Minggu, 26 Juli 2015

BUKTI SUNNAH-SUNNAH KHALIFAH UMAR YANG BERTENTANGAN DGN AL-QUR'AN DAN SUNNAH NABI SAWW SERTA AKAL ADALAH MELEBIHI 50 PERKARA.

Bukti Sunnah-sunnah khalifah Umar bin Khattab yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw serta akal adalah melebihi 50 perkara sebagaimana dicatat oleh para ulama Ahlus-Sunnah di dalam buku-buku mereka


Sekiranya mereka berbohong di dalam catatan mereka, maka merekalah yang berdosa dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Dan sekiranya catatan mereka itu betul, kenapa kita menolaknya dan terus memusuhi Sunnah Nabi Saw yang bertentangan dengan sunnah Umar?

Berikut dikemukakan sebagian daripada sunnah khalifah Umar tang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw serta akal yang sejahtera :
1. Umar telah menghalang Nabi Saw dari menulis sunnahnya yang terakhir.Lantas Nabi Saw mengusir Umar dan kelompoknya supaya keluar dari rumahnya. (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).
2. Umar dan kelompoknya bertengkar di hadapan Nabi Saw bagi menentang sunnahnya supaya dibawa kepadanya pensil dan kertas untuk menulis wasiatnya (sunnahnya). (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).
3. Umar telah memisahkan Kitab Allah daripada Nabi Saw ketika dia berkata di hadapan Nabi Saw: “Kitab Allah adalah cukup bagi kita”. Kata-kata Umar adalah secara langsong merendah martabat Nabi Saw. ( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).
4. Umar tidak mempercayai kemaksuman Nabi Saw ketika dia berkata : “cukuplah bagi kita Kitab Allah” Kata-katanya itu ditentang oleh Nabi Saw sendiri . Lalu beliau Saw menjadi marah dan terus mengusir khalifah Umar serta kelompoknya supaya keluar. (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).
5. Umar telah mengatakan bahwa Nabi Saw sedang meracau (yahjuru). maka permintaan beliau Saw supaya dibawa pensil dan kertas untuk beliau menulis perkara-perkara yang tidak akan menyesatkan ummatnya selama-lamanya tidak perlu dilayani lagi. [Muslim, Sahih, III, hlm. 69; al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36] Justeru itu sunnah Umar adalah bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah al-Najm (53):3-4: ”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.”.
6. Umar telah melarang orang ramai dari meriwayat dan menulis Sunnah Nabi Saw. Umar berkata: ”Hasbuna Kitabullah (Kitab Allah adalah cukup bagi kita).” [Al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36] Sunnahnya adalah bertentangan dengan sunnah yang dipopularkan oleh Ahlul Sunnah: ”Aku tinggalkan pada kalian dua perkara selama kalian berpegang kepada kedua-duanyaKitab Allah dan Sunnahku.”. Lantaran itu, khalifah Umar bertegas bahwa dia tidak perlu kepada sunnah Nabi Saw di hadapan Nabi Saw sendiri.
7. Umar telah membakar sunnah Nabi Saw Ibn Sa’d dalam Tabaqatnya, V hlm. 140 meriwayatkan bahwa apabila hadith atau Sunnah Nabi Saw banyak diriwayat dan dituliskan pada masa Umar bin al-Khattab, maka dia menyeru orang ramai supaya membawa kepadanya semua hadith-hadith yang ditulis, kemudian dia memerintahkan supaya hal itu dibakar.
8. Umar telah menahan tiga orang sahabat di Madinah sehingga mati, karena meriwayatkan banyak hadith Rasulullah Saw. Mereka ialah Ibn Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Mas’ud al-Ansari. [al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I,hlm. 8; al-Haithami, Majma al-Zawaid,I,hlm. 149; al-Hakim, al-Mustadrak,I,hlm. 110].
9. Umar berkata: ”Kami tidak perlu kepada sunnah Nabi,karena kitab Allah sudah cukup bagi kita” . (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).
10. Umar percaya bahwa sunnahnya adalah lebih baik daripada sunnah Nabi Saw umpamanya menambahkan hukum sebat bagi peminum arak dari 40 sebatan kepada 80 kali sebatan. [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 137].
11. Umar meragukan Nabi Saw dan kaum Muslimin sama ada berada di dalam kebenaran ataupun kebatilan. Ia bertanya Nabi Saw: ”Adakah kita berada di dalam kebenaran dan mereka (kafir) berada dai dalam kebatilan? Adakah orang yang terbunuh di pihak kita akan memasuki syurga? Dan orang yang terbunuh di pihak mereka ke neraka? Nabi Saw menjawab:”Ya, dan akhirnya Nabi Saw menegaskan kepadanya: ”Wahai Ibn al-Khattab, sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah dan Allah tidak akan mengabaikan aku.”Umar beredar dari Nabi Saw dengan marah (muthaghayyizan), kemudian dia berjumpa Abu Bakar lalu ia mengemukakan persoalan yang sama, lantas Abu Bakar menyakinkan dia bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah dan Allah tidak akan mengabaikannya. [Muslim, Sahih,IV, hlm.12,14; al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111].
12. Umar adalah perencana utama dalam rencana membakar rumah Fatimah As karena memaksa Ali As supaya memberi membai’ah kepada Abu Bakar. Sunnahnya itu adalah membelakangi firman Tuhan (Surah al-Ahzab (33):33: ”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”. Fatimah As adalah di kalangan Ashab al-Kisa’ yang disucikan oleh Allah Swt. Umar berkata: ”Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai’ah kepada Abu Bakar.” [Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida, Tarikh, I, hlm. 156].
13. Umar dan kelompoknya telah memaksa Ali As memberi baiah kepada Abu Bakr di dalam keadaan lehernya terikat. (Ibn Qutaibah,al-Imamah wa al-Siyasah , I ,hlm.18-20, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal,iii,hlm.139;Abul-Fida,Tarikh,I,hlm.159;al- Tabari, Tarikh ,III , hlm.159]. Perlakuan sedemikian adalah menyalahi Sunnah Nabi Saw yang bersifat lembut terhadap Ali As dan melantiknya sebagai khalifah selepasnya: Siapa yang telah menjadikan aku maulanya,maka Ali adalah maulanya”, dan ia adalah sejajar dengan tuntutan Ali As terhadap jawatan khalifah. (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah,hlm.144,al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal ,vi,hlm.2180).
14. Umar dan kelompoknya tidak diizinkan oleh Fatimah As untuk mengerjakan solat ke atasnya. Dia berwasiat kepada suaminya Ali As supaya Abu Bakr dan Umar tidak diizinkan mengerjakan solat ke atasnya. Karena perbuatan mereka berdua yang menyakitkan hatinya, khususnys mengenai Fadak [Al-Bukhari,Sahih ,VI,hlm.196; Ibn Qutaibah, al-Imamah Wa al-Siyasah ,I,hlm.14; Abu l-Fida, Tarikh,I,hlm.159; al-Tabari,Tarikh,III,hlm.159]. Nabi Saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah marah kepada kemarahanmu (Fatimah) dan redha dengan keredhaanmu.”. [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm.153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm.219].
15. Umar telah mengingkari kematian Nabi Saw. Dia tidak mengetahui bahwa kematian adalah harus bagi Nabi Saw. Dia berkata: ”Siapa yang mengatakan bahwa Nabi telah mati, aku akan membunuhnya dengan pedangku.”. Abu Bakar datang dan berkata kepadanya: ”Tidakkah anda mendengar firman Allah Swt (di dalam Surah al-Zumar (39):30,”Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)” dan firman-Nya (di dalam Surah Ali Imran (3):144), ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sesungguhnya telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” Maka Umar pun berkata: ”Aku yakin dengan kematiannya seolah-olah aku tidak mendengar ayat-ayat tersebut.”[al-Syarastani, al-Milal,I,hlm. 23; al-Bukhari, Sahih,VII, hlm.17].
Bagaimana khalifah Umar berkata: ”Kitab Allah adalah cukup bagi kita”, ketika dia melarang Nabi Saw dari menulis wasiatnya di mana ummat tidak akan sesat selama-lamanya, sedangkan dia tidak mengetahui ayat-ayat tersebut sehingga Abu Bakar datang dan membacakan kepadanya? Dan tindakan Umar yang tidak mempercayai kewafatan Nabi Saw tidak dapat difahami sebagai kasihnya yang teramat sangat kepada Nabi Saw. Karena dia telah berkata bahwa Nabi Saw sedang meracau dan Kitab Allah adalah cukup bagi kita. Lalu dia melarang Nabi Saw dari melaksanakan apa yang dikehendakinya. [al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, II, hlm. 69].
Dan kata-kata Abu Bakar pula menyokong pendapat Umar. Dia berkata: ”Siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati.”. Ini berarti wahai orang yang bermegah ke atas kami dengan Muhammad, habislah mereka karena peranannya sudah selesai. Kitab Allah adalah cukup bagi kita karena hal itu hidup. Persoalan yang timbul, “Adakah kaum Muslimin pada masa itu menyembah Muhammad?” Tidak. Mungkin ini adalah satu sindiran kepada Bani Hashim secara umum dan Ali bin Abi Talib secara khusus. Karena mereka bermegah dengan Muhammad. Nabi Saw, dari kalangan mereka. Dan merekalah keluarganya, dan orang yang paling berhak daripada orang lain, karena mereka lebih mengetahuikedudukan Nabi Saw.
Atau adakah tindakan Umar yang ingin membunuh siapa saja yang berkata Muhammad telah mati itu merupakan tindakan politik sehingga dia dapat melambat-lambatkan kepercayaan kaum Muslimin bahwa Nabi Saw telah mati. Dan dengan ini perancanaannya dapat dilaksanakan sehingga segala-galanya diatur dengan baik. Sejurus kemudian dia diberitahu secara sulit bahwa perdebatan di Saqifah sedang berlaku. Lantas dia, Abu Bakar dan Abu Ubaidah meninggalkan jenazah Nabi Saw menuju Saqifah tanpa diketahui oleh Bani Hasyim.
16. Umar telah melarang mahar (mas kawin) yang tinggi. Dia berkata: ”Sesiapa yang menaikkan mahr anak perempuannya, aku akan mengambilnya dan menjadikannya milik Baitul Mal.”. Sunnah Umar telah ditentang oleh seorang wanita lalu dia membaca firman Tuhan di dalam Surah al-Nisa’ (4):20: ″Sekiranya kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali barang sedikitpun. ”Umar menjawab: ”Orang ramai lebih alim daripada Umar sehingga gadis-gadis sunti di rumah-rumah.” [Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib,II, hlm. 175; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur,II, hlm. 133) Kata-kata Umar itu tidak dapat difahami sebagai tawadhuk, karena ia melibatkan hukum Allah Swt.
17. Umar telah mengharamkan haji tamattu’. hal itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw yang tidak pernah mengharamkannya. [Ibn Kathir, Tafsir,I,hlm. 233; al-Bukhari, Sahih, VII, hlm. 33].
18. Umar tidak melaksanakan hukum had ke atas Mughirah bin Syu’bah yang dituduh berzina dengan Ummu Jamil isteri kepada Hajaj bin Atiq bin al-Harith bin Wahab al-Jusyami dengan berkata: ”Aku sedang melihat muka seorang lelaki di mana Allah tidak akan mencemarkan lelaki Muslim dengannya.”. Maka saksi tersebut tidak memberikan penyaksiannya yang tepat karena mengikut kehendak Umar. Di dalam riwayat yang lain Umar memberi isyarat kepada saksi yang keempat supaya tidak memberika keterangan yang tepat. Keempat orang saksi tersebut telah memberi penyaksian yang tepat semasa mereka di Basrah.
Tetapi Umar mengadakan pengadilan yang kedua di Madinah. Apabila saja saksi yang keempat tidak memberikan penyaksian yang tepat sebagaimana diberikannya di Basrah, maka Umar pun melakukan had ke atas tiga saksi tersebut. Seorang saksi bernama Abu Bakar berkata: ”Demi Allah, Mughirah telah melakukannya. Umar ingin mengenakan had ke atasnya kali kedua.”. Ali As berkata: ”Jika anda melakukannya maka rejamlah al-Mughirah bin Syu’bah tetapi dia enggan melakukannya.” [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 448; Ibn Hajr, al-Isabah, III, hlm. 452; Ibn Athir, Usd al-Ghabah, IV, hlm. 407; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 88]
19. Umar telah memerintahkan supaya di rejam seorang wanita gila (yang berzina). Maka Ali As memperingatkannya dan berkata: ”Qalam diangkat daripada orang gila sehingga dia sembuh.”. Umar pun berkata: ”Sekiranya tidak ada Ali, niscaya binasalah Umar.” [Ibn Abd al-Birr, al-Isti’ab, III, hlm. 39; al-Tabari, Dhakhair al-Uqba, hlm. 80].
20. Umar tidak membenarkan orang Islam yang bukan Arab mewarisi pusaka keluarga mereka melainkan mereka dilahirkan di negeri Arab. [Malik, al-Muwatta,II, hlm.12] maka ijtihad Umar adalah bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw yang tidak membedakan seseorang melainkan dengan taqwa dan hal itu juga mengandungi sifat asabiyah sebagaimana firmanNya di dalam Surah al-Hujurat (49):10: ”Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara.”. Dan Nabi Saw bersabda: ”Tidak ada kelebihan orang Arab ke atas bukan Arab melainkan dengan taqwa.” [Al-Haithami, Majma’al-Zawa’id, III, hlm. 226].
21. Umar tidak pernah mengadakan korban (penyembelihan) karena khuatir kaum Muslimin akan menganggapnya wajib. [al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra,IX, hlm. 265; Syafi’i, al-Umm, II, hlm. 189]. Sunnahnya adalah bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw yang menganjurkan amalan tersebut. Dan kaum Muslimin sehingga hari ini mengetahui hal itu adalah sunat.
22. Umar mengakui bahwa dia tidak mengetahui tentang al-Qur’an, hukum halal-haram dan masalah pusaka. Dia berkata: ”Siapa yang ingin bertanya tentang al-Qur’an, maka hendaklah dia bertanya kepada Ubayy bin Ka’ab. Sesiapa yang ingin mengetahui halal dan haram, maka hendakah dia bertanya kepada Muadh bin Jabal. Sesiapa yang ingin mengetahui tentang ilmu faraidh, hendaklah dia bertanya kepada Zaid bin Thabit. Dan siapa yang ingin meminta harta maka hendaklah dia datang kepadaku karena akulah penjaganya.[al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 271; Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, hlm. 223; al-Baihaqi, al-Sunan, VI, hlm. 210] Ketiga-tiga ilmu tersebut dikuasai oleh orang lain. Dia hanya penjaga harta.
23. Umar telah menakut-nakut dan menggertak seorang wanita supaya membuat pengakuan tentang perzinaannya. Lalu wanita tersebut membuat pengakuannya. Maka khalifah Umar memerintahkan supaya ia direjam. Lalu Ali As bertanya kepadanya: ”Tidakkah anda mendengar Rasulullah Saw bersabda: ”Tidak dikenakan hukum had ke atas orang yang membuat pengakuan selepas ujian (bala’) sama ada ia diikat, ditahan atau diugut? maka lepaskanlah dia. Maka Umar berkata:Wanita-wanita tidak terdaya untuk melahirkan seorang seperti Ali. Sekiranya Ali tidak ada niscaya binasalah Umar. [Fakhruddin al-Razi, al-Araba’ain, hlm. 466; al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 48; al-Tabari Dhakha’ir al-‘Uqba,hlm. 80].
24. Umar tidak mengetahui tempat untuk memulakan umrah. Kemudian dia berkata: ”Tanyalah Ali.” [al-Tabari di dalam Dhakha’ir al-Uqba, hlm. 89; al-Muhibb al-Tabari, al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 195].
25. Umar telah memerintahkan supaya perpustakaan-perpustakaan di Iran dan Iskandariah dibakar atau dicampakkan buku-bukunya ke laut. Ditanya kenapa dia memerintahkannya. Dia menjawab: “Allah telah memberikan kepada kita hidayah yang lebih baik daripada itu.”. Perpustakaan-perpustakaan tersebut mengandungi banyak buku-buku ilmiah di dalam berbagai-bagai bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu hisab, falak, hikmah, kedoktoran, dan lain-lain. Tetapi khalifah Umar tidak menghargainya.[Ibn al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 334; Ibn Khaldun, Tarikh, I, hlm. 32; Ibn al-Jauzi, Sirah al-Umar, hlm. 107].
26. Umar memerintahkan supaya dipotong pohon bai’ah Ridhwan, karena kaum Muslimin mengerjakan solat di bawah pohon tersebut bagi mengambil berkat. Apabila berita ini sampai kepada Umar dia memerintahkan supaya hal itu dipotong. [Ibn Sa’d, Tabaqat al-Kubra, hlm.608; Ibn Jauzi, Sirah Umar, hlm. 107]. Sepatutnya khalifah Umar menjaga pohon tersebut dengan baik sebagai satu peninggalan sejarah yang berharga.
27. Umar adalah orang yang pertama mengenakan zakat kuda. Sunnahnya adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw: “Aku memaafkan kalian zakat kuda dan hamba.” [al-Baladhuri, Ansab al-Asyraf,V,hlm.26; al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 30; Ahmad bin Hanbal; al-Musnad, I, hlm. 62; al-Sayuti, Tarikh al-Khulafa’, I, hlm. 137].
28. Khalifah Umar tidak mengetahui hukum orang yang ragu tentang rakaat solatnya bagaimana hendak dilakukannya. Dia bertanya kepada seorang budak: “Apabila seorang itu ragu bilangan solatnya, apakah ia harus lakukan?” Sepatutnya dia telah bertanya kepada Nabi Saw mengenainya. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 190; al-Baihaqi, Sunan, II, hlm. 332].
29. Umar telah mengharamkan memakai wewangian (perfume) bagi orang yang mengerjakan haji sehingga mereka melakukan tawaf ifadhah. Ijtihadnya adalah menyalahi Sunnah Rasulullah di mana Aisyah berkata: Aku meletakkan wewangian ke atas Rasulullah Saw sebelum beliau mengerjakan tawaf ifadhah. [Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 285; al-Turmudhi, Sahih, I, hlm. 173; al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 58; Muslim, Sahih, I, hlm. 330].
30. Umar tidak mengetahui faedah Hajr al-Aswad. Dia berkata: “Hajr al-Aswad tidak memberi sebarang faedah dan kemudharatan.” Sekiranya dia tidak melihat Rasulullah Saw menciumnya, niscaya dia tidak menciumnya. Kata-kata Khalifah Umar tersebut adalah menyalahi Sunnah Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Hajr al-Aswad diturunkan dari Syurga warnanya putih seperti susu. Tetapi hal itu bertukar menjadi hitam disebabkan dosa manusia.” Dan sabdanya lagi: “Demi Allah.Dia akan membangkitkannya di Hari Kiamat, hal itu mempunyai dua mata dan satu lidah yang akan bercakap dan memberi penyaksian kepada orang yang telah menciumnya”. [al-Turmudhi, Sahih, I, hlm. 180; al-Nasa’i, Sahih, II, hlm. 37; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, II, hlm. 3].
31. Umar tidak memberi khums kepada kerabat Nabi Saw. Sunnah Umar adalah menyalahi firman-Nya dalam Surah al-Anfal 8:41 dan berlawanan dengan Sunnah Nabi (Saw.). [al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, II, hlm. 127; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 248].
32. Umar berkata bahwa memukul isteri tidak akan dikenakan dosa. Dia mengaitkan kata-kata ini dengan Rasulullah Saw. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 20], sebenarnya hal itu bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah an-Nahl 16:90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allahmelarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
33. Umar melarang hadis “khabar gembira” bahwa setiap orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat dengan yakin, akan masuk syurga. Karena dia khuatir kaum Muslim hanya mengucap dua kalimah syahadat kemudian meninggalkan amalan lain. Dia berkata kepada Rasulullah Saw: “Adakah anda mengutuskan Abu Hurairah dengan khabar tersebut?” Rasulullah menjawab:”Ya.” Umar berkata kepada Rasulullah Saw: “Janganlah anda melakukannya”. [Ibn al-Jauzi, Sirah Umar, hlm. 38; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, III, hlm. 108]. Sepatutnya dia tidak melarang Nabi Saw untuk melakukannya.
34. Umar tidak membunuh Dzu al-Thadyah (ketua Khawarij) sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkannya supaya membunuhnya. Dia berkata:”Bagaimana aku membunuh lelaki yang sedang sujud?” Kemudian Rasulullah Saw bertanya lagi: “Siapa lagi yang akan membunuhnya?”Ali menjawab:”Aku.” Nabi Saw bersabda:”Sekiranya anda mendapatinya.”Ali pun pergi tetapi tidak mendapatinya. Nabi Saw bersabda:”Sekiranya lelaki itu dibunuh, tidak akan ada dua lelaki yang berselisih faham.”[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad,III, hlm. 15].
Sepatutnya Khalifah Umar membunuhnya tanpa mengambil kira keadaannya karena Rasulullah Saw telah memerintahkannya. Tetapi dia menggunakan ijtihadnya bagi menyalahi Sunnah Rasulullah Saw.
35. Umar tidak dapat memahami ungkapan-ungkapan yang tinggi. Dia bertanya kepada seorang lelaki:”Bagaimana keadaan anda?”Lelaki itu menjawab:”Aku adalah di kalangan orang yang mencintai fitnah, membenci al-Haqq dan memberi penyaksian kepada orang yang tidak dilihat.”Lalu dia memerintahkan supaya lelaki itu ditahan. Maka Ali As menyuruh supaya hal itu dilepaskan seraya berkata: ”Apa yang diucapkan oleh lelaki itu adalah benar.”. Umar berkata: ”Bagaimana anda dapat mengatakan hal itu benar?” Ali As menjawab: ”Dia mencintai harta dan anak sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Anfal(8):28: ”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah.”. Dan dia membenci kematian maka ia adalah al-haqq. Dan dia memberi penyaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah sekalipun dia tidak melihatnya.Kemudian Umar memerintahkan supaya ia dilepaskan. [Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, hlm.46].
36. Umar telah menjatuhkan airmuka Nabi Saw di hadapan Musyrikin yang datang berjumpa Nabi Saw supaya mengembalikan hamba-hamba mereka yang lari dari mereka. Musyrikin berkata:Hamba-hamba kami telah datang kepada anda bukanlah karena mereka cinta kepada agama, tetapi mereka lari dari menjadi milik kami dan harta kami. Justeru itu kembalilah mereka kepada kami. Lebih-lebih lagi kami adalah jiran anda dan orang yang membuat perjanjian damai dengan anda.Walau bagaimanapun Rasulullah Saw tidak mau menyerahkan hamba-hamba tersebut kepada mereka karena khuatir mereka akan menyiksa hamba-hamba tersebut. Tetapi beliau tidak mau mendedahkan hakikat ini kepada mereka. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar. Maka Umar menjawab: ”Benar kata-kata mereka itu wahai Rasulullah. Mereka itu adalah jiran kita dan mereka telah membuat perjanjian damai dengan kita.”. Maka muka Nabi Saw berubah karena jawapannya menyalahi apa yang dikehendaki oleh Nabi Saw. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm.155;al-Nasa’i, al-Khasa’is, hlm. 11]
37. Umar menjadikan mahr wanita menikah sebelum tamat iddahnya untuk Baitul Mal. Kemudian dia memisahkan pasangan tersebut dan berkata: Nikah adalah haram, mahar adalah haram dan kedua-duanya tidak dapat menikah lagi.Ali berkata: Sekiranya lelaki itu tidak mengetahuinya, wanita tersebut berhak mengambil mahrnya dan dipisahkan pasangan tersebut. Dan apabila tamat ‘iddahnya dia menjadi peminangnya. Didalam ertikata yang lain dia hendaklah menyempurnakan iddahnya yang pertama kemudian menyempurnakan pula iddahnya yang kedua.”. Lalu Umar berkata: ”Kembalikan” “kejahilan” kepada Sunnah. [Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 441; al-Tabari, Dhakha’ir al-‘Uqba, hlm. 81] Persoalan yang timbul ialah kenapakah dia menjadikan mahar hal Baitul Mal dan bukan hak wanita tersebut dan kenapakah dia mengharamkan wanita tersebut ke atas lelaki tersebut? Manakah ayat atau Sunnah yang memdapatkan khalifah Umar melakukan sedemikian? maka ijtihadnya adalah menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
38. Umar telah menjadikan “enam jengkal” sebagai ukuran baligh. Dia berkata: ”Sekiranya kalian mendapati budak lelaki yang mencuri itu setinggi enam jengkal (sittah asybar) genap, maka kalian potonglah tangannnya. Jika tidak tinggallah dia.”.
Di riwayatkan daripada Sulaiman bin Yasar: ”Sesungguhnya Umar mendatangi seorang budak lelaki yang telah mencuri, lalu dia mengukur budak tersebut, tetapi hal itu tidak mencukupi enam jengkal tepat lalu ditinggalkannya.” [al-Muttaqi al-Hindi,Kanz al-Ummal,I, hlm. 116].
maka sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Saw yang menetapkan baligh melalui ihtilam (mimpi) dan tumbuh bulu di kemaluan. [al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, V, hlm. 54-55].
39. Umar telah mehentikan pemberian zakat kepada muallaf. [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, hlm. 137 dan lain-lain] Tindakan ini adalah bertentangan dengan al-Qur’an Surah al-Taubah (4):60: ”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untukorang-orang faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya….”. 
40. Umar berhasrat untuk melantik Salim hamba Abu Huzaifah menjadi khalifah sekiranya ia masih hidup. maka kata-katanya adalah bertentangan dengan kata-katanya yang menyokong Abu Bakar di Saqifah. Para imam mestilah daripada Quraisy karena Salim adalah seorang hamba dan dia bukanlah daripada Quraisy. [Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm.19].
41. Umar telah menghukum rejam ke atas wanita yang mengandung selama enam bulan, kemudian melahirkan anak.Lalu Ali (a.s) membantahnya dan membacakan firman Allah Swt di dalam Surah al-Ahqaf (46):15: ”Ibunya mengandungkannya sampai menyusunya adalah tiga puluh bulan” dan firmanNya di dalam Surah Luqman (31):14: ”Penyusuannya selama dua tahun.”. Maka mengandung sekurang-kurangnya ialah enam bulan dan penyusuannya ialah selama dua tahun.Kemudian Umar menarik balik hukumannya dan berkata:” Sekiranya tidak ada Ali, niscaya binasalah Umar.” [al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, I,hlm. 288; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 96;al-Tabari, Dhakha’ir al-Uqba, hlm. 82, dan lain-lain].
42. Umar telah mengenakan hukum had ke atas Ja’dah dari Bani Sulaim tanpa saksi yang mencukupi. Dia memadai dengan sepucuk surat yang mengandungi syair mengenai perzinaannya yang dihantar oleh Buraid. [Ibn Sa’d, Tabaqat, III, hlm. 205]. Lantaran itu ijtihadnya adalah bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang memerlukan empat orang saksi atau pengakuan secara sukarela.
43. Umar telah lari di dalam peperangan Uhud, Hunain, dan Khaibar. [al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 46; al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm.37; al-Dhahabi, al-Talkhis, III, hlm. 37 dan lain-lain]
44. Umar telah menjalankan hukum had ke atas Abdul Rahman pada kali kedua karena meminum arak. Sebenarnya Umru bin al-‘As telah menjalankan hukum had keatasnya di Mesir dan disaksikan oleh anaknya, Abdullah bin Umar. Tetapi khalifah Umar tidak mengindahkannya. Kemudian dia memukulnya pada kali kedua:”Abdul Rahman menyeru meminta tolong sambil berkata: ”Aku sedang sakit, demi Tuhan, anda (Umar) adalah pembunuhku.”. Dan selepas dia menjalankan had keatasnya dia menahannya pula selama sebulan, kemudian dia meninggal dunia. Sepatutnya dia tidak mengenakan had keatasnya pada kali kedua dan menunggu sehingga dia sembuh dari sakitnya serta tidak menahannya pula. [Ibn Abd Rabbih, al-Aqd al-Farid, III, hlm. 470; al-Khatib, Tarikh Baghdad, VI, hlm. 450; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, III, hlm. 127].
45. Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut’ah.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 137] Kenyataan al-Suyuti berarti:
a) Nikah mut’ah adalah halal menurut Islam.
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut’ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah Saw, khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.
c) Umar mempunyai kuasa veto yang dapat memansuhkan atau membatalkan hukum nikah mut’ah sekalipun hal itu halal di sisi Allah dan Rasul-Nya. Al-Suyuti seorang Mujaddid Ahlil Sunnah abad ke-6 Hijrah mempercayai bahwa nikah mut’ah adalah halal, karena pengharamannya adalah dilakukan oleh Umar dan bukan oleh Allah dan Rasul-Nya.Kenyataan al-Suyuti adalah berdasarkan kepada al-Qur’an dan kata-kata Umar sendiri.
Sebenarnya para ulama Ahlul Sunnah sendiri telah mencatat bahwa Umarlah yang telah mengharamkan nikah mut’ah seperti berikut:
a) Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar:”Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, yaitu mut’ahperempuan dan mut’ah haji.
b) Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah: ”Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut’ah.”. Dia menjawab: ”Umar al-Khatab.”. Dia bertanya lagi: ”Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya.”. Dia menjawab: ”Mengikut riwayat yang sahih bahwa dia menaiki mimbar masjid dan berkata: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut’ah tetapi aku aku mengharamkan kedua-duanya (mut’ah perempuan dan mut’ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya.”
c) Daripada Jabir bin Abdullah, dia berkata: ”Kami telah melakukan nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kasus Umru bin Harith. [Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VIII, hlm.294].
d) Daripada Urwah bin al-Zubair,”Sesungguhnya Khaulah binti Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata: ”Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata: ”Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya awal-awal lagi niscaya aku merejamnya.”Isnad hadith ini adalah tsiqah, dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta’, II, hlm. 30;al-Syafi’i, al-Umm, VII, hlm. 219;al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206].
e) Kata-kata Ali As: ”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorangpun berzina melainkan orang yang celaka.” [al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140].
Kata-kata Ali As ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahwa Ali telah melarang nikah mut’ah karena beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa’ (4):24.
f) Daripada Ibn Juraij, daripada ‘Ata’ dia berkata: ”Aku mendengar Ibn Abbas berkata: Semoga Allah merahmati Umar, mut’ah adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad dan jika ia tidak dilarang (oleh Umar) niscaya seorang itu tidak perlu berzina melainkan orang yang celaka.” [al-Jassas, al-Ahkam al-Qur’an, II, hlm. 179; al-Zamakhshari, al-Fa’iq, I, hlm. 331;al-Qurtubi, Tafsir, V, hlm. 130].
Riwayat Ibn Abbas tersebut menafikan dakwaan orang yang mengatakan Ibn Abbas telah menarik balik kata-katanya mengenai mut’ah. Walau bagaimanapun halalnya mut’ah tidak berpandu kepada pendapat Ibn Abbas tetapi berpandu kepada Surah al-Nisa (4): 24 yang tidak dimansuhkan.
Di sini disebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in yang telah mengamalkan nikah mut’ah atau mempercayai ia halal seperti berikut:
1. Umran bin al-Hasin.
2. Jabir bin Abdullah.
3. Abdullah bin Mas’ud.
4. Abdullah bin Umar.
5. Muawiyah bin Abi Sufyan.
6. Abu Said al-Khudri.
7. Salman bin Umaiyyah bin Khalf.
8. Ma’bad bin Umaiyyah.
9. al-Zubair bin al-Awwam yang mengahwini Asma’ binti khalifah Abu Bakar secara mut’ah selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak lelaki bernama Abdullah da Urwah.
10. Khalid bin Muhajir.
11. Umru bin Harith.
12. Ubayy bin Ka’ab.
13. Rabi’ah bin Umaiyyah.
14. Said bin Jubair.
15. Tawwus al-Yamani.
16. ‘Ata’ Abu Muhammad al-Madani.
17. al-Sudi.
18. Mujahid.
19. Zufar bin Aus al-Madani.
20. Ibn Juraij.
21. Ali bin Abi Talib.
22. Umar b. al-Khattab sebelum dia mengharamkannya dan diakuilah anaknya Abdullah bin Umar.
Nama-nama tersebut adalah diambil dari buku-buku Hadith Ahlul Sunnah dan lain-lain di mana saya tidak memberi rujukan lengkap karena kesempitan ruang, lihatlah umpamanya buku-buku sahih bab nikah mut’ah dan lain-lain.
Di sini diperturunkan pendapat-pendapat Ahlul Sunnah yang mengatakan nikah mut’ah telah dimansuhkan, kemudian, diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kembali. Ia mempunyai 15 pendapat yang berbeda-beda seperti berikut:
1. Nikah mut’ah diharuskan pada permulaan Islam, kemudian Rasulullah Saw melarangnya di dalam Peperangan Khaibar.
2. Ia dapat dilakukan ketika darurat di masa-masa tertentu kemudian diharamkan pada akhir tahun Haji Wida’.
3. Ia diharuskan selama 3 hari saja.
4. Diharuskan pada tahun al-Autas kemudian diharamkan.
5. Diharuskan pada Haji Wida’ kemudian ditegah semula.
6. Diharuskan, kemudian diharamkan pada masa pembukaan Mekah.
7. Ia harus, kemudiannya ditegah dalam Perang Tabuk.
8. Diharuskan pada pembukaan Mekah dan diharamkan pada hari itu juga.
9. Ia dihalalkan pada Umrah al-Qadha’.
10. Ia tidak pernah diharuskan di dalam Islam. Pendapat ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, Ahlul Baytnya dan sahabat-sahabat.
11. Ia diharuskan kemudian dilarang pada Perang Khaibar kemudian diizin kembali pada masa pembukaan Mekah kemudian diharamkannya selepas tiga hari.
12. Diharuskan pada permulaan Islam kemudian diharuskan pada Perang Khaibar kemudian diharuskan pada Perang Autas, kemudian diharamkan.
13. Diharuskan pada permulaan Islam pada tahun Autas, pembukaan Mekah dan Umrah al-Qadha’ dan diharamkan pada Peperangan Khaibar dan Tabuk.
14. Ia telah diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kemudian dimansuhkan.
15. Diharuskan 7 kali, dimansuhkan 7 kali, dimansuhkan pada Peperangan Khaibar, Hunain, ‘Umra al-Qadha’, tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida’.[al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, II, hlm. 183; Muslim, Sahih, I, hlm. 394;Ibn Hajr, Fath al-Bari, IX, hlm. 138; al-Zurqani, Syarh al-Muwatta’, hlm. 24].
Lihatlah bagaimana perselisihan pendapat telah berlaku tentang nikah mut’ah di mana mereka sendiri tidak yakin bilakah ia dimansuhkan atau sebaliknya. Walau bagaimanapun pendapat-pendapat tersebut memberi erti bahwa hukum nikah mut’ah dapat dipermainkan-mainkan karena ia mengandungi beberapa proses pengharusan dan pengharaman, maka hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. hal itu telah dilakukan oleh al-Zubair bin al-Awwam dengan Asma’ binti khalifah Abu Bakar selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak mut’ah.
Sebenarnya pengharusan nikah mut’ah itu berasal daripada al-Qur’an, firman-Nya (Surah al-Nisa (4):24: ”Maka isteri-isteri kamu yang kamu nikmati (mut’ah) di atas mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajipan.”. Menurut al-Zamakhsyari, ayat ini adalah Muhkamah, yaitu tidak dimansuhkan [al-Kasysyaf,I hlm. 190] yaitu nikah mut’ah adalah halal.
Al-Qurtubi menyatakan, penduduk Mekah banyak melakukan nikah mut’ah [Tafsir,V, hlm. 132]. Fakhruddin al-Razi berkata:”Mereka berselisih pendapat tentang ayat ini, sama ada ia dimansuhkan ataupun tidak, tetapi sebagian besar berpendapat ayat ini tidak dimansuhkan dan nikah mut’ah adalah harus.” [Mafatih al-Ghaib, III, hlm. 200]. Abu Hayyan berkata: ”Selepas menukilkan hadith yang mengharuskan nikah mut’ah, sekelompok daripada Ahlul Bayt dan Tabi’in berpendapat nikah mut’ah adalah halal. ”Ibn Juraij (w.150 H) pula berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah harus. Imam Syafi’I menegaskan bahwa Ibn Juraij telah bernikah mut’ah dengan 72 orang perempuan, sementara al-Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut’ah dengan 90 orang perempuan. [Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408].
Perhatikanlah bahwa Ibn Juraij adalah seorang daripada Tabi’in dan imam masjid Mekah, telah menikah secara mut’ah dengan 90 orang perempuan dan dia juga telah meriwayatkan hadith yang banyak di dalam sahih-sahih Ahlul Sunnah seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain. Ini berarti kitab-kitab sahih tersebut telah dikotori (mengikut bahwa lawan) dan ia tidak menjadisahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut’ah itu dianggap penzina.
Ayat tersebut tidak dimansuhkan oleh Surah al-Mukminun ayat 6 dan Surah al-Ma’arij ayat 30, karena kedua-dua ayat tersebut adalah Makkiyyah dan ayat Makkiyyah tidak dapat memansuhkan ayat Madaniyyah, begitu juga ia tidak dapat dimansuhkan dengan ayat al-Mirath (pusaka) karena dalam nikah biasa sekalipun mirath tidak dapat berlaku jika si isteri melakukan nusyuz terhadap suaminya atau isterinya seorang kitabiyah. Sebagaimana juga ia tidak dapat dimansuhkan dengan ayat Talaq, karena nikah mut’ah dapat ditalak (dapat dibatalkan) dengan berakhirnya masa. Ia juga tidak dapat dimansuhkan dengan hadith mengiku jumhur ulama.
Imam Zulfar berpendapat walaupun ditetapkan, tetapi ia tidak membatalkan akad nikah. Imam Malik pula mengatakan nikah mut’ah adalah harus hingga terdapatnya dalil yang memansuhkannya. Imam Muhammad al-Syaibani mengatakan nikah mut’ah adalah makruh. [al-Sarkhasi, al-Mabsut, V, hlm. 160]. Demikianlah beberapa pendapat yang menunjukkan nikah mut’ah adalahharus tetapi ia diharamkan oleh khalifah Umar al-Khattab. Adapun syarat-syarat nikah mut’ah menurut Islam adalah seperti berikut:
i. Mahar.
ii. Ajal (tempoh)
iii. Akad yang mengandungi ijab dan kabul dan hal itu sah dilakukan secara wakil
iv. Perceraian selepas tamatnya tempoh
v. Iddah
vi. Sabitnya nasab (keturunan)
vii. Tidak sabitnya pusaka di antara suami dan isteri jika ia tidak syaratkan.
Inilah syarat-syarat nikah mut’ah mengikut Ahlul Sunnah dan Syiah dan inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Adapun kata-kata bahwa ‘nikah mut’ah dapat dilakukan dengan isteri orang’ adalah satu pembohongan yang besar dan hal itu menyalahi nas. maka para Imam Ahlul Bait As dan para ulama Syiah mengharamkannya. Disebabkan ijab sebarang nikah, sama ada nikah mut’ah ataupun da’im (biasa) adalah dipihak perempuan atau wakilnya, maka perempuan tersebut atau wakilnya mestilah mengetahui bahwa ‘dia’ bukanlah isteri orang, jika tidak, ia tidak dapat melafazkan ijab, “aku nikahkan diriku akan dikau dengan mas kahwinnya sebanyak satu ribu ringgit selama tiga tahun. ”Umpamanya lelaki menjawab: ”Aku terimalah nikah.
Imam Baqir dan Imam Ja’far al-Sadiq As berkata bahwa pihak lelaki tidak wajib bertanya adakah siperempuan itu isteri orang atau tidak, karena sudah pasti mengikut hukum syarak perempuan yang akan menikah mestilah bukan isteri orang. Jika didapati ia isteri orang maka nikah mut’ah atau nikah biasa itu adalah tidak sah. Walau bagaimanapun adalah disunatkan seorang itu bertanya keadaan perempuan itu sama ada masih isteri orang atau sebagainya.
Mengenai wali Ahlul Sunnah tidak sependapat sama ada wali adalah wajib bagi perempuan yang ingin menikah. Abu Hanifah umpamanya menyatakan wali adalah tidak wajib bagi janda dan anak dara yang sudah akil baligh dengan syarat ia menikah dengan seorang yang sekufu dengannya. [Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 183] Abu Yusuf dan al-Syaibani pula berpendapat wali adalah peru tetapi bapa tidak ada hak untuk memaksa anak perempuannya melainkan ia di bawah umur. [Ibn Hazm, al-Muhalla, hlm. 145].
Imam Ja’far al-Sadiq As berpendapat wali tidak wajib dalam nikah kecuali bagi anak dara. Tetapi ia adalah dianjurkan di dalam semua keadaan bagi penentuan harta dan keturunan. [al-Tusi, Tahdbib al-Ahkam, VII, hlm. 262].
Sebenarnya idea wali nikah menurut Imam Malik adalah dikaitkan dengan khalifah Umar al-Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin al-Musayyab, bahwa seorang tidak dibenarkan menikah tanpa kebenaran walinya atau keluarganya yang baik atau pemerintah [Sahnun, al-Mudawwannah al-Kubra, IV, hlm. 16].
Mengenai saksi di dalam nikah, Imam Ja’far al-Sadiq As tidak mewajibkan saksi di dalam nikah mut’ah atau nikah biasa, tetapi ia disunatkan berbuat demikian bagi pengurusan harta dan penentuan nasab keturunan.[al-Tusi, al-Istibsar, III, hlm. 148].
Tidak terdapat di dalam al-Qur’an ayat yang mewajibkan wali dan saksi di dalam nikah, umpamanya firman Allah dalam Surah al-Nisa (4):3….. ”maka kahwinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga dan empat.” Ini berarti Allah tidak mewajibkan saksi dan wali di dalam perkahwinan karena untuk memberi kemudahan kepada umat manusia tetapi Dia mewajibkan saksi di dalam perceraian, firmanNya dalam Surah al-Talaq (65):2….”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.”.
Imam Ja’far al-Sadiq As mengatakan bahwa dua saksi di dalam talak adalah wajib. Walau bagaimanapun beliau tidak menafikan bahwa saksi adalah dianjurkan, lantaran itu hadith: “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi” adalah hadith yang lemah. Itulah nikah mut’ah yang dipercayai oleh mazhab Ja’fari dan ia adalah sama seperti yang dilakukan pada zaman Nabi Saw dan zaman sahabatnya, dengan penjelasan ini, semoga hal itu dapat dibedakan di antara pelacuran dan nikah mut’ah.
Kesimpulannya, nikah mut’ah adalah halal sehingga Hari Kiamat berdasarkan Surah al-Nisa (4):24. Ia adalah ayat muhkamah yang tidak dimansuhkan, hanya khalifah Umar saja yang memansuhkan nikah mut’ah pada masa pemerintahannya. maka ijtihadnya adalah menyalahi nas, dengan itu kata-kata al-Suyuti bahwa khalifah Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut’ah adalah wajar dan menepati nas. Walau bagaimanapun saya sekali-kali tidak menganjurkan sesiapa pun untuk melakukannya walau di mana sekalipun.
46. Khalifah Umar mengenakan had ke atas lelaki Badwi yang mabuk karena meminum minuman Umar. Lelaki itu berkata:”Sesungguhnya aku minum dari minuman anda. ”Umar menjawab: ”Aku kenakan had ke atas anda karena mabuk dan bukan karena minuman(ku).” Kemudian dia menambahkan air ke dalam minuman tersebut lalu dia meminumnya selepas mengenakan had ke atas lelaki tersebut. [Ibn Abd Rabbih, al-Aqd al-Farid, III, hlm. 416; al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, II, hlm. 565; al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm. 326].
Dan sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw: ”Aku melarang kalian meminum minuman yang sedikit apabila banyaknya memabukkan.” [al-Darimi, al-Sunan, II, hlm. 113; al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm. 301].
47. Umar menghalalkan minuman keras al-Tala' (jenis anggur yang diperah) apabila hal itu direbus dan dihilangkan dua pertiganya. [al-Baihaqi, al-Sunan, VIII, hlm. 300;al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm. 329;al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,III, hlm. 109;Malik, al-Muwatta’,II, hlm. 180] maka ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Saw: ”Setiap yang memabukkan adalah haram.” [al-Turmidhi, Sahih, I, hlm. 324; al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm.300].
48. Umar telah mengenakan had tanpa menurut hukum syarak. Seorang peminum arak dibawa kepadanya, lalu dia memerintahkan Muti’ bin al-Aswad supaya melakukan hukuman had ke atasnya. Kemudian dia melihatnya memukulnya dengan pukulan yang kuat lalu dia berkata kepadanya: ”Anda telah membunuh lelaki itu. Berapa kalikah anda telah memukulnya? ”Dia menjawab: ”Enam puluh kali.”. Lalu Umar berkata: ”Jadikan dua puluh pukulan yang belum dilaksanakan itu sebagai menepati pukulan anda “yang kuat,” maka jumlahnya cukup 80.”. Kedua-dua hukumannya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw yang menghukum peminum arak sebanyak 40 kali sebat. [al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VIII, hlm.317; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 137].
49. Umar berkata: ”Sesiapa berkata aku seorang yang alim, maka dia adalah jahil dan sesiapa yang mengatakan dia mukmin maka dia adalah kafir.” [al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, I, hlm. 103]
Kata-katanya yang pertama bertentangan dengan firman Tuhan di dalam Surah al-Zumar (39): 9: ”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui (orang-orang jahil)?” Dan kedua, hal itu bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah Ali Imran (3): 52: ”Hawariyyun berkata: Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman (ammana) kepada Allah.”
50. Umar tidak menganjurkan kaum Muslimin menziarahi Baitul Maqdis karena khuatir mereka akan membuat Haji seperti di Mekah. Beliau memukul dua lelaki yang melintasi Baitul Maqdis. [al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm. 157], sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Saw yang menganjurkan kaum Muslimin menziarahi atau beribadat pada tiga masjid. Rasulullah Saw bersabda: ”Pengembaraan diharuskan pada tiga masjid, Masjid Haram, Masjid aku ini dan Masjid al-Aqsa’.[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, II, hlm. 234; Muslim, Sahih, I, hlm. 392; al-Nasai, al-Sunan, II,hlm. 37].
51. Umar telah membentuk majlis syura yang aneh dan menakutkan. Dan hal itu mesti ditamatkan dalam masa tiga hari dan dikawal oleh 50 orang tentera yang lengkap dengan senjata. Dia melantik enam orang; Sa’d bin Abu Waqas, Abdul Rahman bun Auf, Ali bin Abi Talib, Talhah bin Ubaidillah, al-Zubair bin al-Awwam dan Uthman bin Affan. Kemudian dia mencaci mereka dengan cacian-cacian yang tidak melayakkan mereka menjadi khalifah. Kemudian dia berkata: ”Jika seorang daripada mereka menentang dan lima bersetuju, maka bunuhlah dia. Jika dua menentang dan empat bersetuju maka bunuhlah kedua-duanya. Dan jika tiga menentang dan tiga tiga bersetuju maka pilihlah pihak yang ada Abdul Rahman bin Auf.[IbnQutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 24].
Perhatikanlah bagaimana Khalifah Umar menghalalkan darah Muslimin di dalam keadaan tersebut? Ini berarti jika Ali menentang, dia akan dibunuh. maka hukumannya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw. Tidak halal darah Muslim melainkan tiga perkara: Lelaki kafir selepas Islamnya, lelaki berzina selepas Ihsannya, membunuh tanpa hak. [Ibn Majah, al-Sunan, II, hlm. 110].
Sistem syura yang diciptakan oleh Umar itu adalah untuk menjauhkan Ali As daripada menjadi khalifah seperti berikut:
1. Syura ini telah melahirkan permusuhan terhadap Ali As. Talhah al-Tamimi adalah dari keluarga Abu Bakar yang telah memindahkan khalifah dari Ali As. Abdul Rahman bin Auf adalah ipar Uthman, adalah di antara orang yang menentang Ali As.
Dan dia di antara orang yang cuba membakar rumah Ali As karena keengganannya memberi bai’ah kepada Abu Bakar.Sa’d bin Abu Waqas adalah di antara orang yang dendam terhadap Ali As karena ramai daripada bapa-bapa saudaranya telah dibunuh oleh Ali As karena penyibaran Islam. Lantaran itu dia lewat memberi bai’ah kepada Ali As. Dan Uthman ketua Bani Umaiyyah yang dikenali dengan permusuhan dan penentangan terhadap Bani Hasyim dan keluarga Rasul-Nya. Justeru itu syura telah diciptakan begitu rupa adalah semata-mata untuk menjauhkan Ali daripada jawatan khalifah.
2. Syura ini menjaukhkan Ali dari unsur-unsur yang membantunya di dalam pemilihan, karena tidak seorang pun orang Ansar dipilih di dalam majlis syura tersebut. Perhatikanlah bagaimana khalifah Umar menjalankan politiknya yang halus supaya Ali tidak terpilih di dalam syura tersebut.
3. Syura menjadikan Abdul Rahman sebagai penentu apabila tiga bersetuju dan tiga lagi menentang. Apakah kelebihan Abdul Rahman bin Auf? Tidakkah dia berkata kepadanya: ”Ada adalah firaun ummat ini?” [Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I,hlm. 24].
4. Syura melahirkan perebutan dan penentangan di kalangan anggota-anggotanya. Sa’ad bin Abu Waqas dan Abdul Rahman patuh kepada Uthman. Dan berlakulah sebagaimana yang berlaku.
52. Umar berhasrat untuk melantik Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai khalifah. Dia berkata: ”Sekiranya Abu Ubaidah bin al-Jarrah masih hidup, niscaya aku melantiknya menjadi khalifah.” [Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 23].
Kata-kata Khalifah Umar itu adalah bertentangan dengan hadith-hadith Rasulullah Saw, di antaranya: ”Ini Ali saudaraku, khalifahku, pewaris ilmuku.” [al-Turmudhi al-Hanafi, al-Kaukab al-Duriyy, hlm. 134]. Perhatikanlah bagaimana khalifah Umar tidak pernah terlintas di hatinya untuk melantik Ali As sebagai khalifah. Malah majlis syura yang dibentuk olehnya adalah semata-mata untuk menjauhkan Ali As dari jawatan tersebut dengan cara yang paling halus.
53. Umar telah menulis surat kepada penduduk Kufah supaya tidak menamakan anak-anak mereka dengan nama Nabi Saw. Dan memerintahkan sebagian penduduk Madinah supaya mengubah nama-nama mereka yang dinamakan dengan nama Muhammad. Ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Saw yang mengizinkannya.Di antaranya Rasulullah Saw bersabda: ”Siapa yang mempunyai tiga orang anak lelaki dan dia tidak menamakan seorang daripada mereka dengan nama Muhammad, maka dia adalah orang seorang jahil.” [al-Haithami, Majma’ al-Zawaid, VIII, hlm. 49] Dan apabila sebagian sahabat memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Saw telah membenarkannya, lalu dia menarik balik perintahnya. [Umdah al-Qari, VII, 143].
54. Umar telah mengenakan had ke atas seorang yang berpuasa yang berada di dalam majlis minuman arak. Mereka berkata: ”Dia itu berpuasa.”. Umar menjawab: ”Kenapa dia berada bersama mereka.” [al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummar, III, hlm. 101]. Sepatutnya dia menyelidik kenapa lelaki itu berada di tempat itu. Dan kenapa dia tidak mengenakan hukum ta’zir ke atasnya?
55. Umar telah mengharamkan perkahwinan selama-lamanya ke atas seorang perempuan yang melakukan hubungan jenis dengan hamba lelakinya karena penakwilannya terhadap Surah al-Mukminun (23):6; ”…..atau hamba-hamba yang mereka miliki.”. Umar bermesyuarat dengan beberapa orang sahabatnya mengenainya. Mereka berkata:”hal itu tidak dapat direjam karena dia telah menakwilkan ayat tersebut.”. Umar berkata: ”Tidak mengapa! Demi Allah aku mengharamkan ke atas anda perkahwinan selama-lamanya, sebagai gantian kepada hukum had.”. Dan dia memerintahkan hamba lelaki tersebut supaya ”tidak menghampirinya.”. maka ijtihad Umar adalah bertentangan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. [al-Tabari, Tafsir, VI, hlm. 68; al-Baihaqi, al-Sunan, VII, hlm. 127; Ibn Kathir, Tafsir, III, hlm.239].
56. Umat tidak mengambil jizyah daripada orang-orang Majusi karena dia tidak mengetahui bahwa mereka daripada Ahlul-Kitab sehingga dia diberitahu oleh Abdul Rahman bin Auf bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda: ”Laksanakanlah hukum ke atas “mereka” sebagaimana hukum Ahlu l-Kitab.”. Kemudian dia melaksanakannya setahun sebelum dia wafat. Sepatutnya dia telah mengetahuinya dan mengambil jizyah daripada mereka. [al-Khatib al-Tabrizi, Misykat-al-Masabih, hlm. 334; Malik, al-Muwatta’, hlm. 207; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 190; al-Baihaqi, al-Sunan, VIII, hlm. 234; Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, hlm. 32]
57. Umar dan Abu Bakar telah bertengkar sehingga meninggikan suara mereka di hadapan Rasulullah Saw. Abu Bakar berkata: ”Wahai Rasulullah lantiklah al-Aqra’ bin Habis bagi mengetuai kaumnya.”. Umar berkata: ”Wahai Rasulullah! Janganlah anda melantiknya sehingga mereka menengking dan meninggikan suara mereka di hadapan Rasulullah Saw”. Lalu diturunkan ayat di dalam Surah al-Hujurat (49):2: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus pahala amalanmu, sedangkan kamu tidak menyedari.” Sepatutnya mereka berdua bertanya dan merujuk kepada Rasulullah Saw mengenai. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, IV, hlm. 6; al-Tahawi, Musykil al-Athar, I, hlm. 14-42].
58. Umar telah memukul dengan cemeti seorang lelaki bernama Sabigh sehingga berdarah di belakangnya karena dia bertanya tentang huruf-huruf al-Qur’an (Mutasyabih al-Qur’an). Beberapa hari kemudian dia berkata kepada khalifah Umar: ”Jika anda mau membunuhku, bunuhlah dengan baik. Dan jika anda mau mengubatiku, aku sekarang sudah sembuh.”. Kemudian Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari supaya tidak membenarkan orang ramai bergaul dengannya. Tindakan itu menyulitkan kehidupannya. Lalu Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada khalifah Umar supaya membenarkan orang ramai bergaul dengannya karena dia sudah bertaubat. Kemudian khalifah Umar membenarkannya. [al-Darimi,al-Sunan, I, hlm. 54; Ibn Asakir, Tarikh, VI, hlm. 384; Ibn al-Jauzi, Sirah Umar, hlm. 109].
59. Umar tidak mengetahui ilmu Qira’at al-Qur’an. Diriwayatkan daripada Ibn Mujaz dia berkata: ”Ubayy meriwayatkan daripada Ibn Mujaz dia berkata:”Ubayy membaca ayat 107 di dalam Surah al-Maidah, ”Mani Iladhina Istahaqqa ‘Alaihim al-Aulayyan.”. Umar berkata kepada Ubayy: ”Anda telah berbohong.”. Ubayy menjawab: ”Anda lebih banyak berbohong.”. Seorang lelaki berkata kepada Ubayy: ”Anda membohongi Amirul Mukminin?” Dia menjawab: ”Aku lebih memuliakan Amirul Mukminin daripada anda. tetapi aku membohonginya karena membenarkan Kitab Allah dan aku tidak membenarkan Amirul Mukminin untuk membohongi Kitab Allah. Umar menjawab: ”Ya, betul.” [al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, I, hlm, 285; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm. 344].
60. Umar telah menyetubuhi seorang hamba-nya pada siang hari bulan Ramadhan. Al-Daral-Qutni di dalam Sunannya Kitab al-Siyam, bab al-Qublah Li s-Siam (Perbahasan Mengenai Puasa dan Bab Ciuman Bagi Orang yang Berpuasa) telah meriwayatkan dengan sanadnya daripada Sa’id bin al-Musayyab bahwa Umar telah datang kepada para sahabatnya dan berkata: ”Apakah pendapat kalian tentang perkara yang aku telah melakukannya hari ini? Pada mulanya aku berpuasa, tiba-tiba seorang hamba wanita melintasiku, dia mempersonakanku, maka aku pun menyetubuhinya.”Orang ramai menjadi riuh dengan kelakuannya itu sedangkan Ali As berdiam saja. Lalu Umar bertanya kepada Ali As: ”Apa pendapat anda?”. Beliau menjawab: ”Anda telah melakukan perkara yang halal tetapi pada siang hari Ramadhan.”. Lalu Umar berkata: ”Fatwa anda adalah lebih baik dari fatwa mereka.” [Ibn Sa’d, Tabaqat, II, Bhg.II, hlm. 102].
Persoalannya: ”Sekiranya khalifah Umar mengetahui hukumnya, apakah yang mendorongnya bertanya kepada para sahabatnya dan kemudian kepada Ali As? Sekiranya dia tidak mengetahuinya, apakah yang menyebabkan dia berani melakukannya sebelum dia mengetahui halalnya dengan bertanyakan hukumnya?”
61. Umar ketika sembahyang bersama Nabi Saw telah menyeru Badwi penjual susu supaya berhenti di tempatnya. Al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, II, hlm. 62, meriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri bahwa Nabi Saw sedang sembahyang tiba-tiba seorang Badwi datang dengan susunya. Kemudian Nabi Saw memberikan isyarat kepadanya, tetapi dia (Badwi) tidak memahaminya.Lalu Umar memanggilnya: ”Wahai Badwi! Berhentilah di situ.”. Apabila Nabi Saw memberi salam, beliau bertanya: ”Siapakah yang bercakap tadi?” Orang ramai menjawab: ”Umar.”. Lalu Nabi Saw bersabda: ”Ilmu fiqh mana yang diikutinya! (sehingga dia dapat bercakap di dalam sembahyang).”.
62. Umar tidak mampu memahami ungkapan seorang wanita yang mengadu kepada Umar mengenai suaminya. Dia berkata: ”Sesungguhnya suamiku berpuasa di siang hari dan beribadat di waktu malam.”. Umar tidak memahami ungkapan tersebut, malah dia berkata: ”Anda mempunyai suami yang baik.”. Lalu seorang lelaki di majlis itu memberitahukan kepadanya maksud ungkapannya: ”Dia mengadu mengenai suaminya yang tidak menidurinya.”. Kemudian Umar meminta lelaki tersebut supaya memberi hukuman di antara mereka berdua.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 96 dan lain-lain].
63. Umar telah menjalankan pemerintahannya agak kasar dan aggresif dan menakutkan kebanyakan rakyat biasa sehingga seorang wanita yang sedang hamil, gugur kandungannya karena takutkan Umar. Tetapi aneh sekali di dalam peperangan dia merupakan seorang yang selalu melarikan diri. [al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 46; al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 37] Talhah berkata kepada Abu Bakar: ”Kenapa anda melantik ke atas kami seorang yang kasar? [Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 26]. Tindakannya itu telah menambahkan kemarahan orang ramai. Lantaran itu hal itu bertentangan dengan Rasulullah Saw yang telah menjalankan pemerintahannya dengan lembut dan berbudi pekerti yang tinggi dan bersifat defensif.
64. Umar telah meninggikan suaranya terhadap Rasulullah Saw. Muslim di dalam Sahihnya, Bab Waqt al-Isya’ wa ta’khiruha meriwayatkan dengan sanadnya daripada Ibn Syihab daripada Urwah bin al-Zubair bahwa Aisyah berkata: ”Pada suatu malam Rasulullah Saw telah melambatkan sembahyang ‘Isya' (atmah), lalu beliau tidak keluar dari rumahnya sehingga Umar menyeru:Wanita-wanita dan kanak-kanak telah tidur! Lantas Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang di masjid ketika beliau keluar….. Sehingga Ibn Syihab memberitahukan kepadaku bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Janganlah kalian mendesak Rasul supaya menyegerakan sembahyang.”. Ini berlaku apabila Umar menyerukan kepada beliau supaya mengerjakan sembahyang dengan segera.”.
65. Umar membelakangi perintah Rasulullah Saw sebaliknya mematuhi permintaan ketua Musyrikin, Abu Sufian. Rasulullah Saw melarang para sahabatnya menjawab pertanyaan Abu Sufyan di dalam Perang Uhud karena khuatir kaum Musyrikin mengetahui bahwa beliau masih hidup dan menyerang balas dengan cepat. Abu Sufyan ingin mendapatkan kepastian tersebut. Lalu dia bertanya:”Adakah Muhammad masih hidup?” Rasulullah Saw bersabda: ”Janganlah kalian menjawab pertanyaannya.”. Kemudian dia bertanya kepada Umar secara khusus: ”Wahai Umar, aku mengadu kepada anda supaya anda memberitahukan kepadaku, adakah kami telah membunuh Muhammad?” Lantas Umar menjawab: ”Tidak!  Beliau sedang mendengar percakapan anda.” [Ibn Jarir, Ibn al-Athir di dalam Tarikh-tarikh mereka bab “Peperangan Uhud”]. Sepatutnya khalifah Umar mematuhi perintah Rasulullah Saw dengan tidak membocorkan maklumat tersebut. Lantaran itu ijtihadnya adalah menyalahi Sunnah Rasulullah Saw.
66. Umar telah memanggil seorang wanita yang hamil karena ingin bertanya kepadanya sesuatu yang menangkutkannya. Tetapi disebabkan ketakutannya kepada khalifah Umar kandungannya menjadi gugur. Dia meminta fatwa para sahabat mengenainya. Mereka berkata: ”Anda tidak wajib membayar apa-apapun kepadanya.”. Lalu Ali berkata: ”Sekiranya mereka ingin menjaga hati anda, berarti mereka telah menipu anda. Dan sekiranya ini adalah ijtihad mereka, maka mereka telah bersalah. maka anda bersalah dan wajib memerdekakan seorang hamba.” [Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, I, hlm. 58].
67. Umar mengkritik (lamiza) Nabi Saw dan cara beliau membagi-bagikan harta sadaqah. Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 20 meriwayatkan daripada Salman bin Rabi’ah, dia berkata: ”Aku mendengar Umar berkata:Rasulullah Saw membagi-bagikan sesuatu, maka aku berkata: Wahai Rasulullah, Ahlul s-Suffah adalah lebih berhak daripada mereka. Dia berkata:Rasulullah Saw bersabda: ”Anda bertanya kepadaku tentang perkara-perkara yang keji dan anda menyangka aku seorang yang bakhil sedangkan aku bukanlah seorang yang bakhil.”. Aku berkata: Beliau meneruskan pembagian tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.”. Diriwayatkan daripada Abu Musa bahwa Umar telah bertanya kepada Rasulullah perkara-perkara yang dibenci oleh Rasulullah, lantas beliau marah sehingga Umar melihat mukanya berubah. Al-Bukhari juga telah meriwayatkannya di dalam Sahihnya, I, hlm. 19, bab al-‘Ilm, dan bab al-Ghadhab fi al-Mau’izah wa al-Ta’lim idha Ra’a ma yakrahu.
68. Umar telah memaksa Jabalah bin al-Aiham supaya mengikat dirinya sendiri atau membiarkan dirinya diikat karena dia telah menampar seorang lelaki dari Zararah yang telah memijak kainnya ketika dia sedang melakukan tawaf. Apabila tiba waktu malam, Jabalah dan kaumnya sebanyak lima ratus orang keluar dari Makkah menuju Istanbul. Kemudian mengisytiharkan menganuti agama Kristian karena menentang tindakan Umar. Walau bagaimanpun Jabalah berdukacita di atas apa yang berlaku karena perasaan kasih kepada Islam masih wujud di hatinya tetapi kemarahan kepada tindakan Umar tetap membara. [Ibn Abd Rabbih, al-Aqd al-Farid, I, hlm. 187]. Lantaran itu tindakan Umar yang terburu-buru tanpa kebijaksanaan telah membuat Jabalah dan kaumnya sebanyak lima ratus orang meninggalkan agama Islam dan memeluk agama Kristian.
69. Umar telah memberi hukuman bahwa talak tiga jatuh sekaligus. Sedangkan talak pada masa Rasulullah Saw dan khalifah Abu Bakar ialah tiga kali sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad,I,hlm. 314; Muslim, Sahih,I,hlm. 574]. Sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw dan firman Tuhan di dalam Surah al-Baqarah (2): 229: ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu dapat dirujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.”.
70. Umar mengatakan tidak wajib sembahyang (Shalat) bagi orang yang berjunub ketika tidak ada air. [Ibn Majah, al-Sunan,I,hlm. 200; al-Nasai, al-Sunan,I,hlm. 59]. maka sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Maidah (5):6: ″…maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah….”.

(hauzahmaya/syiahali/islamquest/ABNS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar