakikat (yang bermakna pengetahuan objektif) itu, melainkan pemahaman kita itu tidak lain adalah fiksi dan mitos yang bersumber dari perspektif dimana sebagian dari fiksi itu lebih bermanfaat dari yang lain.

Manfaat fiksi ini, kalau bersifat tetap dan konstan, maka kita menyebutnya dengan “hakikat” yang mesti diterima dengan tanpa alasan dan sebab.

Begitu banyak manusia menginginkan suatu ilmu dan pengetahuan yang bersumber dari proposisi-proposisi yang tetap dan konstan. Dengan dasar ini, mereka tidak lagi memperhatikan bahwa sesungguhnya realitas-realitas itu senantiasa berubah. Rahasia kecenderungan kepada ilmu ini merupakan fitrah manusia.

Iradah manusia yang seiring dengan kodratnya dan kecenderungannya kepada sesuatu yang bersifat konstan dan tetap kemudian memaksanya untuk mencipta suatu ilmu alat demi menjelmakan kodratnya itu dan tidak memandang realitas eksternal dan hakikat manusia sebagaimana adanya serta menetapkan segala konsep dan perspektifnya sebagai suatu “hakikat” yang tetap dan diterima tanpa alasan.[10]

Dalam hermeneutik filosofis kontemporer, “hakikat” atau kebenaran (truth) juga dimaknakan sama sebagaimana umumnya, karena di sini ditekankan bahwa para mufassir tidak mungkin bersifat netral dalam pemahamannya.

Baik dalam penafsirannya tentang teks, kesusastraan, dan analisis fenomena sejarah pengaruh latar belakang pikiran dan makna-makna horizontal serta asumsi-asumsi para mufassir tidak bisa dipungkiri. Adalah suatu asa yang sis-sia kalau mengharap adanya objektivitas fenomena atau teks tanpa keterlibatan subjektivitas pikiran mufassir.
Dalam karya-karya seperti Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889-1951 M) dan Edmund Husserl (1859-1938 M) juga terdapat pembahasan yang berrhubungan dengan hermeneutikal. Heidegger mencerap fenomenologi sebagai suatu metode itu dari gurunya, Edmund Husserl.
Heidegger beranggapan bahwa penyingkapan makna dan hakikat eksistensi itu hanya melalui fenomenologi dasein dan analisis wujud manusia. Metode analisis ini, bukan bersifat argumentatif dan demonstratif silogisme, karena demonstratif silogisme itu berupaya menarik konklusi dari perkara yang lain, sementara tidak ada sesuatu yang lain selain wujud dan eksistensi itu sendiri.

Dengan demikian, jalan pengenalan satu-satunya adalah analisis wujud manusia dan fenomenologi eksistensial. Hakikat wujud itu tidak bisa ternampakkan, oleh karena itu, dengan kita memahami konsep wujud dan melihat penampakan maujud tak seketika mengetahui hakikatnya.

Namun, penerimaan yang sama atas fenomenologi yang nampak pada kedua pemikir tersebut, Husserl dan Heidegger, tidak berujung pada kesamaan pandangan.

Dengan metode itu, Husserl berupaya supaya filsafat itu berdiri tegak di atas keyakinan-keyakinan – seperti Descartes – dan filsafat itu diupayakan setara dengan ilmu.

Sementara Heidegger mengejar tujuan lain, yakni mencari jawaban atas makna dan hakikat eksistensi. Dengan dasar ini, Heidegger tetap pada tingkatan kajian prinsipalitas eksistensi manusia dan tidak bisa disetarakan dengan derajat pembahasan metafisika.

Dengan penguraian ini, jelaslah bahwa pengkajian hermeneutik tidaklah terbatas pada karya-karya resmi tentang hermeneutik dan begitu banyak pembahasan yang menunjukkan kesesuaiannya dengan materi hermeneutikal. Dengan berpijak pada realitas ini, tertegaslah keberadaan “hermeneutik tanpa nama” tersebut.

Referensi: 
[1] . Contemporary Philosophy, PP 461, 464.
[2] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, P 50.
[3] . Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, P 50.
[4] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, P 14.
[5] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, PP 32, 33.
[6] . Ibid, PP 34, 35.
[7] . Ibid, PP 36, 37.
[8] . Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, PP 421, 435.
[9] . Frederick Copleston, Tarikh-e Falsafe, jilid tujuh, hal. 400.
[10] . Ibid, hal, 398 dan 399.

(teosophy/ABNS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar