Beranda Ibrahim Amini TEOSOFI ▼
Jumat, 17 Juli 2015
Pengertian ‘Arsy dan “Kursi”
Oleh: Mohammad Adlany
Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis, para penafsir al-Quran memberikan beberapa kemungkinan makna terhadap ‘arsy dan kursi.
‘Arsy secara literal berarti tahta, singgasana kerajaan dan tahta Rabbul ‘Alamin yang tidak bisa didefinisikan.[1] ‘Arsy pada prinsipnya berarti sesuatu yang memiliki atap, dan jamaknya adalah ‘urusy. Tempat duduk raja juga di sebut ‘arsy. Ini karena melihat ketinggiannya.[2]
Kursi adalah tahta, ilmu, pengetahuan, harta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.[3]
Dalam Al-Quran, selain langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya, terdapat pula dua eksistensi lain dengan nama ‘arsy dan kursi.
Mengenai pengertian kata ‘arsy dan kursi, dengan menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dari para Imam Ahlulbait Nabi As, para penafsir al-Quran menyatakan kemungkinan-kemungkinan berikut:
Sebagian memberikan kemungkinan bahwa ‘arsy dan kursi merupakan satu sesuatu yang memiliki dua nama, ‘arsy menunjukkan pada monarki kesultanan dan kekuasaan, sedangkan kursi menunjukkan pada kredibilitas yang lebih baik, pemimpin para penguasa dan markas kepemimpinan, keduanya merupakan intepretasi nominatif dari sebuah tingkatan dimana persoalan pengaturan alam bersumber darinya.[4]
Dalam Al-Quran, ‘arsy dengan makna tahta digunakan sebanyak empat kali (yaitu dalam surah-surah Yusuf ayat 100, dan surah An- Nahl ayat: 23, 38 dan 42), sedangkan ‘arsy Ilahi diisyaratkan sebanyak 21 kali. Isyarat-isyarat ini biasanya nisbi; ayat-ayat ‘arsy juga merupakan salah satu mutasyabihat yang penting dalam al-Quran.[5]
Sementara itu, kemungkinan-kemungkinan makna mengenai kata ‘arsy Ilahi ini diantaranya adalah:
1. Mungkin yang dimaksud dengan ‘arsy tak lain adalah maqam kesultanan dan kebijakan Ilahi, terutama karena biasanya dalam al-Quran al Karim setelah kata ‘arsy akan diikuti dengan kata kebijakan atau misdaknya, seperti, “… kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy untuk mengatur segala urusan.” [6]
2. Kemungkinan kedua, ‘arsy adalah nama sebuah eksistensi yang khas dan nyata, seperti, “… dan Dia-lah Tuhan yang memiliki ‘arsy yang agung.”[7]. Dari lahiriah ayat ini bisa disimpulkan bahwa ‘arsy merupakan sebuah eksistensi dimana Tuhan adalah Rab-nya.
Dengan memperhatikan ayat berikut,“Para malaikat yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhan”[8], maka yang dimaksud pada ayat di atas (“… dan Dia-lah Tuhan yang memiliki ‘arsy yang agung.”)tidak menutup kemungkinan bahwa ‘arsy merupakan sebuah eksistensi yang nyata dan hakiki.
3. Kemungkinan ketiga dalam makna ‘arsy adalah kumpulan antara dua makna dan detail ayat-ayat, yaitu, dalam sebagian ayat, ‘arsy adalah eksistensi yang hakiki dan nyata, dan pada sebagian ayat lainnya, makna ‘arsy menafsirkan makna nominatif.[9]
Mengenai makna ‘arsy ini Allamah Thabathabai mengatakan, ‘arsy merupakan sebuah hakikat dari hakikat-hakikat luar, sedangkan ayat berikut, “…kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy”,selain merupakan sebuah perumpamaan dimana cakupan kebijakan Tuhan termanifestasi dalam kepemilikan-Nya, juga menunjukkan bahwa di antara semuanya ini terdapat juga hakikat yang diantaranya tak lain adalah tingkatan dimana keseluruhan persoalan terkumpul di sana. Dari lahiriah ayat-ayat (Mukmin: 7, Al-Haqqah: 17 dan Az-Zumar: 74) diketahui bahwa arsy adalah sebuah hakikat dari hakikat-hakikat luar.[10]
Berdasarkan apa yang bisa disimpulkan dari riwayat-riwayat yang membahas makna ‘arsy ditemukan bahwa ‘arsy merupakan sebuah eksistensi hakiki yang disebutkan siapa para pembawanya. Suatu ketika kepada Imam Shadiq As ditanyakan mengenai ‘arsy dan kursi, dalam menjawab pertanyaan ini beliau bersabda, “Sesungguhnya ‘arsy memiliki sifat yang banyak dan berfariasi”[11], dimana saja al-Quran menyebutkan tentang kata ‘arsy dalam kaitan dengan momen tertentu, maka ia akan menyebutkan sifat yang berkaitan dengan maksud tersebut, misalnya dalam kalimat
“رب العرش العظيم” ,
‘arsy adzim disini bermakna kepemilikan yang agung, sedangkan pada kalimat
“الرحمن على العرش استوى”
memiliki makna bahwa Tuhan menguasai kepemilikan-Nya dan ini tak lain adalah ilmu dan pengetahuan-Nya terhadap kebagaimanaan benda. Kalimat ini, apabila disebutkan dengan kursi, maka akan memiliki makna selain makna kursi, karena ‘arsy dan kursi merupakan dua pintu dari pintu-pintu gaib terbesar dan mereka sendiripun adalah gaib, dan dalam hal kegaiban, mereka adalah sama, dengan perbedaan bahwa kursi berada pada lahiriah gaib itu, dimana terbitnya segala sesuatu yang baru berasal dari sana dan fenomena segala benda berasal dari pintu tersebut, sedangkan ‘arsy merupakan batinnya, yaitu ilmu dan kualitas eksistensi dan keberadaan mereka, jumlah, batasan dan tempat mereka, demikian juga kemauan, sifat kehendak, ilmu pengetahuan, gerak, meninggalkan, ilmu terhadap permulaan eksistensi, seluruhnya berasal dari pintu tersebut.
Jadi ‘arsy dan kursi, adalah dua pintu yang saling berdekatan, hanya saja pemilik ‘arsy, bukan pemilik kursi dan ilmunya lebih gaib dan lebih tersembunyi dari ilmu kursi.[12]
Syeikh Saduq dalam penjelasannya mengenai kalimat
“ثم العرش فی الوصل متفرد من الکرسی”
mengatakan, “Arsy lebih utama dari kursi dan efektifitas di dalamnya tanpa perantara, ‘arsy dan kursi merupakan dua buah eksistensi dari eksistensi-eksistensi malakuti yang gaib dari pemahaman.” [13]
Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda, “Sesungguhnya matahari, bulan dan bintang-bintang berasal dari cahaya ‘arsy Tuhan Sang Pencipta”[14]
Makna Kursi
Kata kursi, hanya disebutkan satu kali dalam al-Quran, yaitu pada ayat, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi”[15] dan dalam makna tersebut telah disebutkan beberapa kemungkinan berikut:
1. Kursi; yaitu daerah kekuasaan dan perumpamaan atas tingkat pemerintahan. Dengan makna ini dimana kekuasaan Tuhan meliputi seluruh langit-langit dan bumi, dan cakupan dan batasan-Nya meliputi seluruhnya, dengan demikian kursi Tuhan merupakan majemuk alam materi baik yang berupa bumi, bintang-bintang, galaksi maupun nebula-nebula. Berdasarkan makna kursi ini, ‘arsy seharusnya merupakan sebuah tingkatan yang lebih tinggi dari alam materi. Dalam keadaan ini makna ‘arsy adalah alam arwah dan malaikat-malaikat serta dunia meta fisika.[16]
2. Kemungkinan kedua, yang dimaksud dengan kursi adalah sebuah wilayah cakupan pengetahuan Tuhan, yaitu ilmu Tuhan yang meliputi keseluruhan langit-langit dan bumi dan tidak ada sesuatu yang keluar dari batasan ilmu Tuhan.[17]
Teori ini diperkuat dengan sebuah riwayat dari Imam Shadiq As, dimana kepada beliau ditanyakan, “Apa yang dimaksud dengan kursi dalam ayat “Kursi Allah meliputi langit dan bumi”, dan beliau menjawab, “Ilmu-Nya”[18] Demikian juga dalam makna kursi beliau bersabda, “Kursi adalah ilmu khusus Tuhan yang tidak seorangpun (bahkan para nabi) memiliki pengetahuan atasnya.”[19]
3. Sedangkan kemungkinan ketiga dalam makna kursi ini adalah, kursi merupakan sebuah wksistensi yang lebih luas dari seluruh langit-langit dan bumi yang melingkupi dan mengelilingi mereka dari segala arah.
Ketika ditanyakan kepada Imam Ali As mengenai kursi, beliau bersabda,
“الکرسی محیط بالسماوات والارض و ما بینهما و ما تحت الثری” ;[20]
“Kursi berada di atas bumi dan langit-langit dan mengelilingi apapun yang berada diantara mereka dan apapun yang berada di kedalaman bumi.”[21] Tentunya, sebagaimana yang terlihat, dalam riwayat ini kursi juga dianggap sebagai sebuah eksistensi yang hakiki dan nyata. Menurut keyakinan para penulis tafsir Namuneh, tidak ada saling kontradiksi dalam ketiga, karena yang dimaksud dengan kursi dalam ayat “Kursi Allah meliputi langit dan bumi” bisa juga mengisyarahkan pada pengaruh kekuasaan mutlak dan kekuatanTuhan di langit-langit dan bumi dan juga pengaruh ilmu-Nya serta dunia yang lebih luas dari dunia ini yang meliputi langit dan bumi.[22]
Terjemahan Makalah Ayatullah Hadawi Tehrani
Referensi:
[1] . Shafi Pur, Abdul Karim, Muntaha al-Arb, jil. 3 dan 4, bab al-‘Ain, hal. 1716.
[2] . Raghib Ishfahani, Mufradat Alfadh-e Quran, wozeh-ye ‘arsy.
[3] . Shafi Pur, Abdul Karim, Muntaha Al-arb, jil. 3 dan 4, bab al-Kaf, hal. 1090.
[4] . Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi,Ma’arif-e Quran, jil 1-3, hal. 248.
[5] . Khuramsyahi, Bahauddin, Donesy-nomeh-ye Quran, jil. 2, hal. 1445-1446.
[6] . Qs. Yunus: 3.
[7] . Qs. At-Taubah: 129
[8] . Qs. Ghafir: 7
[9] . Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi,Ma’arif-e Quran, jil. 1-3, hal. 249-250.
[10] . Syams, Murad Ali, Bo Alamah dar Al-Mizan, jil. 2, hal. 165-166.
[11] . Tauhid Shaduq, hal. 321-322, hadis 1, bab 50.
[12] . Al-Mizan (Terjemah), jil.8, hal 206.
[13] . Tauhid Shaduq, hal. 321-322, bab 50.
[14] . Ad-Darul Mantsur, jil.3, hal. 477;Biharul Anwar, jil. 55, hal. 210.
[15] . Qs. Al-Baqarah: 255.
[16] . Tafsir Namuneh, jil. 2, hal. 200-201.
[17] . Al-Mizan (Terjemah), jil. 2, hal. 513;Tafsir Namuneh, jil. 2, hal. 200-201.
[18] . At-Tauhid, hal. 327.
[19] . Ma’ani Al-Akhbar, hal. 29, hadis 1; Tafsir Burhan, jil. 1, hal. 240, hadis 6.
[20] . Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jil. 8, hal. 260, hadis 1042.
[21] . Tafsir Namuneh, jil. 2, hal. 200-201
(teosophy/ABNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar