Kamis, 23 Juli 2015

ASAL-USUL SUNNAH SAHABAT

Asal Usul Sunnah Sahabat

16/1/2015

 

KH Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI

[UIN Alauddin Makassar melahirkan doktor ke 364. Kamis tanggal 15 Januari 2015 lalu, KH Jalaluddin Rakhmat mempertahankan disertasinya tentang sejarah tasyri' di hadapan beberapa penguji. Beliau dinyatakan lulus dengan predikat amat baik. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan makalah singkat di bawah ini] (majulah-IJABI)

Assalamu alaikum wr. Wb

Pada zaman Abdullāh bin Zubair, Abdullāh anak ‘Umar memberikan fatwa tentang hajji tamattu’ berdasarkan ayat Al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Orang-orang berkata kepada Ibnu ‘Umar: “Mengapa engkau menentang bapakmu, padahal ia telah melarang haji tamattu’.”  Ibnu ‘Umar berkata :

أفرسول الله ص أحق أن تتبعوا سنته أو عمر؟

Manakah yang lebih berhak diikuti: Sunnah Rasulullah saw atau sunnah ‘Umar?[1]

Pada zaman sahabat, telah muncul persoalan mana yang harus didahulukan: Sunnah Rasulullah saw atau Sunnah Sahabat.  Ibn Umar memilih sunnah Rasulullah saw, walaupun harus menentang sunnah ayahnya. 

Pada perkembangan tarikh tasyri’, Sunnah Sahabat  perlahan-lahan tetapi pasti  menjadi  salah-satu sumber syarak. Tiga tahun yang lalu, Maktabat al-Rasāʼil al-Jāmiʻīyah al-ʻĀlamīyah,menerbitkan jilid ke-47,  Qaul al-Sahabi: Hujjiyat al-‘Amal bih, ditulis oleh  Anas Muhammad Rida.

Buku tersebut menjelaskan kehujjahan Sunnah Sahabat, walaupun sunnah itu bertentangan dengan hadis-hadis Nabi saw.  Al-Ustāż Dr. ‘Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muḥammad al-Namlah  sekarang Guru Besar Usul al-Fiqh di Fakultas Syariah di Universitas Islam Imam Muḥammad bin Su’ud di Riyaḍ menulis Mukhālafah al-Sahabat  lil-Ḥadīś al-Nabawī untuk mempertahankan kedudukan Sunnah Sahabat vis-à-vis  Sunnah Nabi saw. 

Sunnah Sahabat sekarang telah menjadi sumber syarak yang ketiga. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in menyebutkan 46 alasan tentang kehujjahan sunnah sahabat. Para imam mazhab Ahl al-Sunnah Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali sepakat bahwa qawl sahabat, sunnah sahabat, fatwa sahabat, atau mazhab sahabat –dengan perbedaan sedikit- adalah hujjah.

Ada tiga jenis Sunnah Sahabat: Sunnah Sahabat yang sejalan dengan dan merupakan pelaksanaan dari Sunnah Nabi saw, seperti Tadwin al-Quran, sunnah sahabat yang menggantikan sunnah Nabi seperti sakat tarawih, dan Sunnah Sahabat yang berlawanan dengan Sunnah Nabi seperti kasus Hajji Tamattu’ yang disebutkan oleh Ibn Umar dan Radha’ah al-Kabir seperti yang diuraikan oleh al-Namlah.

Dari manakah Sunnah Sahabat itu berasal? Tentu saja dari para sahabat. Tetapi tidak semua sahabat mendukung atau terlibat dalam Sunnah Sahabat. Apa latarbelakang teologis dan ideologis yang membedakan di antara pendukung Sunnah Sahabat dan pendukung Sunnah Nabi saw?

Saya menggunakan metode historis untuk memecahkan tiga masalah itu.  Metode sejarah yangf digunakan adalah metode abduktif dengan menggunakan data-data yang kaya dari  kitab-kitab Rijal al-Hadis, berbagai Mu’jam dan kitab-kitab sejarah. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil memiliki beberapa kelemahan, sehingga mperlu dilengkapi dengan disiplin ilmu yang lain. Di sini ilmu itu ialah historiografi.

Penelitian saya berdasarkan metoe historis abdukti menunjukkan adanya dua pandanga teologis yang berbeda di antara pendukung Sunnah Nabi dan Sunnah Sahabat.  Perbedaan itu berkaitan dengan pandangan tentang wasiat.  Kelompok Sunnah Sahabat menolak adanya wasiat Ini berasal dari pandangan bahwa Nabi saw hanya maksum dalam urusan agama. Penunjukan pengganti sepeningganya termasuk urusan politik. Dalam urusan seperti ini ucapan dan perilaku Nabi saw tidak dianggap nash, tetapi bagian dari ijtihad Nabi saw. Jadi mereka boleh menolak wasiat Nabi.

Di antara ahli-ahli sejarah Barat yang mendukung pandangan kelompok ini adalah Leone Caetani, seorang Pangferan Itali, yang menulis tiga buku tebal tentang sejarah Islam, Annali Dell’Islam. Pada jilid 2 Caetani mengatakan bahwa Nabi saw tidak berwasiat karena maut menyergapnya mendadak. “La fine fosse tanto vicina.”

Sir Thomas W. Arnold[2] hampir mengajukan teori yang sama. Pada hari-hari terakhirnya kesehatan Nabī saw begitu buruk sehingga, dengan mengutip Oliver Cromwell, ia melukiskan keadaaan Nabī saw “so discomposed in body or mind, that he could not attend  to that matter.” Jadi menurut Arnold, “tidak perlu kita berpikir mengapa orang genius yang mahir berorganisasi itu mengabaikan rencana masa depan masyarakat religius yang baru dibentuknya.”  Dalam bukunya yang lain, Arnold menegaskan bahwa tribalisme Arab recognized no hereditary principle in its primitive forms of political life, and left the member of the tribe  entirely free to select their own leader

P.H. Lammens menyebutnya “l’instinct egaliaire des Arabes” dalam le Berceau de l'islam.  Semua teori sejarawan di atas ditolak oleh Sejarawan Muslim: Dr Ḍiyā al-Dīn al-Rayes, Al-Nazariyāt al-Siyāsiyāt al-Islāmiyyah,  (Kairo: Dār al-Turāś, 1952),  h. 35-36. Menurut al-Rayes, Nabi saw tidak berwasiat bukan karena sakitnya terlalu berat, bukankarena tribalisme, bukan pula karena instink egaliter. Beliau tidak berwasiat karena ia ingin menyerahkan kepemimpinan pada kehendak rakyat, disesuaikan dengan kondisi dan situasi; bukan pada tribalisme jahiliah, juga bukan pada sistem dinastik. Walhasil, menurut kelompok ini, Nabi saw sama sekali tidak berwasiat. Tidak ada dalil dalam al-Quran dan Hadis bahwa Nabi saw berwasiat.

Pada kelompok lainnya, Nabi saw berwasiat dengan alasan teologis: Nabi makshum secara mutlak. Ia harus dipatuhi baik pada urusan aqidah, ibadah ritual, atau urusan agama, tetapi juga ia harus dipatuhi dalam urusan soial politik.  Jadi jika Nabi saw menunjuk Ali sebagai pelanjutnya, mereka juga harus mematuhinya. Buat kelompok ini, Nabi saw tidak pernah berijithad. Semua ucapan, perbuatan, dan taqrirnya adalah nash, yang harus diikuti.

Ahli sejarah yang mendukung pendapat ini adalah M. Emile Tyan. Ia berkata bahwa berbeda dengan Syiah, Sunnisme merumuskan hukum publiknya setelah ada fakta, sementara Syiisme merumuskan hukum publiknya sebelum fakta.Walhasil, di kalangan ulama Sunni  teori-teori tentang tidak adanya pewasiatan secara turun-temurun dirumuskan karena kenyataan sejarah bahwa pemegang kekuasaan sepeninggal Nabī saw bukanlah keturunan Nabī saw. 

Selain Tyan, W. Montgommery Watt juga menegaskan bahwa tradisi Arab yang sebenarnya ialah pewarisan kekuasaan berdasarkan keturunan. Watt menyebutkan prestasi yang paling penting dari Bani Umayyah ialah mempertahankan kekhalifahan dalam satu keluarga selama hampir satu abad.

Apakah betul Nabi saw berwasiat. Disertasi saya mengemukakan hadis-hadis beserta analisis al-jarh a al-ta’dil tehadapnya yang menunjukkan bahwa Nabi saw berwasiat. Di samping itu Al-Quran juga menegaskan taradisi para Nabi sebelum Rasulullah saw yang juga berwasiat. Wilferd Madelung menunjukkan dengan sangan jelas bahwa tradisi pewarisan kepemimpinan sangat Qurani.

Walhasil Nabi saw berwasiat.  Karena wasiat itu maslah politik, maka pemegang kekuasaan sepanjang sejarah berusaha untuk menghilangkan gagasan wasiat ini dengan melaknat pembawa wasiat, mentahrif riwayat wasiat, mendhaifkan dan mengecam rawi wasiat, mempersekusi pengikut wasiat. Sejak Bani Umayyah sampai sekarang!

Wassalam
Jalaluddin Rakhmat 

Catatan Kaki

[1] Al-Musnad lil-Imam Aḥmad, tahqiq: Aḥmad Muḥammad Syakir, 5 (Kairo: Dār al-Ḥadīś , 1416/1995), h. 190
[2] Sir Thomas Arnold, The Caliphate. (London: Oxford University Press, 1924),   h. 19

*) Disampaikan oleh DR Jalaluddin Rakhmat MSc dalam "Ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor) dengan judul disertasi "ASAL USUL SUNNAH SAHABAT; Studi Historiografi Atas Tarikh Tasyri'', yang dilaksanakan pada hari Kamis 15 Januari 2015 di Ruang Promosi Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Baca beritanya di sini: Ustadz Jalal Raih Doktor Bidang Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar