Beranda Ibrahim Amini TEOSOFI ▼
Jumat, 17 Juli 2015
Mengapa Manusia Cenderung Kepada Duniawi?
Oleh: Mohammad Adlany
Sebagaimana di alam natural, gerak menurun (nuzuli) lebih mudah daripada gerak menaik (shu’udi). Hukum ini pula berlaku dalam gerak dan suluk pada perkara-perkara maknawi, spiritual, dan akhlak. Dalam istilah qurani, gerak dan proses menaik dikatakan senantiasa bersama dengan usaha, upaya, dan derita. Tuhan berfirman dalam al-Quran surah Insyiqaq ayat keenam, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.”
Sementara di alam dunia -dikatakan dunia karena wujud dan hakikatnya sangat rendah dari segala sesuatu- dan kecenderungan kepada hawa nafsu maka cukuplah manusia menutup matanya dari kesempurnaan-kesempurnaan, kesucian-kesucian, fitrah, dan akal.
Gerak dan berproses menuju alam spiritual dan maknawi seperti mendaki puncak yang sangat tinggi dan penuh dengan kesulitan serta bahaya. Sedangkan berjalan di atas jalur kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu seperti bergerak ke arah menurun yang penuh dengan kemudahan dan keringanan. Karena kecenderungan ke alam akhirat dan nilai-nilai spiritual merupakan suatu gerak ke arah fitrah Ilahi, dan kecenderungan kepada duniawi, aspek-aspek material dan lahiriah adalah sangat besar dikarenakan hal ini bersesuaikan dengan tabiat alam materi dan keinginan natural manusia itu sendiri.
Sebagaimana di alam natural, gerak dan proses menurun lebih mudah daripada gerak menaik. Hal ini juga berlaku pada gerak dan suluk dalam perkara-perkara maknawi dan akhlak. Sebagaimana pernyataan al-Quran, gerak menaik atau proses menyempurna adalah senantiasa beriringan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan penderitaan. Kata “Kadihun” atau “kadhan” yang ada dalam ayat tersebut di atas yang dalam bahasa Arab adalah bermakna “upaya yang sungguh-sungguh”.[1]
Untuk kejatuhan manusia di lembah dunia ini, maka cukuplah dia mengikuti hawa nafsu dan keinginginan syahwatnya. Karena bergerak di atas jalan keinginan-keinginan rendah hawa nafsu seperti berjalan ke arah menurun yang penuh dengan kemudahan dan keringanan.
Sementara bergerak dan berjalan sesuai dengan perintah akal dan agama serta berlawanan dengan kecenderungan duniawi, waswas setan, dan kehendak hawa hafsu adalah suatu proses menyempurna dan menaik. Sebagaimana mendaki suatu puncak yang tinggi adalah sangat sukar dan penuh kesulitan, namun senantiasa diiringi dengan perasaan bahagia dan keyakinan.
Dalam perspektif al-Quran, manusia adalah suatu makhluk yang memiliki dua dimensi, dimensi fitrah Ilahi dan aspek natural material. Fitrah manusia senantiasa mengajaknya kepada makrifat yang tinggi, nilai-nilai spiritual, maknawi, akhlak, dan kebaikan-kebaikan. Sedangkan dimensi naturalnya selalu menggiringnya kepada kerendahan material, hawa nafsu, dan keburukan.
Kehidupan manusia adalah lapangan pertempuran yang terus menerus antara aspek natural dan fitrah Ilahinya. Apabila dimensi tabiat manusia menang atas fitrah Ilahinya, maka dia akan menjadi tawanan bagi kecenderungan naturalnya yang rendah itu. Dalam pandangan al-Quran, manusia seperti ini dikategorikan sesat dan rendah. Namun, jika fitrah Ilahinya mampu mengalahkan keinginan rendah tabiatnya, maka segala kecenderungan naturalnya diarahkan sejalan dengan fitrahnya. Dalam keadaan seperti ini, manusia ini dikatakan berada dalam hidayah Ilahi dan berjalan di atas jalan yang benar .[2]
Kata “dunia” dalam makna leksikalnya adalah rendah. Dan manusia untuk menggapai keinginan-keinginan duniawinya maka cukuplah dia menutup matanya dan tidak memandang langit suci Ilahi. Namun, untuk keluar dari tarikan kecendengan dan penjara duniawi serta berjalan ke arah alam spiritual dan fitrah Ilahi, maka tidaklah cukup hanya sekedar berencana, berkata, dan klaim. Melainkan dia harus melawan secara nyata segala keinginan hawa nafsu, menentang seluruh bisikan dan waswas setan, meninggalkan segala tingkah laku dan adat yang buruk, dan memotong ribuan akar yang menjebaknya dalam aktivitas-aktivitas keseharian.
Oleh karena itu, para guru akhlak dan irfan praktis kadang memaparkan hakikat-hakikat tinggi spritual dan metode meniti tingkatan-tingkatan kesempurnaan itu dalam bentuk seratus tahapan, atau seribu tingkatan, atau menghadirkannya dalam bentuk adab-adab suluk. Supaya manusia pada akhirnya bisa melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan hawa nafsu dan berujung menjadi seorang hamba Tuhan yang sejati.
Perjalanan maknawi dan suluk spritual seorang hamba kepada Tuhan adalah suatu proses menaik dan gerak vertikal, bukan gerak horisontal dan mendatar. Dan maksud dari vertikal dan menaik di sini adalah vertikal dalam “bangunan” dan “geometris” Ilahi yakni mencapai suatu “derajat yang tinggi”, bukan dalam dimensi materi yakni pergi ke suatu “tempat yang tinggi”.
Dari aspek ini menuntuk adanya suatu metode, cara, dan jalan supaya manusia terbantu untuk menggapai suatu derajat dan maqâm yang tinggi. Tuhan menyebut suluk ruhani dan penapakan spiritual itu dengan perjalanan menaik dan vertikal, hal ini sebagaimana tertera dalam surah Mujadalah ayat sebelas yang berbunyi, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat“.
Seseorang yang berjalan menaik dan menyempurnakan dirinya maka niscaya akan mencapai derajat yang tinggi dan Tuhan dalam ayat di atas berkaitan dengan perjalanan maknawi ini menggunakan kata “yarfa’u” yang berarti meninggikan. Begitu pula dalam surah Fathir menamakan perjalanan maknawi ini dengan “menaik”. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh akan mengangkatnya. (Qs. Fathir: 10)
Maka dari itu, kedua kata “menaik” dan “mengangkat” dalam suluk tersebut telah menjadi jelas, yakni berkonsekuensi pada nilai-nilai vertikal dan penggapaian derajat-derajat, bukan nilai-nilai horisontal dan pergi pada suatu tempat. Karena perjalanan ke suatu tempat -walaupun tempat itu tinggi seperti gunung- adalah masih digolongkan dalam perjalanan horisontal, bukan vertikal. Dan Tuhan mengingatkan berkaitan dengan pengangkatan Nabi Idris As yang telah menapaki perjalanan vertikal ini sebagai berikut, “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat dan tempat yang tinggi.” (Qs. Maryam: 57).
Maksud dari “tempat yang tinggi” dalam ayat itu bukanlah tempat lahiriah sebagaimana di dunia ini. Dan Tuhan berhubungan dengan zat suci-Nya sendiri juga menggunakan istilah sebagai wujud yang memiliki derajat dan “tempat” yang tinggi. Hal ini sebagaimana dalam surah Ghafir ayat limabelas, “(Dia-lah) yang mengangkat derajat (para hamba yang saleh).”
Oleh karena itu, perjalanan menuju Tuhan adalah perjalanan ke arah derajat dan tingkatan yang tinggi, dan para mukmin akan mencapai derajat yang tinggi serta para alim akan mendapatkan kesempurnaan yang lebih besar lagi. Begitu pula kalimat-kalimat yang baik akan mengarah ke derajat yang tinggi itu.[3]
Pernyataan lain juga memiliki kaitan bahwa kecenderungan kepada Tuhan itu sendiri tidak lain adalah gerak menaik dan ketinggian derajat, sementara keinginan duniawi adalah gerak menurun, kehinaan, dan kerendahan martabat itu sendiri. Dunia dikatakan sebagai dunia karena memiliki derajat yang sangat rendah atau paling rendahnya sesuatu. [4]Kecenderungan duniawi menyebabkan manusia menjadi rendah dan hina derajatnya.[5]
Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai nilai-nilai spiritual … apabila dengan mengorbankan harta benda dan keluarga, maka itu sangatlah layak dan terpuji.[6] Dan mengakui kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa secara jantan akan menyebabkan Tuhan pasti mengantarkannya kepada derajat dan martabat yang tinggi.[7]
Oleh karena itu, kecenderungan dan keinginan kepada perkara-perkara maknawi dan spiritual serta alam akhirat adalah suatu gerak dan proses ke arah fitrah Ilahi. Dan kecenderungan kepada hal-hal duniawi dan nilai-nilai material adalah suatu gerak dan proses yang didasarkan pada tabiat alam materi dan aspek natural manusia serta manusia sangat termotivasi untuk menggapai keindahan-keindahan lahiriah alam materi ini dan larut dalam menikmatinya, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (Qs. Rum: 7)
Begitu pula segala apa yang manfaat-manfaat dan hasil-hasilnya cepat hadir dan berlalu merupakan sesuatu yang senantiasa diinginkan dan dikehendaki oleh manusia, seperti dalam ayat berikut ini, “Sekali-kali tidak (seperti yang kamu yakini bahwa dalil-dalil tentang hari kiamat itu tidak cukup). Sebenarnya kamu (hai manusia) hanya mencintai kehidupan duniadan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (Qs. Qiyamat: 20 dan 21).
Dengan berpijak pada realitas ayat tersebut di atas Imam Ali As bersabda, “Orang-orang yang sesat itu mendahulukan perkara-perkara duniawi dan manfaat-manfaat yang cepat berlalu itu serta menunda-nunda perkara-perkara ukhrawi dan nilai-nilai yang abadi.”[8] Dan kesimpulannya, kecenderungan dan keinginan manusia kepada perkara-perkara duniawi dan nilai-nilai material nampaknya sangatlah mudah dan ringan.
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1]. Askary, Abu Halal, Al-Furug fil lughah, hal. 369, Intesyarat Oston Quds-e Radhawi.
[2] . Hadawi Tehrani, Mahdi, Bowarho wa Pursesyho, hal. 84, Muassasah Farhangi Khoney-e Kherad.
[3] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudhu’I Quran Karim, Marohele Akhlaq dar Quran, Bakhsye Sewwum, hal. 223, Markaz-e Nasyr-e Isra’.
[4] . Rey Syahri, Muhammad, Muntakhab Mizanul Hikmah, hadis nomor 2171, Imam As.
[5] . Ibid, hadis nomor2192.
[6] . Nahjul Balaghah, khotbah 52.
[7] . Ibid, hikmah 20.
[8] . Nahjul Balaghah, khotbah 144.
(teosophy/ABNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar