Sabtu, 18 Juli 2015

PERBEDAAN MARJA'

Mengapa Para Marjaʻ Berbeda dalam Menentukan Idul Fitri?


Mengapa para marjaʻ taklid kadang-kadang berbeda pandangan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri? Apakah hal ini tidak akan menimbulkan masalah di kalangan masyarakat?
  
Satu hal yang harus kita tekankan pertama kali adalah menentukan Hari Raya Idul Fitri bukanlah tugas seorang mujtahid dan marjaʻ taklid. Tugas mukallaflah untuk menentukan hilal sesuai dengan cara dan jalan-jalan yang telah dipaparkan dalam kitab-kitanTawdhīh Al-Masā’il. Ia tidak wajib menunggu pengumuman mujtahid dan marjaʻ taklid.

Poin kedua, dalam sebagian masalah, syariat Islam telah menentukan cara-cara yang bisa digunakan untuk memahami obyek-obyek sebuah hukum. Seperti dalam masalah kita ini, syariat telah menentukan bahwa bulan Ramadhan dimulai dengan melihat hilal dan ditutup juga dengan melihat hilal. Semua masalah bergantung pada melihat hilal:shum li ru’yah wa afthir lir ru’yah.

Termasuk dalam kategori melihat hilal apabila dua orang adil menyatakan telah menyaksikan hilal.

Dengan demikian, jika setiap orang, baik mujtahid maupun mukallaf, telah menentukan hilal melalui jalan-jalan yang telah ditentukan, maka ia wajib berpuasa dan juga wajib berbuka puasa. Jika tidak terbukti, maka ia tidak memiliki kewajiban apapun.

Lalu, mengapa terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan Idul Fitri?

a. Sebagian marjaʻ taklid meyakini kesaksian dua orang adil atau wakil-wakil mereka di berbagai daerah bahwa hilal telah tampak.

b. Perbedaan prinsip para marjaʻ dalam menentukan melihat hilal. Sebagian marjaʻ meyakini bahwa hilal yang sudah terlihat di setengah belahan bumi adalah hujjah untuk seluruh penduduk di bagian bumi ini. Sementara itu, sebagian marjaʻ yang lain berkeyakinan hilal hanya menjadi hujjah untuk daerah hilal terlihat dan juga daerah-daerah yang seufuk dengan daerah ini.

c. Apakah melihat hilal harus dengan mata telanjang ataukah juga bisa dengan menggunakan alat seperti teleskop? Sebagian marjaʻ akhir-akhir ini menyatakan fasilitas seperti ini adalah muktabar.

Untuk itu, dengan kesadaran ilmiah seperti ini, perbedaan pandangan dalam menentukan Idul Fitri tidak akan menimbulkan problem di tengah masyarakat.

(Shabestan/ABNS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar