Tujuan dan Urgensi Hermeneutik
Oleh: Mohammad Adlany
Tujuan Hermeneutik
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sangat sulit meramu dan merumuskan satu definisi tentang hermeneutik yang bisa mencakup seluruh aspek-aspeknya, hali ini karena faktor keluasan dan keragaman pembahasan hermeneutik serta keberadaan aliran-aliran yang berbeda.
Begitu pula tidak terdapat kesepakatan tentang ranah pengkajian hermeneutik. Pada kesempatan ini kita akan mencermati bahwa apakah bisa ditetapkan tujuan-tujuan yang sama dan bersifat menyeluruh untuk hermeneutik yang dapat diterima oleh semua aliran dan kecenderungan yang terdapat dalam hermeneutik?.
Pertama-tama akan ditegaskan bahwa sesungguhnya tak terdapat tujuan-tujuan yang sama dan bisa disepakati dalam hermeneutik ini. Hal ini bisa dilihat di sepanjang sejarahnya bagaimana munculnya aliran, pemikiran, dan kecenderungan fundamental yang berbeda satu sama lain dalam perumusan aplikasi dan penentuan fungsionalnya.
Dengan memandang realitas itu, lantas bagaimana bisa ditetapkan suatu arah dan tujuan yang sama di antara keragaman pemikiran tentang hermeneutik dalam upaya pemahaman teks, penghapusan segala keraguan terhadap pemahaman-pemahaman itu, penentuan metodologi bagi humaniora, dan perumusan dasar-dasar yang menjadi tolok ukur pemahaman terhadap sejarah, karya-karya seni dan tulis, prilaku, dan peradaban manusia?.
Pusaran yang dilahirkan oleh hermeneutik filosofis di awal abad keduapuluh dalam penentuan arah kontemplasi hermeneutik berkonsekuensi pada tajamnya perbedaan di antara hermeneutik abad keduapuluh ini dan hermeneutik abad sebelumnya sedemikian sehingga sangat sulit (kalau bisa dikatakan mustahil) kita menentukan tujuan-tujuan sama yang terdapat dalam hermeneutik filosofis dan yang terdapat dalam aliran-aliran hermeneutik lainnya.
Bahkan penegasan arah dan tujuan yang sama di antara cabang-cabang hermeneutik filosofis sendiri sangat sulit dilakukan. Apa yang hari ini dikenal dengan nama hermeneutik filosofis tidak lain ialah aliran yang didirikan oleh Martin Heidegger dan muridnya, Hans-Georg Gadamer, serta dipopulerkan oleh dua filosof Perancis, Jacques Derrida, dan Paul Ricoeur.
Namun, keempat tokoh tersebut yang sama-sama penganut hermeneutik filosofis memiliki pandangan yang berbeda dalam penentuan arah dan tujuan hermeneutik. Di bawah ini akan diungkapkan beberapa perspektif mereka supaya kita bisa mengetahui seberapa mendalam perbedaan yang ada berhubungan dengan tujuan hermenutik filosofis tersebut:
Martin Heidegger dalam kitabnya,Being and Time, menyatakan bahwa filosof Yunani Kuno mengungkapkan persoalan eksistensi secara filosofis dan berupaya mengetahui hakikatnya secara apa adanya. Namun, sejak zaman Aristoteles hingga filsafat masa kini, persoalan mengenai hakikat eksistensi itu menjadi terlupakan dan pembahasan beralih pada pemahaman tentang fenomena-fenomena wujud partikular.Para filosof pasca Plato memandang bahwa eksistensi itu merupakan konsep yang paling umum dan universal yang tidak bisa didefinisikan (aksioma) serta bersifat sangat gamblang (badihi). Berpijak pada hal ini, mereka tidak memandang masalah hakikat eksistensi itu sebagai persoalan filsafat.
Heidegger beranggapan bahwa eksistensi yang bersifat aksioma dan konsep yang paling universal itu tidak menjadi halangan untuk melakukan pencarian hakikat eksistensi itu. Ia menetapkan bahwa tujuan filsafat yang benar adalah menemukan jawaban dan solusi universal atas persoalan hakikat eksistensi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa filsafat itu mesti menemukan dan merumuskan persoalan ini menjadi suatu kaidah dan metode dalam pencarian hakikat eksistensi tersebut.
Dalam pandangannya, setiap maujud memiliki hakikat eksistensi yang berbeda, bahkan di mana saja suatu maujud tertentu berada, maka di situ pula hadir hakikat eksistensi. Kita tidak bisa mengetahui hakikat eksistensi itu dengan cara mengamati dan melihat secara langsung, karena hakikat eksistensi itu merupakan dimensi lain dari maujud-maujud yang tercipta, dengan demikian, hakikat tersebut mesti diungkap dan dihadirkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan analisis.
Di antara maujud-maujud di alam, maujud manusia, oleh Heidegger disebut sebagai dasein, memiliki satu jalan pengenalan terhadap hakikat eksistensi, karena dasein itu adalah suatu maujud yang bisa melahirkan beri-ribu pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat eksistensi dibanding maujud-maujud lain dan penelitian terhadap hakikat eksistensi itu merupakan salah satu dari kemampuan-kemampuan wujudnya yang luar biasa.
Namun, menurutnya, ini tidak berarti bahwa dari dimensi wujud, dasein itu mendahului hakikat eksistensi. Oleh karena itu, dalam pengenalan dan pengungkapan hakikat itu tidak ada cara lain kecuali mengenal secara hakiki eksistensi manusia (dasein).[1]
Heidegger menegaskan bahwa bentuk pengenalan fenomenologikal dasein yang dimaksudkan untuk memahami hakikat wujud itu tidak lain adalah tujuan utama filsafat dan fenomenologikal ini disebut dengan hermeneutik, karena artihermeneuin itu ialah “membuat sesuatu itu bisa dipahami” dan feneomenologikaldasein dirumuskan untuk memahami hakikat eksistensi. Maka dari itu, analisis terhadap esensi wujud dasein itu dan fenomenologikalnya merupakan aktivitas hermeneutik.[2]
Inti tujuan kontemplasi filsafat Heidegger adalah pengenalan hakikat keberadaan, yakni memiliki tujuan ontologikal. Berbeda dengan tokoh-tokoh hermeneutik sebelumnya, ia tidak berusaha mencari rumusan untuk suatu pemahaman dan metode baru yang akurat dalam memahami teks atau ilmu humaniora. Ia mengangkat hermeneutik itu dari tingkat epistemologi dan metodologi ke derajat filsafat serta memandang hermeneutik itu sejenis fenomenologikal dan filsafat.
Perlu dikatakan di sini bahwa tujuan utama filsafat Heidegger tidak bermaksud menganalisa substansi pemahaman manusia dan syarat-syarat eksistensial kehadiran pemahaman itu, karena tujuan pertamanya adalah menjawab pertanyaan tentang hakikat eksistensi dan analisis kerangka wujuddasein merupakan tujuan menengah.
Sementara pengungkapan pertanyaan itu dan analisis hakikat pemahaman serta penjelasan terhadap karakteristik-karakteristik fenomenologikalnya ialah suatu perkara yang akan dituju oleh Heidegger dalam analisis kerangka wujud dasein, dan hal ini bukanlah merupakan tujuan utama hermeneutiknya.
Hans-Georg Gadamer, murid utama Heidegger, dalam hermeneutik filosofisnya sangat berpegang teguh pada gagasan-gagasan yang dihembuskan gurunya tentang analisis dasein, terutama dalam bagian esensi pemahaman manusia. Ia memandang hermeneutik filosofisnya sebagai basis ontologi dan membedakannya dengan metodologi.
Dari sisi ini, ia searah dengan Heidegger. Ia pun tidak ingin merumuskan secara umum suatu metodologi baru dalam pemahaman teks dan ilmu humaniora. Namun, perlu diperhatikan poin ini bahwa tujuan utama dalam hermeneutik Gadamer sama sekali tidak seirama dengan tujuan filsafat wujud (ontologi) Heidegger.
Heidegger melangkah untuk menciptakan ontologi baru dan pengetahuan atas hakikat eksistensi yang walaupun ia gagal dalam tujuan ini, dan sementara Gadamer tidak menelusuri jejak itu dan tidak pula berupaya mengetahui hakikat wujud.
Ontologi, dalam pandangannya, adalah ontologi pemahaman dari dimensi bahwa pemahaman tersebut senantiasa merupakan suatu penafsiran dan interpretasi.
Ia menganalisa hakikat suatu penafsiran dan interpretasi. Ia tidak merumuskan metode penafsiran, namun mengobservasi penafsiran itu sendiri dan syarat-syarat eksistensial atas kehadiran interpretasi.
Analisis atas hakikat pemahaman dan interpretasi, bagi Heidegger, adalah tujuan menengah dimana tangga mencapai tujuan-tujuan lain yang utama, sementara bagi Gadamer analisis terhadap perkara itu dan basis-basis eksistensialnya merupakan tujuan utama serta tidak dalam upaya mengejar tujuan-tujuan yang lain.[3]
Perbedaan lain yang ada pada kedua hermeneutik ini adalah bahwa Heidegger, yang berbeda dengan Dilthey, tidak memperhatikan problematika bagi basis-basis ilmu manusia, yakni masalah obyektivitas.
Sementara dalam hermeneutik Gadamer, masalah ini ialah hal yang utama, yakni Gadamer menempatkan ontologi pemahaman itu sebagai jembatan menuju epistemologi dan kedua hal ini saling terkait.
Begitu pula ia memandang bahwa analisis terhadap hakikat pemahaman dan syarat-syarat bagi perwujudannya niscaya akan memberikan hasil yang sangat bermanfaat dalam pengembangan humaniora, dan ia juga menunjukkan, yang berlawanan dengan Dilthey, bahwa metode itu tidak bisa mengungkap suatu hakikat, dan secara mendasar, hakikat itu mesti dipandang secara berbeda dengan apa-apa yang telah dikonsepsi mengenai hakikat dalam tradisi filsafat dan ilmu.
Menurutnya, penekanan kepada metodologi dan penetapan tolok ukur bukan hanya tidak mampu mengantarkan kita kepada pencapaian hakikat, bahkan menyebabkan kita menjadi terasing dan teralienasi dengan subjek yang dibahas.
Dalam magnum opusnya, Truth and Method, ia juga membagi pembahasan menjadi tiga bagian dan masing-masing unsur ini (seperti estetika, sejarah, bahasa, interpretasi teks) ia bahas berdasarkan pandangan-pandangan filosofisnya yang berkaitan dengan pengkajian pemahaman dan interpretasi serta juga menunjukkan bahwa objektivitas – yang sebagaimana dipandang oleh penganut aliran Objektivisme dalam ilmu humaniora (human sciences) – dalam unsur-unsur itu adalah mustahil.
Paul Ricoeur adalah pemikir kontemporer asal Perancis yang pikirannya banyak dipengaruhi oleh Heidegger. Namun, ia berbeda pandangan dengan Heidegger dalam penggabungan antara hermeneutik dan fenomenologi. Heidegger menggali hakikat eksistensi dengan analisis suatu fenomena khusus yang bernamadasein itu.
Dengan demikian, hermeneutiknya ialah ontologi fundamental yang lebih tinggi dari epistemologi, metodologi, dan basis ontologi pemahaman. Sementara ontologi Ricoeur tidak secara langsung menganalisa eksistensi dasein, melainkan ia ingin menyelami persoalan eksistensi lewat pendekatan semantik dan penjelasan linguistik atas seluruh dimensi interpretasi ontologis.
Menurut Ricoeur, segala bagian fenomenologi yang bertujuan untuk memahami hakikat eksistensi tidak dihubungkan dengan persoalan semantik. Oleh karena itu, seluruh ranah hermeneutik mesti dirujukkan kembali kepada perkara-perkara semantik.
Mitologi dalam kesastraan dan keagamaan adalah salah satu bentuk fenomenologi yang menafsirkan simbol-simbol alam, dunia, dan zaman supaya dapat disingkap dan diketahui makna-maknanya yang tersembunyi.
Dalam pandangan Ricoeur, kita tak bisa memahami secara langsung dan mandiri hakikat eksistensi itu yang sebagaimana dikonstruksi oleh Heidegger, dan pada sisi lain, segala ontologi itu bersifat penafsiran dan takwil atas simbol-simbol.
Dengan demikian, untuk mengenal wujud tidak ada metode selain dari pengkajian semantik. Kita mesti mengkaji realitas keberadaan dengan fenomenologi dan pengungkapan secara mendalam berbagai simbol-simbol serta berupaya melangkah ke tingkatan berpikir yang lebih tinggi dari derajat pemikiran yang lahiriah.[4]
Paul Ricoeur tidak seperti Heidegger yang menggali ontologi dan pemahaman hakikat eksistensi melalui suatu ontologi dasein, dan juga tidak sebagaimana Gadamer yang merumuskan ontologi pemahaman. Filsafatnya tidak dalam rangka menegaskan suatu ontologi hermeneutical.
Kalaupun hermeneutik Ricoeur menguraikan persoalan ontologi interpretasi, hal itu tidak dimaksudkan mengkaji dan menganalisa secara langsung substansi pemahaman, akan tetapi, dalam hubungannya dengan korespondensi simbol-simbol dan linguistik. Dari hal ini, ia kemudian menggagas teori umum tentang ontologi pemahaman.[5]
Urgensi Hermeneutik
Hal ini telah sebagian disinggung dalam pembahasan ranah hermeneutik. Dengan memandang keuniversalan kajiannya dan keragaman aliran-aliran hermeneutik, bisa dikatakan bahwa hermeneutik memayungi begitu banyak aktivitas-aktivitas berpikir. Keluasan wilayah ini membuat hermeneutik banyak bersinggungan dengan dengan ilmu-ilmu lain dan membuka peluang pengaruh hermeneutik terhadap pemikiran-pemikiran yang ada.
Hubungan luas hermeneutik dengan berbagai cabang ilmu dan pengaruhnya yang sangat melebar itu adalah karena penekanan hermeneutik pada kajian linguistik dan teks. Pada sisi lain, pembahasan tentang bahasa dan interpretasi teks juga menjadi perhatian berbagai cabang-cabang pengetahuan manusia sedemikian sehingga Paul Ricoeur menamakannya sebagai cross roads pemikiran-pemikiran kontemporer.
Karena perhatiannya terhadap kategori bahasa dan penafsiran teks, hermeneutik kemudian berubah menjadi disiplin utama bagi pemikiran-pemikiran kontemporer. Ilmu-ilmu seperti kritik literatur, semiotik, filsafat bahasa, filsafat analisis, dan teologi memiliki kaitan yang sangat erat dengan kategori bahasa dan pemahaman teks, dan hermeneutik, khususnya hermeneutik filosofis, dengan wacana-wacananya yang radikal melahirkan perubahan dan pengaruh signifikan pada bidang-bidang ilmu itu.
Hermeneutik filosofis Jerman, yang dicetuskan oleh Heidegger dan Gadamer, dalam pasal esensi pemahaman manusia memunculkan ide dan gagasan yang tidak hanya dikaji dan dikritis oleh para filosof, epistemolog, teolog, dan pengkaji literatur, bahkan melibatkan para ilmuwan empirik. Perspektif-perspektif hermeneutik ini membantu percepatan observasi para pengkaji sejarah dan pengamat seni serta juga mempengaruhi para teolog dan peneliti ilmu-ilmu agama, karena ia mendobrak sebagian asumsi yang terdapat dalam wilayah probabilitas pencapaian pemahaman yang objektif, mutlak, dan tidak relatif.
Perluasan yang dilakukan oleh Paul Ricouer terhadap konsepsi teks dimana menggolongkan semua simbol dan mitos-mitos agama sebagai teks, menyebabkan secara praktis ranah hermeneutik meluas, karena menurutnya, segala bentuk kajian semantik dan interpretasi simbol-simbol niscaya akan berujung pada bentuk pembahasan hermeneutik.
Yang pasti, apabila hermeneutik yang bersifat umum itu ingin terwujud, maka mesti mengupayakan perumusan tolok ukur yang bersifat umum pula yang menjadi landasan pijak bagi fenomenologi hermeneutik. Oleh sebab itu, hermeneutik umum bisa mencakup pembahasan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok yang sama yang menjadi pondasi dan pilar utama bagi jenis-jenis fenomenologi.
Keluasan ranah dan domain ini, seperti ontologi pemahaman Gadamer, menyebabkan hermeneutik itu bersinggungan dengan berbagai pembahasan dan ilmu-ilmu lainnya, dan keluasannya ini akan menambah nilai urgensi hermeneutik, karena disiplin ilmu-ilmu lain mesti membutuhkan informasi atas perolehan hermeneutik dan mesti menyampaikan gagasan-gagasannya terhadap apa yang dicapai dan diraih dalam pembahasan hermeneutik.
Pada masa kini, hermeneutik mendapatkan posisi penting dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta merupakan basis utama dalam filsafat ilmu-ilmu sosial. Urgensi ini pertama-tama dirasakan ketika Dilthey telah mengungkapkan bahwa sifat dan karakteristik manusia akan terjewantahkan dalam bentuk prilaku, seni, teks, dan peristiwa-peristiwa sejarah yang kesemuanya ini memiliki makna dimana hanya bisa dipahami dengan media subjek dan mufassir.
Pada sisi lain, perhatian para pemikir hermeneutik pada poin ini bahwa para penafsir berupaya mengharmonisasikan kategori-kategori (teks, seni, prilaku manusia, peristiwa-peristiwa sejarah) yang bermakna bagi manusia dengan kumpulan makna-makna lainnya, nilai-nilai, dan perspektif-perspektif, karena sangat mungkin terjadi bahwa makna suatu fenomena yang dikaji telah mengalami perubahan. Ia kemudian melontarkan pertanyaan penting tentang hermeneutik: apakah dengan keberadaan subjektivitas para penafsir, kemudian objektivitas akan fenomena-fenomena manusia bisa menjadi berarti dan bermakna?
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, hermeneutik filosofis dan perspektif-perspektif hermeneutik lainnya menawarkan dua soluai berbeda dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu humaniora. Dilthey, yang mewakili perspektif lain itu, berusaha merumuskan ide umum dan metodologi akurat untuk memungkinkan pencapaian objektivitas humaniora, sementara hermeneutik filosofis, karena sangat menekankan kemestian kesamaan ufuk dan horizon antara mufassir dan obyek yang dikaji, menolak objektivitas fenomena-fenomena tersebut.
Referensi:
[1] . Martin Heidegger, Being and Time, PP 21, 28.
[2] . Ibid, PP 61, 62.
[3] . Brice R. Wachterhausey. Hermeneutics and Modern Philoshophy.
[4] . Paul Ricoeur, Hermeneutics, P 14.
[5] . Jeanrond G. Werner, Text and Interpretation as categories of theological thinking trans by Thomas J. Wilson, P 40.
(teosophy/ABNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar