Sumber Pengetahuan
Oleh: Mohammad Adlany
Titik fokus dalam pembahasan kali ini adalah dengan apakah manusia memperoleh pengetahuan dan makrifat? Berapa jumlah sumber yang mungkin bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan hakiki dan mengenal objek-objek eksternal?
Berhubungan dengan sumber pengetahuan tersebut terdapat dua kelompok yang mempunyai perspektif berbeda, kelompok yang hanya percaya pada satu sumber dan kelompok yang berpegang kepada beberapa sumber. Terdapat tiga aliran yang hanya berpijak pada satu sumber saja, yakni Positivisme, Rasionalisme, dan Iluminasionisme. Positivisme adalah suatu aliran yang hanya percaya pada indra-indra lahiriah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Rasionalisme merupakan paham yang hanya berpegang pada akal dan proposisi-proposisi rasional sebagai asal makrifat hakiki. Sementara Iluminasionisme sebagai suatu isme yang memandang bahwa hanya hati dan kalbu serta pensucian jiwa adalah satu-satunya sumber bagi manusia untuk menggapai pengetahuan, makrifat, dan ilmu hakiki terhadap objek-objek dan realitas-realitas eksternal.[1]
1. Indra
Tak diragukan bahwa indra-indra lahiriah manusia merupakan alat dan sumber pengetahuan, dan manusia mengenal objek-objek fisik dengan perantaraanya. Setiap orang yang kehilangan salah satu dari indranya akan sirna kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara partikular. Misalnya seorang yang kehilangan indra penglihatannya maka dia tidak akan dapat menggambarkan warna dan bentuk sesuatu yang fisikal, dan lebih jauh lagi orang itu tidak akan mempunyai suatu konsepsi universal tentang warna dan bentuk. Begitu pula orang yang tidak memiliki kekuatan mendengar maka dapat dipastikan bahwa dia tidak mampu mengkonstruksi suatu pemahaman tentang suara dan bunyi dalam pikirannya.
Atas dasar inilah, Ibn Sina dengan menutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan.[2] Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi. Oleh karena itu, yang hakiki dan prinsipil hanyalah perkara-perkara kognitif dan yang menjadi sumber ilmu dan pengetahuan adalah daya akal dan argumen-argumen rasional.
Akan tetapi, filosof-filosof Islam beranggapan bahwa indra-indra lahiriah tetap bernilai sebagai sumber pengetahuan. Mereka memandang bahwa peran indra-indra itu hanyalah berkisar seputar konsep-konsep yang berhubungan dengan objek-objek fisik seperti manusia, pohon, warna, bentuk, dan kuantitas. Indra-indra tak berkaitan dengan semua konsep-konsep yang mungkin dimiliki dan diketahui oleh manusia, bahkan terdapat realitas-realitas yang sama sekali tidak terdeteksi dan terjangkau oleh indra-indra lahiriah dan hanya dapat dicapai oleh daya-daya pencerapan lain yang ada pada diri manusia.
Konsep-konsep atas realitas-realitas fisikal dan material yang tercerap lewat indra-indra, yang walaupun secara tidak langsung, berada di alam pikiran, namun juga tidak terwujud dalam akal dan pikiran kita secara mandiri dan fitrawi. Melainkan setelah mendapatkan beberapa konsepsi-konsepsi indrawi maka secara bertahap akan memperoleh pemahaman-pemahaman yang lain. Awal mulanya pikiran manusia sama sekali tidak mempunyai konsep-konsep sesuatu, dia seperti kerta putih yang hanya memiliki potensi-potensi untuk menerima coretan, goresan, dan gambar. Dan aktivitas persepsi pikiran dimulai dari indra-indra lahiriah.
Mengapa jiwa yang tunggal itu sedemikian rupa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menyerap semua pengetahuan? Filosof Ilahi, Mulla Sadra, mengungkapkan bahwa keragaman pengetahuan dan makrifat yang dimiliki oleh manusia dikarenakan kejamakan indra-indra lahiriahnya. Mulla Sadra juga menambahkan bahwa aktivitas persepsi-persepsi manusia dimulai dari jalur indra-indra itu dan setiap pengetahuan dapat bersumber secara langsung dari indra-indra lahiriah atau setelah berkumpulnya konsepsi-konsepsi indrawi barulah pikiran itu dikondisikan untuk menggapai pengetahuan-pengetahuan lain. Jiwa itu secara esensial tak mempu menggambarkan objek-objek fisikal tanpa indra-indra tersebut.[3]
Keterbatasan Indra
Pengetahuan yang bersumber dari langsung dari indra-indra lahiriah seperti melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa adalah suatu jenis pengenalan dan pemahaman yang bersifat lahiriah, permukaan, dan tidak mendalam. Berhubungan dengan sumber pengetahuan ini tidak terdapat perbedaan antara manusia dan hewan, karena keduanya sama-sama dapat melihat, mencium, merasa, dan mendengar, bahkan pada sebagian binatang mempunyai indra yang sangat kuat dan tajam dibanding manusia.
Karakteristik lain dari pengetahuan-pengetahuan indrawi ialah pengenalan-pengenalan atas objek-objek fisikal yang diperolehnya itu bersifat partikular dan tidak universal, seperti indra-indra hanya mempersepsi warna-warna khusus (seperti merah, kuning, hijau, hitam …) dan bukan mencerap konsepsi universal tentang warna, hal ini sebagaimana yang diindra dan dipersepsi oleh semua hewan. Begitu pula manusia yang masih berada pada tingkatan usia kanak-kanak mempunyai pengenalan-pengenalan yang partikular dan sangat individual, akan tetapi, ketika dia telah beranjak pada usia tertentu pasti sudah mampu mencerap dan mengabtraksi perkara-perkara yang universal, rasional, dan logikal.[4]
Batasan-batasan lain yang berhubungan dengan indra-indra lahiriah adalah terbatas dengan waktu dan zaman bentuk sekarang, yakni tidak terkait dengan zaman lampau dan akan datang. Indra-indra itu hanya mampu merasakan benda-benda dan objek-objek fisik pada saat sekarang dan fenomena-fenomena yang berada masa lampau dan akan datang sama sekali di luar dari ranah dan domain pengenalan dan pengetahuan indrawi. Indra-indra manusia hanya dapat berhubungan dengan maujud-maujud yang berada di hadapannya, seperti mata hanya mampu melihat realitas-realitas yang eksis pada masa sekarang ini (tidak pada masa lalu dan akan datang) dan mesti terletak dihadapannya dengan batasan-batasan tertentu (karena mata itu dan indra-indra lainnya mempunyai jarak jangkauan penglihatan yang sangat terbatas). Dengan demikian, manusia untuk mencerap dan mengetahui maujud-maujud dan fenomena-fenomana pada masa lampau dan akan datang niscaya membutuhkan suatu sumber dan alat pengetahuan yang lain.
Kelemahan lain yang dimiliki oleh indra-indra lahiriah tersebut adalah berada di bawah pengaruh dan kekuasaan tubuh serta juga terimbas oleh syarat, kondisi, dan keadaan kejiwaan seseorang. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana manusia ketika mengalami sakit tertentu maka dia tidak akan mampu mengetahui dan memahami rasa asli dan alami dari makanan-makanan yang dimakannya, atau ketika seorang sedang berada dalam puncak kemarahan maka dia tidak akan dapat merasakan suatu rasa sakit.[5]
Pengetahuan indrawi hanya dapat mencerap bentuk lahiriah sesuatu, indra-indra manusia tidak berhubungan dengan batin dan kedalaman zat segala sesuatu dan juga tidak mampu menerobos hakikat sesuatu melalui bentuk permukaannya. Indra hanya dapat menangkap karakteristik-karakteristik eksternal dan aksidental, seperti warna, bentuk, suara, rasa, dan kasar-lembutnya sesuatu. Sementara kita menyaksikan bahwa manusia mampu menggapai dan menyingkap sebagian batin-batin, hakikat-hakikat, dan esensi-esensi sesuatu, seperti bagaimana manusia mampu mencerap dan memahami suatu bentuk “hubungan sebab-akibat” (kausalitas) dan konsep tentang kemestian keberadaan suatu akibat (ma’lul) ketika sebabnya (‘illah) telah terwujud sebelumnya, atau konsep-konsep yang semacam ini, maka menjadi jelaslah bahwa selain sumber dan alat indrawi tersebut juga terdapat suatu sumber pengetahuan lain.
Pada hakikatnya, pengetahuan terhadap objek-objek fisik yang dicapai lewat indra-indra lahiriah tidaklah sebagaimana yang dibayangkan oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya warna, bentuk, dan halus-kasarnya benda-benda fisik sebagaimana yang dicerap melalui panca indra itu bukanlah gambaran dan definisi hakiki dari objek-objek tersebut, karena dalam persepsi-persepsi indrawi secara khusus tidak hanya dipengaruhi oleh indra-indra, melainkan kecenderungan dan kondisi kejiwaan, keyakinan dan pemikiran sebelumnya, dan kesiapan akal dan pikiran kita mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam mempersepsi dan mencerap perkara-perkara eksternal. Dengan alasan inilah bermunculan beberapa perbedaan dan keragaman dalam persepsi individu-individu. Seringkali kita menyaksikan ada beberapa individu yang melihat perkara dan fenomena tertentu, namun dari setiap individu yang memandang kejadian tersebut terdapat perbedaan dan perselisihan satu sama lain.
Namun, sebagian filosof meletakkan indra-indra lahiriah itu sebagai satu-satunya sumber dan alat bagi manusia dalam upaya mengenal dan mengetahui objek-objek fisik, realitas-realita hakiki, dan fenomena-fenomena eksternal. Menurut mereka ini, seluruh objek fisikal, eksternal, dan hakiki yang kita ketahui dan kenali itu niscaya dengan perantaraan indra-indra lahiriah yang kemudian terkonsepsi dan terabstraksi di alam pikiran. Mayoritas masyarakat juga mendukung perspektif dan pendapat ini. Melihat sebuah pohon, mendangar suara dan bunyi, meraba sesuatu yang lembut dan kasar, dan lain sebagainya hanya dapat terpahami dan tergambar dalam pikiran dengan perantaraan indra-indra lahiriah.
Pengaruh-pengaruh indra lahiriah dan emperimental dalam perolehan suatu ilmu, makrifat, dan pengetahuan telah menarik begitu banyak perhatian para filosof, termasuk Francis Bacon dan filosof lainnya yang sangat menekankan pengaruh fundamental indra-indra dan eksperimen dalam menggapai pengenalan dan pengetahuan yang benar terhadap objek-objek fisik, dan persoalan inilah yang menyebabkan kemajuan dan perkembangan yang pesat dalam dunia keilmuan. Dalam masa kini pun pengamatan indrawi dan eksperimental tetap menjadi pondasi penting dalam berbagai penelitian ilmiah. Teori-teori ilmiah yang bermunculan tidak lain adalah imbas dan efek dari objektivitas terhadap realitas-realitas dan fenomena-fenomena eksternal yang hanya dicapai melalui observasi indrawi dan pengamatan eksperimental serta sekaligus sumber pengetahuan ini sebagai satu-satunya tolok ukur dan milak dalam kevaliditasan dan keabsahan suatu hipotesa, konsep, dan teori ilmiah. Dengan memperhatikan dimensi inilah sebagian filosof sangat berlebihan dalam memposisikan pengaruh dan efek indra-indra serta sekaligus memperkenalkan indra tersebut sebagai satu-satunya sumber ilmu, makrifat, dan pengetahuan bagi manusia.
Aliran Positivisme yang beranggapan bahwa seluruh konsepsi dan sumber persepsi manusia bersumber dari indra-indra lahiriah, dengan demikian, sumber pengetahuan manusia tidak lain adalah indra-indra tersebut. Pandangan-pandangan seperti ini kemudian melahirkan dua penyikapan teoritis dan praktis, diantaranya:
a. Positivisme ekstrim
Kecenderungan aliran pemikiran ini memandang bahwa asal dan sumber segala pengetahuan dan makrifat manusia adalah indra lahiriah serta menafikan secara mutlak konsep-konsep universal rasionalistik, dan juga menegaskan bahwa konsep-konsep yang tak berdasarkan dan berpijak pada observasi empiris dan penginderaan lahiriah adalah tidak valid dan tidak bermakna.
Positivisme ekstrim pada abad kesembilan belas memandang bahwa persepsi-persepsi non indrawi tidaklah bermakna dan berarti sama sekali. Oleh karena itu, dalam perspektif mereka ini proposisi-proposisi filsafat dan etika serta matematika adalah sama sekali tidak valid dan tidak pula bermakna.[6]
Namun, apabila kita menganalisa secara cermat pandangan-pandangan mereka itu akan nampak dengan jelas beberapa poin dari kesalahan dan kekeliruhan mereka, antara lain:
Terjadinya inner kontradiksi. Hal ini karena “kaidah” yang mereka lontarkan itu sendiri mengalami inner kontradiksi. “Kaidah” yang mereka utarakan itu berbunyi: Setiap konsepsi atau proposisi yang tidak bersumber dari indra-indra lahiriah adalah sama sekali tidak valid dan tidak bermakna. Kontradiksinya pernyataan mereka ini, karena “kaidah” itu adalah suatu kaidah dan teori filsafat, dan bukan kaidah empiris dan indrawi. Pada saat yang sama, mereka itu sama sekali menafikan segala bentuk proposisi filsafat dan akal;Indra-indra lahiriah merupakan media yang paling banyak mengalami kesalahan dan kekeliruan. Meletakkan indra-indra itu sebagai sumber pertama bagi makrifat dan pengetahuan tidak lain hanyalah akan mengarahkan dan menenggelamkan umat manusia ke dalam samudra gelap Sofisme dan Skeptisisme, sebagaimana yang dialami oleh David Hume;Dengan menerima teori dan pandangan ekstrim ini maka tak satu pun hukum-hukum ilmiah yang dapat ditetapkan, karena segala hukum tentang sesuatu pastilah bersifat universal, sementara apa-apa yang dicerap oleh indra-indra lahiriah itu bersifat partikular dan individual serta tidak mencakup segala ekstensi-ekstensi (objek-objek luar) yang mungkin;Salah satu hal yang tak bisa mereka tetapkan adalah masalah “kemustahilan sesuatu”, karena “yang mustahil” itu tidaklah berwujud sehingga dapat dicerap oleh indra-indra lahiriah. Yang maksimal bisa dikatakan oleh kaum positivis ini adalah “saya tidak menemukan sesuatu”, namun, secara mendasar, ungkapan ini dengan pernyataan “kemustahilan mengadanya sesuatu” adalah sangat berbeda sekali, perbedaan antara “secara potensial tiada” dengan “secara aktual mustahil ada” adalah sama dengan perbedaan antara indra dan akal. Lantas bagaimana caranya kaum positivis ini mengetahui bahwa perkara-perkara tertentu adalah mustahil mewujud. Mereka hanya dapat menyatakan bahwa perkara ini ada atau tiada, akan tetapi, apabila berhubungan dengan pembahasan atas “keniscayaan meniada” atau “kemustahilan mengada” maka telah keluar dari wilayah empiris dan indrawi.[7] Di sini, kaum positivis ekstrim hanya berhadapan dengan dua pilihan, yakni menganggap “yang mustahil itu” sebagai “sesuatu yang ada” atau konsepsi tentang “kemustahilan sesuatu” itu dihapus dari lembaran pikirannya. Apabila mereka menerima kemustahilan sebagian proposisi itu, maka otomatis menerima proposisi-proposisi nonempirik, karena proposisi tersebut tidak berada dalam wilayah empiris dan indrawi. Akan tetapi, kalau mereka menolak kemustahilan sebagian proposisi (yakni memandang bahwa tak satupun proposisi yang mustahil), misalnya yakin bahwa berkumpulnya sesuatu yang kontradiksi ialah mungkin, maka niscaya seluruh dasar ilmu-ilmu empiris akan runtuh, karena ketika kita membuktikan keempirisan suatu hukum dalam setiap ilmu maka pada saat yang sama kita juga dapat menegasikan keempirisan suatu kaidah dalam setiap ilmu itu. Dengan demikian, tak satupun kaidah dan hukum ilmiah bisa ditegaskan dan ditetapkan oleh manusia;Asas yang paling penting dan urgen dalam keseluruhan ilmu hakiki adalah prinsip kausalitas. Titik tekan dari segala upaya ilmiah itu adalah mengungkap hubungan sebab dan akibat yang tercipta di antara realitas-realitas dan benda-benda.[8] Para ilmuan melakukan usaha eksperimen dalam menyingkap bakteri-bakteri suatu penyakit, upaya-upaya ini tak lain ialah menemukan penyebab-penyebab penyakit tertentu dan obat penawarnya. Para ilmuan ini, sebelum memulai eksperimen ilmiahnya, mempercayai suatu kaidah yang berbunyi: Setiap sesuatu mempunyai sebab. Akan tetapi, menetapkan suatu hukum kausalitas tak mungkin dilakukan dengan metodologi empiris dan indrawi, karena indra dan empirisme hanya dapat menegaskan suatu keberantaian dan kebersusulan dua sesuatu, misalnya kita hanya dapat melihat dan membuktikan secara lahiriah bahwa panas 100 derajat akan disusul dengan mendidihnya air atau air dibawah nol derajat akan berubah menjadi es, namun, kita sama sekali tidak bisa menyaksikan dengan perantaraan indra-indra lahiriah akan keberadaan suatu hubungan sebab-akibat dan kausalitas di antara dua fenomena, dua realitas, dan dua benda eksternal.
Pada akhirnya, dengan kehadiran problematika-problematika tersebut di atas, para pencetus dan penggagas aliran ini pada abad berikutnya juga meragukan dan mengeritik kembali gagasan dan perspektif yang mereka lontarkan sendiri.
b. Positivisme moderat
Mereka ini juga berpandangan bahwa seluruh pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra, namun tidak menolak keberadaan konsep-konsep universal rasionalistik pada tahapan berikutnya, yakni terjadinya perubahan dari konsep-konsep indrawi menjadi konsep-konsep rasional dan universal atau akal hanya mampu mengkonstruksi konsep-konsep universal tersebut setelah hadirnya di alam pikiran bentuk dan gambaran objek-objek fisikal yang dicerap oleh indra-indra lahiriah untuk pertama kalinya.
John Locke ialah seorang positivis moderat yang beranggapan bahwa semua makrifat dan pengetahuan manusia bersumber dari indra dan empirisitas, dia menafikan seluruh sumber dan alat pengetahuan selain indra, namun indra itu dia tidak dibatasi hanya pada kelima indra lahiriah tersebut. Dia menolak segala rasionalitas dan konsep-konsep fitriah serta memandang bahwa pikiran pada awalnya sama sekali tidak mempunyai bentuk-bentuk persepsi dan pengetahuan, pikiran sama seperti kertas putih dimana indra-indra kita menggambarkan sesuatu di atasnya dan keseluruhan persepsi yang hadir dan terwujud di alam pikiran kita berasal dari panca indra lahiriah dan indra-indra batiniah, lantas akal akan mengolah “bahan mentah” yang bersumber dari alam eksternal ini dengan metode mengabstraksi, menggabungkan, dan membandingkannya sehingga menjadi suatu konsepsi-konsepsi universal dan keyakinan. Di bawah ini, John Locke memiliki tiga persepsi yang berhubungan dengan perubahan konsepsi-konsepsi partikular menjadi konsepsi-konsepsi universal, antara lain:
Seluruh konsepsi universal merupakan gambaran-gambaran partikular itu sendiri dimana adalah kerangka-kerangka global dari persepsi partikular-partikular tersebut;Konsepsi-konsepsi universal diperoleh dengan menghilangkan sisi-sisi heterogen dan menyisakan aspek-aspek homogennya. (Perubahan bentuk indrawi menjadi konsepsi universal);Konsepsi universal merupakan simbol karakteristik homogen, yakni pikiran mengkonstruksi konsepsi universal itu dari sifat-sifat yang sama dan homogen objek-objek eksternal.[9]
Gagasan pertamanya dalam pembahasan konsepsi-konsepsi universal menjadi fokus kritikan dan begitu pula mengenai gagasan keduanya yang mempunyai konsekuensi bahwa dengan kehadiran konsepsi universal itu maka konsepsi partikular indrawi tidak akan terwujud dalam pikiran kita, sementara meskipun kita telah meraih dan memiliki konsepsi-konsepsi universal itu namun kita tetap mempunyai konsepsi partikular indrawi yang berada di alam pikiran dan tetap dapat dipersepsi kembali (yakni sama sekali tidak hilang dan bisa diingat kembali).
Meletakkan indra-indra lahiriah sebagai sumber pertama bagi perolehan pengetahuan dan makrifat atau memposisikan sebagai persepsi-persepsi pertama manusia ialah bisa dikategorikan sebagai gagasan dan perspektif yang benar, akan tetapi, apabila diyakini sebagai satu-satunya sumber dan alat pengetahuan manusia akan berujung pada suatu kontradiksi-kontradiksi sebagaimana yang dialami oleh penganut Positivisme ekstrim.
2. Akal
Sebagian filosof yang menganut paham Rasionalisme telah menempatkan akal sebagai sumber pengetahuan dan makrifat. Dan disamping itu, mereka tidak mengingkari pengaruh indra-indra itu dalam perolehan pengetahuan, namun memandang bahwa makrifat hakiki hanya dapat dicapai dengan aktivitas akal. Menurut mereka ini, apa-apa yang dipersepsi oleh indra-indra adalah bersifat kabur, tidak jelas, tidak berhubungan satu sama lain, dan tidak bermakna, dan perolehan dengan karakteristik seperti ini sama sekali tak akan menghasilkan suatu pengetahuan dan makrifat. Apa yang diperoleh dari indra sama halnya sebuah potongan-potongan gambar yang tidak berkaitan satu sama lain, namun dengan efek aktivitas akal maka potongan-potongan gambar tersebut menjadi jelas, bermakna dan berhubungan satu sama lain. Menurut Kant, persepsi-persepsi indrawi merupakan bahan mentah suatu makrifat dan pengetahuan, dan pikiran kita akan mengolah bahan-bahan tersebut sedemikian sehingga terwujudlah suatu keyakinan dan pengetahuan.
Perlu diperhatikan bahwa subjek dan ranah pengetahuan kita pada umumnya adalah konsepsi-konsepsi, kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan teori-teori yang, tanpa diragukan, tidak bisa diperoleh melalui indra-indra. Kant sangat menekankan peran fundamental dari indra dan akal, akan tetapi yang menjadi sasaran kritikan atas pemikirannya ialah ia tidak menegaskan perbedaan masing-masing fungsi akal dan indra, mengkhususkan perolehan konsepsi-konsepsi ruang dan waktu dari indra, dan kategori pemahaman dan argumen disandarkan kepada akal.
Dengan memperhatikan bahwa indra-indra lahiriah memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam mempersepsi objek-objek hakiki maka dapat dipastikan bahwa indra-indra itu bukanlah merupakan sumber dan alat yang memadai bagi perolehan suatu pengetahuan dan pengenalan. Pada saat yang sama, kita membutuhkan makrifat dan pengetahuan yang mendalam, sempurna, komprehensif, hakiki, dan tak terbatas. Dengan demikian, diperlukan suatu daya dan alat lain yang biasa disebut dengan “akal” atau “rasio” supaya kita dapat menggapai suatu pengetahuan yang lebih mendalam dan universal dengan perantaraan pengetahuan dan konsepsi partikular yang diperoleh lewat indra-indra lahiriah. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh dari daya akal, dari aspek spesifikasi-spesifikasi dan karakteristik-karakteristiknya, diposisikan secara berhadap-hadapan dengan pengenalan indrawi.
Sebagian konsepsi-konsepsi dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tidak mungkin bersumber dari indra dan empiris, melainkan hanya dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan rasio, seperti konsepsi-konsepsi tentang Tuhan, jiwa, dan yang sejenisnya. Akan tetapi, sebagian filosof Barat beranggapan bahwa konsepsi-konsepsi seperti itu lebih bersifat fitriah dan kehadirannya mendahului konsepsi-konsepsi indrawi dan empiris. Rene Descartes termasuk salah satu dari filosof yang berkeyakinan seperti itu, dan menurutnya, konsepsi-konsepsi itu secara potensial berada dalam jiwa dan akan menjadi aktual setelah manusia mendapatkan pengetahuan-pengetahuan empiris dan indrawi.[10] Begitu Pula, Immanuel Kant memandang bahwa sebagian konsepsi-konsepsi (seperti waktu, tempat, sebab, akibat, kemungkinan, kontingensi, keniscayaan, dan yang semacamnya) merupakan kerangka-kerangka awal dan fitri pikiran dimana sekaligus terposisikan sebagai forma-forma dan bentuk-bentuk pengetahuan, kerangka dan materi ini adalah pengetahuan manusia. Dan materi-materi bagi kerangka itu bersumber dari konsepsi-konsepsi indrawi dan empiris yang masuk dan terabstraksi di dalam pikiran. Dengan demikian, keberadaan kerangka-kerangka pikiran tersebut adalah dipandang mendahului konsepsi-konsepsi empiris dan indrawi.[11]
Dengan mencermati gagasan-gagasan dari filosof Barat di atas terdapat beberapa kritikan dan sanggahan, antara lain:
Anggapan terhadap adanya konsepsi-konsepsi fitriah sama sekali tidak benar, karena dengan menyaksikan fenomena anak-anak dan orang gila atau orang-orang yang tidak mempunyai sebagian indra-indra lahiriah, kita menyaksikan bahwa konsepsi-konsepsi yang mereka miliki itu tidak berhubungan dengan indrawi dan empiris, maka menjadi jelaslah bahwa konsepsi-konsepsi fitriah itu tidak ada. Yang pasti terdapat argumen-argumen akal yang kokoh yang menegaskan tentang ketiadaan konsepsi-konsepsi fitriah, khususnya yang berkaitan dengan konsep Descartes tentang keaktualan suatu konsepsi-konsepsi yang disebabkan oleh konsepsi-konsepsi yang diperoleh dari indra dan empirisitas;Kefitrahan adalah bukan suatu tolok ukur atas kebenaran dan objektivitas suatu konsep dan pengetahuan, dan bersandar pada ketidakmungkinan adanya kebohongan yang dilakukan oleh Tuhan yang berkenaan dengan konsepsi-konsepsi yang dipandang sebagai aksioma-aksioma pertama justru akan berujung pada lingkaran setan (daur), karena pembuktian eksistensi dan sifat-sifat Tuhan itu niscaya menggunakan aksioma-aksioma pertama. Walaupun sebagian konsepsi-konsepsi yang lain tidak berhadapan dengan problematika lingkaran setan ini dan penyandaran seperti itu sah-sah saja;Tentang persoalan yang dihadapi oleh Immanuel Kant bahwa sebagian konsepsi yang tersebut di atas tidak akan terwujud apabila tidak ada indra-indra sebagai sumber abstraksi, dapat dikatakan bahwa kalau kita bisa mengajukan suatu sumber abstraksi lain maka tak terdapat alasan lagi untuk menerima persepsi Kant tersebut. Jika diasumsikan bahwa tak terdapat sumber abstraksi selain indra-indra itu, maka teori-teori yang dilontarkan oleh Kant itu tidaklah tepat untuk menegaskan dan membuktikan keberadaan konsepsi-konsepsi fitriah.
Karakteristik-karakteristik Pengenalan Rasional
Salah satu karakteristik dan sifat pengenalan rasional adalah bahwa akal manusia dapat mengetahui hakikat dan dimensi batin objek-objek dan realitas-realitas dengan berpijak pada aspek-aspek lahiriahnya, atau yang menurut Kant, dari fenomena ke nomena. Akal mampu menyelami makna-makna terdalam suatu objek dan fenomena yang tidak dapat dijangkau oleh indra-indra lahiriah dan menembus batas-batas fisikalnya. Semuanya ini mustahil dilakukan oleh indra. Indra-indra hanya sanggup menginformasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi itu secara susul menyusul dan berantai, akan tetapi, memahami adanya suatu kausalitas dan proses sebab-akibat yang mendasari kejadian-kejadian tersebut adalah aktivitas daya akal. Mungkin karena keberadaan kausalitas yang tak bisa terindra itulah menyebabkan kaum empiris menafikannya secara mutlak. Yang dapat dicerap oleh panca indra kita hanyalah warna, bentuk, panas, dingin, kekasaran, dan kehalusannya suatu benda, semua yang tercerap ini bukanlah hakikat benda, melainkan hanya suatu aksiden-aksiden dan kondisi-kondisi eksternalnya. Berangkat dari aksiden-aksiden inilah akal manusia mengungkap eksistensi suatu substansi yang mustahil dijangkau oleh indra manusia.
Pengetahuan batiniah dan internal merupakan salah satu jenis dari gerak pikiran yang mendalam. Kita mempunyai pengetahuan lahiriah dan eksternal yang dapat diperoleh dan dirasakan oleh semua orang, seperti keinginan-keinginan, perasaan-perasaan, kelezatan, dan kecenderungan alami. Akan tetapi, terdapat jenis pengetahuan lain yang tidak bisa diketahui secara langsung dengan lahiriah, tetapi dengan mencermati fenomena-fenomena, konteks-konteks, dan bentuk-bentuk lahiriah sesuatu kita bisa menyelami dan mengungkap apa-apa yang tersimpan di kedalaman sesuatu itu dan memahami hakikat-hakikatnya. Bentuk penjelajahan pikiran ini dimulai dari hal-hal yang lahiriah hingga ke aspek-aspek batiniah. Terkadang kita mencapai pengetahuan metafisika tentang Tuhan, jiwa, dan malaikat dengan menganalisa fenomena-fenomena alam (yang dalam teologi disebut argumen keberaturan alam dimana digunakan untuk menegaskan eksistensi Tuhan), atau dengan cara mengkaji satu fenomena alam kita mengungkap keberadaan satu atau beberapa fenomena alam lainnya. Kesemua pencapaian ini adalah karena daya akal dan fakultas rasio yang ada pada manusia.
Sifat lain yang dimiliki oleh akal manusia adalah kemampuannya dalam “menguraikan” dan “menggabungkan” makrifat-makrifat dan pengetahuan-pengetahuan yang dikandungnya. Kekuatan akal ini memberikan kontribusi, manfaat, faedah, dan hasil yang sangat penting di antara adalah pengetahuan-pengetahuan yang terdapat dalam pikiran manusia akan bertambah banyak dan beragam atau makrifat manusia terhadap segala sesuatu akan menjadi logis.
Gambaran dan deskripsi yang terdapat pada pikiran manusia seperti benda-benda tunggal atau rangkap yang berada di alam eksternal, dan gambaran-gambaran pikiran yang rangkap ialah hasil dari suatu gabungan dari beberapa unsur tunggal pikiran dimana berdasarkan pola tertentu akan membentuk suatu deskripsi baru di dalam pikiran (yang tak lain ialah suatu pengetahuan baru).
Unsur-unsur pertama dan tunggal yang ada dalam pikiran tersebut biasa disebut “dasar-dasar pengetahuan dan keyakinan”. Inilah kekuatan “menggabungkan” yang dimiliki oleh akal. Dalam sebagian kasus, akal pertama-tama mengetahui hal-hal yang rangkap dan jamak kemudian berupaya memisahkan dan menguraikan satu sama lain unsur-unsurnya. Hal ini yang terjadi ketika kita mempersepsi objek-objek fisikal, pertama-tama kita mencerap secara sekaligus warna, bentuk, dan volume suatu benda, kemudian akal menguraikan data indrawi yang diperolehnya itu dan menggambarkan satu persatu dari data-data indrawi tersebut, misalnya akal menggambarkan secara khusus tentang warna dan sama sekali tak menghubungkan dengan benda tertentu dimana warna itu melekat padanya. Jadi, yang diabtraksi oleh akal ialah suatu warna yang bersifat universal. Begitu pula yang berkaitan dengan kategori volume atau bentuk yang secara mandiri diabtraksi oleh fakultas akal kemudian menjadi suatu konsepsi-konsepsi yang universal.
Mengenai kemampuan “menggabungkan”, akal pertama-tama mengetahui unsur-unsur tertentu kemudian menggabungkan unsur-unsur tersebut menjadi suatu “realitas” lain yang jauh berbeda dengan unsur-unsur pembentuknya. Misalnya, pertama-tama akal menggambarkan tentang gunung dan kemudian mendeskripsikan tentang emas, di sini akal telah mempunyai dua unsur gambaran, lantas kedua unsur tersebut digabungkan dan hasilnya adalah terbentuknya suatu konsepsi baru yang disebut “gunung emas”.
Kemampuan lain yang dipunyai oleh akal adalah abstraksi, yakni setelah akal memperoleh beberapa gambaran-gambaran dan bentuk-bentuk partikular dia mempunyai kekuatan untuk mengabstraksi dan memisahkan gambaran-gambaran tersebut dari sifat-sifat dan karakter-karakter khususnya dan menggabungkan dimensi-dimensinya yang homogen, dan dari aspek-aspek yang homogen inilah dibentuk makna-makna universal dan kemudian dipredikasikan kepadanya. Misalnya, kita melihat makna itu dalam individu pertama, dan lantas kita pun memandang bahwa makna itu pun ada pada individu kedua, individu ketiga, dan individu-individu lainnya. Makna-makna homogen yang diserap dari beberapa individu tersebut, kemudian dikonstruksi oleh fakultas akal menjadi suatu gambaran universal yang bisa terterapkan pada individu-individu yang tak terbatas.
Begitu pula, akal-pikiran manusia mempunyai kemampuan mencerap suatu hakikat secara murni dan mandiri dengan tanpa menghubungkan atau menggabungkannya dengan sesuatu yang lain. Ini adalah salah satu keistimewaan akal, karena kita tidak akan pernah menyaksikan sesuatu yang murni dan berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan sesuatu yang lain) di alam eksternal. Hanya akalah yang mampu memisahkan sesuatu objek dari objek-objek yang lain. Kita tidak mendapatkan individu dari manusia di alam eksternal yang diposisikan sebagai “manusia mutlak” atau “manusia universal” yang tidak mempunyai kuantitas, kualitas, hubungan, kedudukan, dan karakter-karakter tertentu lainnya dimana tidak satupun berhubungan dengan pembentukan kuiditas manusia (kuiditas inilah yang faktor hadirnya keragaman dan perbedaan di antara individu-individu manusia). Akallah yang dapat menggambarkan manusia universal atau mutlak itu dengan tidak menggandengkannya dengan karakter-karakter yang khusus. Begitu pula, kita mustahil memisahkan di alam eksternal hubungan antara “bilangan” dengan “yang terbilang”, akan tetapi, akal dapat dengan mudah memisahkan dan mengabstraksikan keduanya.[12]
Kekhususan lain yang dimiliki oleh akal adalah meng-global-kan dan meng-universal-kan pengetahuan-pengetahuan indrawi yang partikular itu.[13] Dengan kemampuan akal ini, manusia bisa menarik suatu konsepsi universal dari objek-objek partikular yang disaksikan atau menformulasi suatu teori dan kaidah universal dari observasi-observasi terhadap beberapa kasus-kasus tertentu dan terbatas. Indra-indra lahiriah manusia mustahil membentuk suatu konsepsi-konsepsi universal. Ranah indra-indra itu sebatas mempersepsi hal-hal yang partikular. Indra dan empirisitas sama sekali tidak mampu menformat suatu hukum universal. Hal ini dikarenakan manusia itu tidak dapat mengeksperimenkan dan mengobservasi objek-objek yang tak berhingga. Apabila kita menyimpulkan bahwa setiap besi akan meleleh pada suhu panas tertentu, maka pernyataan tersebut bukanlah konklusi dari indra dan empirisitas, melainkan dilakukan oleh akal, indra hanyalah meneliti besi-besi tertentu, sementara kaidah itu mencakup seluruh besi (meliputi besi yang telah diuji maupun yang belum diuji). Dengan hal ini,menjadi jelaslah bahwa suatu teori yang bersifat universal tidak dihasilkan dari indra-indra. Akal-pikiran manusia membentuk suatu teori universal dengan cara menggabungkan pengetahuan indrawi dan pengetahuan aksiomatik (yang tidak diperoleh melalui indra-indra lahiriah dan empirik).
Para filosof Muslim membagi konsepsi itu menjadi dua bagian, yaitu partikular dan universal. Asal dari seluruh konsepsi partikular (indrawi dan imajinatif) ialah indra, baik yang lahiriah maupun yang batiniah. Konsepsi-konsepsi universal yang dikonstruksi dan diabstraksi oleh akal seperti konsepsi tentang warna putih, hitam, sakit, bahagia, dan sedih adalah berhubungan erat dengan persepsi-persepsi indrawi. Sebagai contoh, mempersepsi suatu benda yang berwarna hitam merupakan suatu persepsi partikular, persepsi ini lantas mengkondisikan jiwa untuk mengabstraksi dan mengkonstruksi konsepsi hitam itu dengan bantuan akal.
Konsepsi-konsepsi seperti konsepsi hitam dan lain sebagainya disebut sebagai konsepsi-konsepsi kuiditas (dalam wilayah aksiden-aksiden) dan konsepsi-konsepsi kuiditas ini merupakan bahan-bahan utama bagi kehadiran dan perwujudan konsepsi-konsepsi logikal, yakni pikiran mendapatkan konsepsi-konsepsi baru melalui konsepsi-konsepsi kuiditas. Konsepsi-konsepsi logikal, misalnya, konsepsi tentang keuniversalan dan kepartikularan itu sendiri.
Selain dari kedua jenis konsepsi di atas, terdapat konsepsi ketiga yang dinamakan konsepsi filosofis. Konsepsi jenis ini sama sekali tidak berhubungan dengan indra-indra dan daya imajinasi. Seperti konsepsi-konsepsi yang diperoleh oleh akal karena korespondensi secara langsung dengan pengetahuan-pengetahuan hudhuri (seperti pengetahuan tentang eksistensi jiwa dan sifat-sifat jiwa). Dengan demikian, penyaksian dan pengenalan secara langsung (hudhuri) terhadap suatu objek-objek hakiki sedemikian sehingga jiwa dan pikiran terkondisikan untuk mewujudkan suatu konsepsi-konsepsi universalnya.
Di bawah ini akan disebutkan beberapa poin-poin penting:
Sumber kehadiran konsepsi-konsepsi seperti putih, hitam, panas, dingin, dan lain-lain adalah dari indra-indra lahiriah;Pembentukan konsepsi-konsepsi kuiditas pertama-tama ialah pikiran mencerap objek-objek fisik dengan indra-indra lahiriah kemudian dideskripsikan oleh daya imajinasi dan terakhir diproses oleh akal untuk membentuk konsepsi universalnya;Konsepsi-konsepsi logikal bersumber dari konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran dimana pada umumnya dihasikan dengan perantaraan indra-indra lahiriah;Sementara sumber kehadiran konsepsi-konsepsi filosofis ialah dari objek-objek pengetahuanhudhuri (bukan objek-objek pengetahuan hushuli, seperti gambaran dan bentuk sesuatu yang telah dipersepsi oleh pikiran), sebagai contoh, konsepsi- konsepsi filosofis tentang sebab (‘illah) dan akibat (ma’lul) itu diperoleh dari hubungan antara wujud jiwa dan kehendaknya (dimana wujud jiwa dan kehendak-kehendaknya hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan hudhuri). Di sini wujud jiwa itu diposisikan sebagai sebab dan kehendak-kehendaknya itu merupakan akibat dari jiwa;Dengan demikian, jika jiwa tidak “menyaksikan” objek-objek pengetahuan hudhuri atau hushuli, maka dia tidak mungkin mendapatkan konsepsi-konsepsi yang berkaitan dengannya. Kebutuhan “penyaksian” dan penglihatan jiwa kepada objek-objek internal dan eksternal merupakan syarat pasti dan utama bagi kehadiran konsepsi-konsepsi;Perlu diketahui bahwa pada hakikatnya seluruh konsepsi kuiditas, logikal, dan filosofis berpijak pada pengetahuan-pengetahuan hudhuri (hal ini nantinya akan dijelaskan secara rinci dalam pembahasan pengetahuan hudhuri dan hushuli);Sebenarnya peran fundamental dan utama dalam kehadiran segala konsepsi adalah akal dan pengetahuan hudhuri, dan indra-indra lahiriah dalam hal ini hanyalah terbatas pada penciptaan suatu kondisi bagi “penyaksian” hudhuritersebut;
Proses Perubahan Pengetahuan Indrawi menjadi Pengetahuan Rasional
Bagaimana akal-pikiran dapat menghasilkan pengetahuan rasional dari pengetahuan-pengetahuan indrawi yang partikular itu. Bagaimana suatu gambaran yang pada awalnya bersifat indrawi kemudian berubah menjadi suatu gambaran rasional yang universal atau pengenalan yang hanya berhubungan dengan beberapa objek atau individu lantas menjadi suatu pengatahuan yang mencakup individu-individu tak terbatas?
Kaum positivis dan empiris, seperti David Hume, beranggapan bahwa apabila suatu pengetahuan indrawi kehilangan kekhususan, karakteristik, sifat, bentuk, dan warnanya sendiri, maka dia akan berubah menjadi pengetahuan yang bersifat universal, umum, dan kabur.
Dari sini mereka menyatakan bahwa pengetahuan universal ialah pengetahuan partikular yang mengalami kekaburan itu sendiri. Pengetahuan universal sama seperti sebuah mata uang yang telah usang dimana gambar dan sifat-sifat tertentunya telah hilang, mata uang yang telah usang ini apabila diberikan kepada kita maka kita tidak dapat menentukan tahun, nilai, dan jenisnya. Keuniversalan tidak lain ialah partikular yang telah menjadi kabur dan kehilangan sifat-sifat khususnya.
Keuniversalan tidak lain adalah penurunan kualitas dari partikularitas itu sendiri. Ketika suatu partikular itu kehilangan bentuk, sifat, dan karakteristiknya maka barulah dia menjadi sesuatu yang universal. Jadi, sesuatu yang universal itu pada dasarnya tidaklah bernilai dan berharga. Sesuatu dikatakan bernilai dan bermakna apabila terdapat padanya spesifikasi-spesifikasi.
Dengan demikian, para filosof yang sangat menekankan nilai-pentingnya aspek-aspek keuniversalan itu dan beranggapan bahwa dimensi substansial dan hakiki yang membedakan manusia dan hewan adalah persepsi universalnya (dimana hanya dimiliki oleh manusia) merupakan suatu pernyataan yang sangat keliru berhubungan dengan keuniversalan.
Sementara perspektif filosof Ilahi, Mulla Sadra, yang kelihatan berseberangan dengan teori kaum positivis dan empiris menyatakan bahwa pengetahuan universal bukanlah pengetahuan partikular yang telah mengalami kekaburan, penurunan, dan ketidakjelasan, melainkan suatu pengetahuan yang mengalami penguatan, penambahan, dan penyempurnaan, yakni suatu partikular yang telah mengalami penurunan dan pengurangan tidak akan menjadi sesuatu yang universal, melainkan dengan penguatan, penambahan dan penyempurnaan akan berubah menjadi realitas universal. Mata uang yang telah usang atau sesuatu yang berada di kejauhan yang nampak tidak jelas sebagaimana dicontohkan di atas bukanlah sesuatu yang universal, melainkan sesuatu yang ‘partikular yang teragukan’. Terdapat perbedaan antara universal dengan ‘partikular yang teragukan’, bukanlah suatu objek atau individu yang teragukan dari hal-hal yang partikular sehingga kita menyatakan bahwa sesuatu yang berada dalam pikiran kita adalah sesuatu yang kita tidak ketahui secara pasti apakah dia merupakan individu dari manusia atau dari yang lain, melainkan universal itu adalah sesuatu yang berada dalam pikiran kita yang mempunyai keadaan tertentu dimana dia adalah tunggal dan pada saat sama mencakup seluruh individu tak terbatas yang terkait. Konsepsi universal tentang manusia yang hadir dalam pikiran kita adalah sesuatu yang tunggal dan mencakup secara tak terbatas individu-individunya, sesuatu ini bukanlah hal yang kabur dan tak jelas dari objek partikular.
Tidaklah benar apabila kita katakan bahwa gambaran sosok Muhammad yang hadir dalam pikiran kita merupakan individu yang jelas, namun ketika gambaran itu berubah menjadi “manusia” lantas kita anggap sebagai individu yang teragukan, tak jelas, dan kabur di alam pikiran kita. Universal itu tak mungkin meliputi objek dan individu yang kabur, akan tetapi dimaknakan sebagai suatu realitas tunggal yang mencakup secara tidak berhingga individu-individu eksternalnya, dan ini merupakan suatu mukjizat dari akal dan pikiran manusia. Walhasil, universal itu bukanlah sesuatu hal yang talah mengalami kekaburan dan kekurangan, melainkan suatu partikular yang telah terkondisikan untuk terangkat ke derajat yang lebih tinggi menjadi suatu yang universal. Universal adalah suatu realitas yang keberadaannya tinggi dan sempurna dimana memiliki sifat-sifat yang dapat meliputi keseluruhan individu yang terkait dengannya. Kesimpulannya, pengetahuan universal itu lebih tinggi dan lebih sempurna daripada pengetahuan partikular.
Lebih lanjut, Mulla Sadra mengungkapkan, “Tidaklah benar bahwa gambaran dan bentuk imajinasi adalah gambaran indrawi itu sendiri yang telah mengalami suatu pembaharuan dan begitu juga gambaran akal adalah gambaran imajinasi itu sendiri yang telah mengalami perubahan. Ketika indra-indra kita menyaksikan objek-objek luar maka terbentuklah bentuk-bentuk indrawi di alam indra, hal ini tidaklah berarti bahwa objek-objek eksternal itu sendiri yang hadir di alam pikiran lantas mengalami perubahan dan terbentuklah sebagaimana yang ada, melainkan objek-objek eksternal itu tetap berada di alamnya sendiri (yakni alam eksternal). Hubungan indra dengan objek-objek eksternal sedemikian rupa sehingga terciptalah di alam indra kita suatu gambaran dan bentuk objek-objek itu yang sesuai dengan kondisi alam indra, begitu pula ketika daya imajinasi kita mencerap bentuk-bentuk indrawi itu (bentuk-bentuk indrawi ini tetap berada di alam indra tersebtu) maka akan tercipta suatu bentuk-bentuk imajinatif di alam imajinasi yang bersesuaian dengan alam imanjinasi itu sendiri. Seterusnya, ketika daya akal kita mempersepsi bentuk-bentuk imajinatif tersebut maka akan tercipta suatu bentuk-bentuk rasional di alam akal yang bersesuaian dengan alam akal itu sendiri dengan kondisi bahwa bentuk-bentuk imajinatif tersebut tetap berada di alamnya yakni alam imajinasi. Dengan demikian, bentuk-bentuk indrawi itu tidak akan pernah berpindah ke alam imajinasi dan berubah menjadi bentuk-bentuk imajinatif, begitu pula bentuk-bentuk imajinatif tidak akan pernah berpindah ke alam akal dan mengalami suatu perubahan menjadi bentuk-bentuk yang rasional, melainkan masing-masing dari bentuk-bentuk tersebut tetap berada di alamnya dan tidak akan pernah berubah menjadi bentuk-bentuk yang lain. Bentuk-bentuk rasional adalah bukan hasil perubahan dari bentuk-bentuk indrawi dan imajinatif. Pada hakikatnya bahwa bentuk-bentuk rasional berada lebih tinggi dan sempurna daripada bentuk imajinatif dan bentuk indrawi”[14]
Akal dalam Irfan
Walaupun para urafa dan sufi tetap memandang valid akal dan argumen-argumen rasional, akan tetapi lebih mengedepankan pengetahuan yang dihasilkan dari intuisi, mukasyafah, dan syuhud. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa makrifat dan pengetahuan hakiki adalah yang bersifat syuhudi dan intuitif, dan akal sama sekali tidak mampu menyingkap dan menggapai hakikat-hakikat segala sesuatu dan realitas-realitas metafisikal.
Para urafa berkeyakinan bahwa daya akal itu sama posisinya dengan indra-indra lahiriah yang hanya terbatas menjangkau ranah-ranah lahiriah alam dan penampakan-penampakan eksternal segala sesuatu. Manusia dapat mencapai hakikat-hakikat alam dan mencerap realitas-realitas metasikal serta pengetahuan hudhuri dengan metode intuisi dan meninggalkan segala bentuk keterikatan kepada dimensi-dimensi lahiriah dan kebutuhan-kebutuhan duniawi.
Menurut Syahid Muthahhari, untuk sampai kepada tingkatan manusia sempurna para filosof berpegang pada argumen-argumen akal, akan tetapi para urafa memandang bahwa argumentasi akal berada pada tataran yang rendah, tidak mencukupi, dan bahkan terkadang melahirkan kesalahan, maka dari itu mereka begitu sangat menekankan unsur-unsur riyadah, mujahadah, pensucian jiwa, cinta, dan sair-suluk (menapaki jalan-jalan spiritual).[15]
Para urafa meletakkan akal dan indra-indra lahiriah sebagai alat untuk mengenal alam yang terendah (alam materi, alam mulk, alam kegelapan), sementara alam-alam lain yang bersifat metafisik (alam malakut dan alam cahaya) hanya dapat disingkap dengan cara intuisi, mukasyafah, musyahadah, dan pensucian hati. Walaupun pengetahuan rasional itu melahirkan bentuk-bentuk keyakinan tertentu akan tetapi sangatlah terbatas, sedangkan keyakinan dan makrifat yang dihadirkan oleh intuisi dan hati lebih sempurna, mendalam, dan bersifat abadi. Peran argumen-argumen akal dalam hal ini lebih pada penegasan terhadap dasar-dasar akidah dan asas-asas keagamaan bagi kalangan-kalangan awam.
Dalam pandangan Ibn Arabi, akal tidak mampu mencerap objek-objek eksternal secara langsung, oleh karena itu akal sangat membutuhkan indra-indra lahiriah, sementara indra-indra itu juga dipengaruhi oleh karakter dan keadaan alaminya masing-masing yang tidak dapat mempersepsi realitas-realitas nonmateri . Dengan demikian, dengan perantaraan akal, manusia tidak akan mungkin menyingkap dan memahami hakikat-hakikat dan batin-batin alam.[16]Lebih lanjut dia menyatakan, “Kesalahan para filosof adalah karena memandang bahwa indra-indra itu melakukan kekeliruan, padahal dalam hal ini, akallah yang melakukan kesalahan, bukan persepsi indrawi. Akal teoritis sama sekali tidak akan bisa mencerap objek-objek eksternal tanpa bantuan dari indra-indra lahiriah dan batiniah. Akal dan pengetahuan-pengetahuan rasional hanyalah mengikuti indra-indra tersebut. Akal manusia bukanlah sumber ilmu dan pengetahuan, melainkan hanya sebagai alat untuk menerima gambaran-gambaran dari indra-indra lahiriah atau dari fakultas-fakultas internal jiwa. Pengetahuan-pengetahuan konsepsional dan metafisikal itu bukanlah bentukan dari fakultas akal tapi bersumber dari intuisi dan hati serta dimensi-dimensi kejiwaan.”[17]
Perspesi-persepsi akal itu terbagi dua bagian:
Persepsi aksioma yang pasti (dimana tidak akan mengalami kesalahan);Persepsi non-aksioma yang tak pasti (persepsi ini berhubungan dengan daya pikir dan indra-indra lahiriah, persepsi jenis inilah yang terkadang menimbulkan suatu kesalahan dan kekeliruan).[18]
Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya.[19]
Menurut Imam Khomeni, manusia secara fitri bersandar pada argumentasi akal dan demonstrasi rasional, yakni fitrah manusia tunduk pada dalil dan burhan akal. Itulah fitrah yang dikhususkan bagi manusia dan tidak ada perubahan dalam penciptaan Tuhan.[20] Lebih lanjut dia menyatakan, “Sebenarnya para urafa sama sekali tidak menentang akal dan pengetahuan rasional, karena mengecam logika dan argumen adalah bertolak belakang dengan hukum fitrah manusia dan mustahil mereka bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa bahkan sebagian urafa dan filosof kontemporer telah menegaskan bahwa makrifat intuitif dan pengetahuan rasional saling mendukung satu sama lain. Pada umumnya orang yang telah mencapai pengetahuan syuhudi dan irfani sebelumnya adalah teolog atau filosof. Dan jika para urafa mendapatkan suatu mukasyafah yang bertolak belakang dengan argumentasi akal, mereka kemudian menafikannya.”[21]
3. Intuisi dan Hati
Para filosof beranggapan bahwa sumber dan alat pengetahuan yang paling paling penting adalah akal, sementara para urafa dan sufi meletakkan intuisi dan hati sebagai sumber pengetahuan dan makrifat hakiki. Sebagian urafa, kaum Iluminasi, dan filosof Barat seperti Henry Bergson menempatkan pensucian hati, pencerahan jiwa, dan intuisi sebagai satu-satunya alat dan sumber makrifat serta jalan menuju kepada penerimaan hakikat-hakikat transenden. Mereka tidak menganggap bahwa argumentasi akal dan indra-indra lahiriah sebagai sumber pengetahuan hakiki. Ibn Arabi menyatakan bahwa hati merupakan alat untuk memperoleh makrifat-makrifat tentang Tuhan dan rahasia-rahasia Ilahi, bahkan alat untuk mendapatkan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batin. Oleh karena itu, hati dan kalbu merupakan perantara dan media persepsi dan penyingkapan hakikat segala sesuatu, hati bukan hanya sebagai sentral cinta dan kasih saying.[22]
Terkadang hati itu dinamakan sebagai “jiwa yang berakal”, karena musyahadah dan penyaksian intuitif mampu menghadirkan makna-makna universal dan partikular kapan saja dia kehendaki, dan tingkatan ini dalam pandangan para filosof disebut sebagai “akal mustafad” (yang merupakan tingkatan tertinggi akal). Alasan penamaannya sebagai “hati” atau “kalbu” karena dia senantiasa mengalami “perubahan”, “pergantian”, dan “fluktuasi” dari derajat akal murni sampai ke alam terendah. Hati dapat menjelajah hingga ke alam-alam yang tak terbatas dan menerima segala bentuk dari manifestasi nama-nama Tuhan serta wadah pengaktualan salah satu atau seluruh nama-nama Tuhan tersebut secara adil, hati juga berada di pertengahan (barzakh) antara lahir dan batin dan darinya pun terwujud fakultas-fakultas ruhani dan jasmani dimana sebagai media emanasi dari berbagai kecenderungan-kecenderungan hati.[23]
Muhyiddin Arabi memandang bahwa hati itu bersumber dari rahmat Tuhan dan bahkan lebih luas dari rahmat Tuhan itu sendiri, karena hati dan kalbu para insan kamil dan urafa ialah satu-satunya “wadah” yang dapat menerima hakikat-hakikat Ilahi.[24]
Menurutnya, dari dimensi bahwa manusia itu mempunyai hati, maka dirinya akan senantiasa mengalami perubahan dan fluktuasi di antara alam-alam penciptaan serta “tempat” bagi manifestasi Tuhan dalam bentuk yang berbeda-beda. Manifestasi Tuhan inilah yang dikatakan sebagai ilmu, pengetahuan, makrifat, dan syuhud.
Para filosof tidak menolak pensucian hati dan pencerahan jiwa sebagai jalan menggali penngetahuan dan makrifat, bahkan mereka mengakui bahwa ada pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dari jalan indra dan akal, begitu pula terdapat makrifat yang tidak dapat dihasilkan dari metode intuisi dan hati, karena kedua fakultas ini yakni hati dan akal, mempunyai ranah dan wilayah masing-masing dan subjek keduanya pun memiliki perbedaan. Misalnya dalam wacana Islam ditegaskan bahwa pensucian hati merupakan metode yang paling baik dan sempurna untuk mencapai pengetahuan tentang diri sendiri, namun Islam sama sekali tidak menyatakan bahwa, misalnya, untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia natural, ilmu matematika, kedokteran, dan ilmu-ilmu empirik lainnya juga harus melalui metode intuisi dan pensucian hati. Yang sebenarnya adalah kedua fakultas ini saling mendukung satu sama lain, ilmuwan seperti Pascal, William James, A. Carrel, dan Albert Einsten mengakui bahwa fakultas hati itu begitu banyak mengilhami lahirnya berbagai penemuan ilmiah dan rakayasa teknologi.
Pensucian Jiwa dan Perolehan Makrifat
Minimalnya terdapat dua peran mendasar dari pensucian hati dan pencerahan jiwa yang dapat dikemukakan di sini, antara lain bahwa “kotoran” yang melekat pada hati dan jiwa merupakan penghalang bagi manusia untuk “menyaksikan” hakikat-hakikat yang terdalam dan kendala untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pensucian hati bertujuan untuk menyingkirkan hijab-hijab kegelapan dan menyirnakan segala bentuk hawa nafsu, dendam, ketamakan, kezaliman, kebencian, cinta dunia, cinta kekayaan, dan cinta kekuasaan, sedemikian sehingga musnahlah segala bentuk penghalang dan musuh terbesar bagi akal dan jiwa manusia. Dan dengan lahirnya kesucian dan kecerahan batin tersebut, manusia akan mendapatkan suatu pandangan dunia baru dalam memandang dan menafsirkan realitas-realitas hakiki dan objek-objek eksternal.
Karena kita yakin bahwa tidak semua pandangan dan perspektif filosofis terhadap alam eksistensi ini adalah benar dan mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki dan keselamatan abadi.[25] Maka dari itu, dalam maktab Islam, pensucian hati adalah upaya pengkondisian diri untuk menerima emanasi dan pancaran cahaya Ilahi dan usaha untuk melahirkan kemampuan diri dalam membedakan antara gagasan-gagasan yang benar dan yang batil serta memilih yang terbaik di antara konsep-konsep yang benar. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu).[26]
Peran penting lain dari pensucian dan tazkiyah hati adalah bahwa hati dan jiwa yang telah tercerahkan akan menjadi sebagai sumber berbagai ilham-ilham dan media bagi penyingkapan hakikat-hakikat segala sesuatu serta sebagai tempat emanasinya berbagai makrifat-makrifat transenden dan Ilahi yang tidak mungkin dapat dicapai melalui jalan-jalan rasional dan akal. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.[27] Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan dua bagian rahmat-Nya kepadamu, menjadikan untukmu cahaya yang dapat kamu gunakan untuk berjalan, dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[28]
Tinjauan ilmiah dan filosofis dari pensucian diri dan hati dalam perolehan beberapa rangkaian makrifat dan hikmah diutarakan oleh filosof Murtadha Muthahhari sebagai berikut: Beberapa sifat-sifat yang berpengaruh pada akal[29] manusia, yakni akal praktis manusia, adalah kesombongan, fanatisme, dan sifat-sifat kejiwaan lainnya. Wilayah dan ranah akal praktis manusia dikarenakan berhubungan dengan amal dan perbuatan manusia maka niscaya pun berkaitan dengan domain perasaan, kecenderungan, dan syahwat manusia. Segala perbuatan manusia apabila telah keluar dari batasan keseimbangannya dan manusia telah sedemikian dipengaruhi oleh efek-efek negatifnya serta akal manusia telah mengikuti segala kecenderungannya secara mutlak, maka dalam kondisi seperti manusia tidak dapat lagi mendengar suara-suara dan pertimbangan akalnya sendiri. Lebih jauh dari ini, akal akan terselimuti dan terhijabi dengan kabut gelap hawa nafsu sedemikian sehingga cahayanya yang suci tidak bisa lagi terpancar untuk menerangi dan mencerahkan hati dan jiwa manusia.
Imam Shadiq As menyatakan bahwa hawa nafsu ialah musuh akal. Dengan memperhatikan ungkapan Ilahi ini, kita dapat katakan bahwa sifat-sifat dan kondisi-kondisi kejiwaan manusia bertolak belakang satu sama lain dan saling pengaruh mempengaruhi, seperti perlawanan hawa nafsu terhadap akal.
Ketika takwa dan kesucian hati menyelimuti jiwa manusia maka musuh akal akan bisa dikendalikan dan dijinakkan serta menutup efek-efek negative dari hawa nafsu, dengan demikian hawa nafsu tidak lagi menjadi faktor penghalang bagi segala pengaruh dan pertimbangan akal manusia. Akal menjadi bebas dan jalan akan terbuka lebar baginya untuk menyebarkan pengaruh-pengaruh pemikirannya. Walhasil, apabila manusia meragukan segala hal, maka dalam masalah ini mustahil dia ragu bahwa sifat marah, syahwat, tamak, hasad, fanatik, cepat puas dalam hal ilmu, dan sifat-sifat seperti ini akan membuat kehidupan manusia menjadi terbelakang.
Apabila manusia mendapatkan taufik untuk menjinakkan dan menyeimbangkan seluruh sifat dan kondisi kejiwaannya maka dia pasti mampu meraih puncak kesempurnaan dan kebahagiaan serta akalnya akan senantiasa memberikan padanya ilham-ilham yang baik. Poin lain yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa dalam diri manusia terdapat “indra” lain di samping fakultas akal dan indra-indra lahiriah, “indra” itu bisa kita namakan dengan “indra penerima ilham”. Pengetahuan modern pun telah menegaskan dan mengesahkan bahwa pada diri manusia terdapat “indra” utama yang mandiri dan bebas dari pengaruh indra-indra lahiriah. “Indra” ini terdapat pada semua individu manusia dengan intensitas yang berbeda-beda dan dapat pula mengalami perkembangan dan penyempurnaan sebagaimana indra-indra lain manusia. Posisi dan keberadaan “indra” ini dalam hati dan kalbu manusia. Nah, perlu diperhatikan apa-apa yang mempengaruhi perkembangan dan penyempurnaan “indra” itu? Ketahuilah bahwa faktor substansial yang menyempurnakan “indra” tersebut tidak lain adalah ketakwaan, kesucian hati, dan akhlak.
Perbedaan Pengetahuan Rasional dan Intuitif
Pengetahuan rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan didapatkan dari suatu proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi, jenis pengetahuan ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan “penyingkapan” langsung terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui penapakan mistikal, penitian jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran tahapan-tahapan spiritual. Pengetahuan rasional merupakan sejenis pengetahuan konsepsional atau hushuli, sementara pengetahuan intuisi atau hati adalah semacam pengetahuan dengan “kehadiran” langsung objek-objeknya atauhudhuri.
Menurut Ayatullah Jawadi Amuli, “Perbedaan pertama antara kedua pengetahuan tersebut adalah bahwa apa-apa yang dipersepsi oleh akal merupakan gambaran-gambaran dan konsepsi-konsepsi universal, sementara hati menyaksikan dari dekat maujud-maujud “partikular” (yakni maujud yang memiliki keluasan wujud tertentu). Perbedaan kedua adalah akal mempunyai keterbatasan dalam mempersepsi hakikat-hakikat, sedangkan hati dan kalbu memiliki jangkauan yang lebih luas dan mampu menyingkap rahasia-rahasia segala sesuatu baik secara “universal” maupun “partikular” dengan metode syuhudi dan penyaksian mistikalnya.”[30]
Dalam pengetahuan akli dan rasional, manusia mengetahui dan memahami sesuatu, sedangkan dalam pengetahuan hati dan intuisi, sesuatu tersebut hadir dalam jiwa seseorang dan bersifat “dirasakan” serta dihayati. Pengetahuan intuisi diraih dengan suatu penghambaan hakiki kepada Yang Maha Mutlak dan ilham-ilham yang hadir dalam jiwa manusia dalam bentuk emanasi.[31]
Referensi:
[1] . Ghulam Muhsin Ibrahimi, Qawaid Kulli Falsafi dar Falsafe-ye Islami, jilid kedua, hal. 438.
[2] . Ibn Sina, al-Burhan min Kitab asy-Syifa, hal. 158.
[3] . Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 381 dan Allamah Thabathabai, Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid kedua, hal. 24-25.
[4] . Ibn Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bab kedua, hal. 324.
[5] . Ja’far Subhani, Nazariyah al-Ma’rifah, hal. 45.
[6] . Frederick Copleston, Tarikh Falsafe Gharb, jilid kelima, 18, 19. Dan Muhammad Ali Furughi, Sair-e Hikamat dan erupo, hal. 448-452.
[7] . Syahid Sadr, Falsafatuna, hal. 174.
[8] . Ibn Sina, asy-Syifa, bab al-ilahiyyah al-khas.
[9] . Tahqiq dar Fahm-e Basyar, hal. 243, 244; Falosefe-ye Inggliston, hal. 65, 72, 74, 77.
[10] . Rene Descartes, Taammulat, hal. 65-67, penerjemah: Yusuf Keram.
[11] . Immanuel Kant, Tamhidat, penerjemah: Dr. Haddad Adil, hal. 12, 14, 15, 18, 20, 143, 417. Buzurg Mehr, Falsafe-ye Nazari, hal. 207. Hasan Mu’allimi,Nagohi beh Makrifat Syenosi Gharb, hal 160-168.
[12] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 272.
[13] . Ibid.
[14] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 264.
[15] . Murtadha Muthahhari, Tamasya geh raz, hal. 140.
[16] . Ibn Arabi, Syarh at-Tajalliyah al-Ilahiyyah, hal. 2, 3, dan 261.
[17] . Ibn Arabi, Futuhat al-Makiyyah, jilid pertama, hal. 288 dan 289, dan jilid kedua, hal. 66.
[18] . Ibid, jilid pertama, hal. 213, 214.
[19] . Jalaluddin Hamayi, Maulawi Nameh, jilid pertama, hal. 494.
[20] . Abdullah Fatimi Niya, Farjame ‘Isyq, hal. 73.
[21] . Ibid, hal. 75.
[22] . Abul ‘Ala’ ‘Afifi, Ta’liqat Fushushul Hikam, fash 12, hikmat qalbiyah.
[23] . Tajuddin Khorazmi, Syarh Fushushul Hikam, jilid pertama, hal. 418.
[24] . Muhyiddin Arabi, Fushushul Hikam, awal pembahasan Fash Syu’aibiyyah.
[25] . Mulla Sadra, Asfar, jilid kesembilan, hal. 136.
[26] . Qs. Anfal: 29.
[27] . Qs. Ankabut: 69.
[28] . Qs. Hadid: 28.
[29] . Akal manusia terbagi dua, akal teoritis dan praktis.
[30] . Abdullah Jawadi Amuli, Syenokht-e Syenosi dar Quran, hal. 358 dan 359.
[31] . Ibid, jilid pertama, 255, 265, 259, 264, 266, 269, 270, 272- 274, 323, 325, 326, 328, 350.
(teosophy/ABNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar