Sabtu, 18 Juli 2015

MAQAM FANA DALAM IRFAN

Maqam Fana dalam Irfan


Oleh: Mohammad Adlany

Fana dalam makna leksikalnya adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Kata fana digunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti: “Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu,” Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata “fanin” (hancur) berhadapan dengan kata “yabqa” (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.

Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, tidak memperhatikan, dan tidak menyaksikan keberadaannya sendiri. Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.

Makna gramatikal fana tidak bersesuaian dengan makna leksikalnya. Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri. Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang.

Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif 

Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, “Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.[1]

Qusyairi menyatakan, “Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya.”

Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, “Sirna  dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa.”[2]

Maqam Fana dalam Irfan

Di dalam Irfan terdapat dua istilah:

Maqam;Hal.

Maqam adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm  itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm  tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqam yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.

Sementara pengertian “hal” berlawanan dengan maqâm  tersebut. “Hal” adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian “hal” adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.

Manusia dalam maqam fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.

Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, “Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq.” Inilah yang dalam istilah irfan dinamakan “fana fii Allah” (fana dalam sifat-sifat Tuhan).

Pada maqâm  fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.

Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap, “Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya.” Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan “menyirnakan” segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan.

Realitas fana ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.

Bagaimana Mencapai Maqâm Fana

Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.

Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.

Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini.  Akan tetapi, maksud dari “liqa ullah” (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata sepertisyuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, “Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata.”[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin “menyaksikan” sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâmfana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.

Allah Swt berfirman, “Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya.”[4]

Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, “Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan.”[5]

Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya “Arbain Hadis”. Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, “Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Zat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia “memandang” pancaran eksistensial Tuhan[6] dan kefanaan zatnya sendiri.”[7]

Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya’baniyah: “Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya.”[8]

Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Para pesuluk yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna. Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan “mata” Tuhan, mendengar dengan “telinga” Tuhan, dan berucap dengan “lisan” Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah). 

[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]  

  

Referensi:

[1] . Kata fana pertama kali digolongkan ke dalam bagian istilah irfani oleh Abu Said Kharraz.

[2] . Khuramsyahi,Bahauddin, Hafiz Nameh, Intesyarat Surusy, hal. 975.

[3] . Qs. An’am: 103

[4] . Qs. Kahfi: 110

[5] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudhu’I Quran Karim, jld 7, hal. 255.

[6] . Suatu pancaran yang menyebabkan hadirnya keberadaan segala sesuatu selain Tuhan. Pancaran inilah yang menyebabkan terwujudanya segala sesuatu di alam dan seluruh makhluk. (Penerjemah)

[7] . Imam Khomeni qs, Arba’ina Hadis, hal. 454.

[8] . Biharul Anwar, jld 91, hal. 98; Mafatihul Jinan Munajat Sya’baniyah.

(teosophy/ABNS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar