Sabtu, 18 Juli 2015

NABI IDRIS AS ADALAH SIDHARTA GAUTAMA ATAU BUDDHA GAUTAMA

Portal Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pengetahuan Adalah Milik Semua Makhluk.

NABI IDRIS AS ADALAH SIDHARTA GAUTAMA ATAU BUDDHA GAUTAMA

“Dan (KAMI telah mengutus) para Utusan, yang sebelumnya telah KAMI kisahkan kepada engkau, dan para Utusan yang tak KAMI kisahkan kepada engkau”. (Q.S. 4:164). Zaman kehidupan Sidharta Budha Gautama Budha berada pada kisaran abad ke-5 SM. Insan pada zaman itu hidup dalam kebodohan dan kejahilan luar biasa. Jadi sangat kecil kemungkinan bahwa ajaran dari Sang Budha adalah seratus persen buatan insan. Kemungkinan yang lebih besar dan mendekati Kebenaran adalah bahwa ajaran dari Sang Budha datang sebagai wahyu dari ALLAH kepada Budha untuk diwartakan kepada kaumNya.Diutusnya Sang Budha bukannya tanpa suatu alasan yang jelas.Semata hanyalah untuk memberikan atau menegakkan Hujjah Kebenaran kepada insan. “Para Utusan (Nabi & Rasul), mereka mengemban kabar baik dan memberi peringatan, agar insan tak mempunyai alasan untuk menentang ALLAH setelah (datangnya) para Utusan. ” (Q.S. 4:165). Idris atau Nabi Idris a.s. (Arab: إدريس ) adalah salah seorang rasul . Berdasarkan pendapat sebagian besar orang Idris dikenal dengan nama Henokh,namun hal ini tidak memiliki argumentasi yang cukup menjadikan pendapat ini menjadi benar begitu saja.Terdapat empat ayat yang berhubungan dengan Idris dalam Al-Qur’an, dimana ayat-ayat tersebut saling terhubung didalam Surah Maryam (Maryam) dan Surah Al-Anbiya’ (Nabi-nabi).“ Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan KAMI telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. (Qur’an 19:56-57) ” “ Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. KAMI telah memasukkan mereka kedalam rahmat KAMI. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh.” (Qur’an 21:85-86)Dalam sebuah hadits, Idris disebutkan sebagai salah seorang dari nabi-nabi pertama yang berbicara dengan Muhammad dalam salah satu surga selama Mi’raj. Diriwayatkan dari Abbas bin Malik: … Gerbang telah terbuka, dan ketika aku pergi ke surga keempat, disana aku melihat Idris. Jibril berkata (kepadaku). ‘Ini adalah Idris; berilah dia salammu.’ Maka aku mengucapkan salam kepadanya dan ia mengucapkan salam kepadaku dan berkata. ‘Selamat datang, O saudaraku yang alim dan nabi yang saleh.; … Sahih Bukhari 5:58:227 Seorang bhikkhu harus memakai jubah yang dibuat sesuai dengan ketentuan, ini adalah peraturan kebhikkhuan yang harus ditaati oleh semua bhikkhu.Hal ini menjadi dasar bahwa Sidharta telah merancang sendiri busana kebhikuan yang akan digunakanNya nanti di pertapaanNya. Kisah Anuruddha Thera DHAMMAPADA VII, 4 menjelaskan bahwa menjahit memang merupakan salah satu keahlian para bhiku. Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau, dan sekarang berada di alam dewa melihatnya. Mengetahui bahwa sang thera seang mencari beberapa kain bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan membawanya ke vihara. Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior Beliau. Mereka menolong menjahit jubah.Dalam Mustadrak al Hakim Idris dipercayai sebagai seorang penjahit berdasarkan hadits sebagai berikut: Ibnu Abbas berkata, “Daud adalah seorang pembuat perisai, Adam seorang petani, Nuh seorang tukang kayu, Idris seorang penjahit dan Musa adalah penggembala.” (dari al-Hakim) Menurut buku berjudul The Prophet of God Enoch: NabiyuLLAH Idris, Idris adalah sebutan atau nama Arab bagi Enoch, nenek moyang Nabi Nuh a.s. Beliau dinyatakan di dalam Al-Quran sebagai manusia pilihan Allah sehingga Dia mengangkatnya ke langit. Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa Nabi Idris wafat saat beliau sedang berada di langit keempat ditemani oleh seorang malaikat. Beliau hidup sampai usia 82 tahun. Sedangkan Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat insan dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia sekitar 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana.Dalam berbagai cerita Nabi Idris a.s dianugerahi kepandaian dalam berbagai disiplin ilmu, kemahiran, serta kemampuan untuk menciptakan alat-alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, seperti pengenalan tulisan, matematika, astronomi, dan lain sebagainya. Menurut suatu kisah, terdapat suatu masa di mana kebanyakan manusia akan melupakan Allah sehingga Allah menghukum manusia dengan bentuk kemarau yang berkepanjangan. Nabi Idris pun turun tangan dan memohon kepada Allah untuk mengakhiri hukuman tersebut. Allah mengabulkan permohonan itu dan berakhirlah musim kemarau tersebut dengan ditandai turunnya hujan. Bila Sidharta Budha Gautama adalah Nabi Idris maka sangat tepatlah bila seorang Pangeran memiliki beberapa ketrampilan sekaligus. Cerita tentang kelahiranNya sekilas sebagai berikut,saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai. Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu: * Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala) * Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma) * Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika) Kata as sidr = sidrah=sidhar=idris merujuk kepada arti atau makna bunga teratai. Ini merupakan hal yang patut dipertimbangkan lebih lanjut. Ditambah lagi dengan Sang Budha yang menemui kesempurnaan menuju parinirwana. Sama persis dengan apa yang dialami oleh nabi Idris a.s yakni mencapai jannanya ALLAH tanpa melalui kematian terlebih dahulu. Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa, jadi pas padea umur 40 tahun Beliau diangkat menjadi Nabi sebagaimana Nabi – Nabi sebagian besar diangkat ALLAH pada usia tersebut. Terdapat beberapa alasan mengapa Sang Budha pantas ‘dicurigai’ sebagai NabiyuLLAH Idris a.s. 1. Sangat sedikit sekali kisah-kisah Budha yang sanad-nya dapat dipertanggungjawabkan. Semua sanad tentang Budha tak ada yang sampai langsung kepada Budha. Jadi pendakwaan bahwa mengaku sebagai dewa atau yang wajib disembah sangat diragukan. Beberapa ahli seperti Vedhayarti, E.W. Wallis Budge, dan Joseph Edkins, pernah membahas masalah ini secara khusus dalam buku-buku mereka. 2. Budha berdakwah di tengah suatu kaum yang jahil, seperti halnya Muhammad SAW berdakwah di tengah kaum Quraisy. Masyarakat Asia Selatan di masa Budha hidup adalah penyembah banyak ilah (dewa) yang salah dalam memaknai varna lalu kemudian mereka membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas berdasarkan keturunan (kasta) sesuatu yang menyelisihi faham varna yang sebenmarnya. Ajaran Budha meluruskan semua itu. Inti ajaran yang berpusat kepada cinta, dharma, dan bakti merupakan sebuah perbaikan fisik dan psikis bagi masyarakat Asia Selatan yang sakit ketika itu. 3. Budha ‘mengalami pencerahan’ (Maitreya) saat menyepi di bawah pohon Kalpataru, sama halnya dengan Muhammad SAW. yang memperoleh ‘pencerahan’ saat menyepi di sebuah gua di Bukit Hira. Asumsi yang paling memungkinkan adalah Malaikat Jibril as. telah mendatangi Budha di lembah Bodhisatva untuk memberikan wahyu tentang hakekat kehidupan yang sesungguhnya. 4. Budha adalah seorang pangeran yang meninggalkan segala kemewahan istana untuk mengenakan pakaian kasar dan berkelana demi mencari hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Bandingkan ini dengan Muhammad yang rela kehilangan posisi kebangsawanan Quraisy demi menyiarkan dakwah Islam. Sejarah mengisahkan bahwa para Nabi biasa diuji dengan terusir dari tengah-tengah keluarga atau kaumnya. Nabi Yusuf as terusir ke Mesir. Nabi Musa as terusir dari Mesir. Nabi Ayyub as terusir dari tengah-tengah keluarganya setelah menderita penyakit kulit. Nabi Daud as diusir oleh anaknya hingga mengungsi ke bukit Zion. Nabi Ibrahim as. pun terusir dari Babilonia. 5. Ada Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang nabi yang dilahirkan sebagai anak raja. Allah mewahyukan kepadanya: “Aku akan mematikan engkau segera, karena itu serahkanlah kerajaan itu kepada orang lain sebagai pewarismu, dia harus menyembah ALLAH pada waktu malam dan menjalani puasa sepanjang hari. Dia tidak boleh marah selagi mengadili orang”. Saya menganggap ini benar-benar sama dengan jalan hidup Budha. Bisa jadi Idris a.s yang banyak disebut dalam Al Quran adalah Sidharta Gautama. Tambahan, Al Quran terbiasa menyebut nama para nabi tidak dengan nama aslinya. Misalnya Isa as. Secara linguistik, tidak mungkin bernama ‘Isa’ karena ‘Isa’ adalah nama Arab. Isa as. menceramahi kaumnya dengan bahasa Aramaik, sehingga kemungkinan nama aslinya adalah ‘Essho’ atau Esau (bahasa Ibrani). “Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar” (Q.S. 21:85). 6. ALLAAH menyebut seorang nabi bernama Idris yang jelas bukan dari ras Israil atau Arab. Kisah Dzulkifli sebagaimana diberikan oleh Ibnu Abbas tidak ada padanannya dalam tradisi-tradisi Yahudi dan Kristiani dan kitab-kitab suci mereka. 7. Budha membawa kabar nubuat kedatangan Muhammad SAW. seperti halnya para Nabi lain sebelum Muhammad. Budha memang jelas tidak menyebut nama ’Muhammad’, seperti halnya Isa as. menyebut Muhammad dengan ‘Paraclete’ dan Musa as. menyebut Muhammad sebagai ‘seorang ksatria dari Pegunungan Sela Paran (Mekkah)’. ia menyebut Muhammad dengan nama ‘Maitreya’. Maitreya berarti cahaya. Seperti kita ketahui, Muhammad SAW dilambangkan sebagai cahaya semesta. Jadi Muhammad SAW adalah Maitreya yang dinantikan dalam ajaran Budha. “Maitreya akan menjadi cahaya yang terakhir dan sempurna” (“Saddharam Pundrik” bab 94). “Maitreya akan menjadi nabi yang menghapus beberapa syariat dan doktrin dari agama kuno mengingat keadaan sekitarnya” (“Sacred Books of the East”, jilid 49). “Ibunda Maitreya kelak seorang bangsawan dan rupawan. Dia adalah puteranya yang pertama” (Maha Vastu I:197, Lalit Vistar 25:5, 23:10). Buddha itu sendiri bukan agama yang berasal dari Sidharta Gautama. Sebelumnya terdapat jutaan Buddha, dan dimasa depan juga akan muncul jutaan Buddha. (Buddha Sakyamuni/Gautama, Buddha Maitreya, Buddha Amida, Buddha Taho dll). Buddha itu artinya orang yang telah mencapai penerangan/kesadaran dan telah mencapai Nibbana, artinya orang telah bebas dari tua, sakit, lahir dan mati. Jadi Buddha bukan ALLAH, dan juga bukan insan. Buddha itu kondisi. Enlightened (Penerangan Sempurna) Konsep ajaran / Dhamma / Dharma itu bukan buatan Sidharta Gautama/Buddha tapi memang itu merupakan Hukum Universal. Sebelum Buddha lahir, Dhamma itu sudah ada, cuma mungkin perbedaan istilah saja. Seperti hukum sebab akibat saat ini. Faham Maha-Karmavibhangga yang melukiskan tentang hukum sebab-akibat. Kamadhatu adalah sama dengan ‘alam-bawah’ tempat insan biasa, melambangkan kehidupan yang masih diliputi oleh hawa nafsu angkara murka yang menguasai diri manusia, dalam arti belum memperoleh petunjuk keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita, Vimala, Prabhakari. Tingkat Rupadhatu : Di Candi Borobudur pada tingkat bangunan mulai dari tingkat 2 sampai dengan tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat antara dari alam insan ke alam Buddha. Di candi Borobudur, pada tingkat ini berisi relief-relief yang menggambarkan cerita-cerita dari naskah Sansekerta : Gandavyuha, Lalita-Vistara, Jatakamala, dan Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat di mana insan mulai sadar diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu durjana untuk menumpas kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama. Tingkat Arupadhatu : merupakan alam non-materi murni, melambangkan insan yang telah sampai pada makna hakiki itu, dan telah mawas diri menguasai alam Spiritual, dalam Dasabhumi pada tingkat Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi Borobudur mulai dari tingkat 7, kita akan merasakan suatu suasana yang tenang dan tenteram, seakan-akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva berada di tingkat Acala.Dari gambaran ini sangat menyerupai faham keperingkatan Islam,Iman & Ihsan.Disinilah terdapat kemampuan melihar Jannnah dan Naar sebagaimana Nabi Idris pula melihat keduanya Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.Bait ini sangat menegaskan perintah untuk berperilaku sebagai umatan wasathan,yakni berada pada titik tengah dalam kehidupan ini. Dan demikian (pula) KAMI telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan (pertengahan) (Q.S. Al-Baqarah: 143) Ajaran Budha sangat senada dengan Dinul Islam,demikian akan dijelaskan mengenai persamaan antara keduanya. Laghu-Kalachakra-tantra-raja II.164cd menulis: “Diciptakan oleh PENCIPTA adalah semua yang muncul, bergerak dan tidak bergerak. Dengan menyenangkannya (RAHMAN), sebagai sebab pembebasan bagi para Tayi, maka diperolehlah surga. Ini adalah ajaran untuk Insan.” RAHMAN (الرحمن) adalah salah satu sebutan bagi ALLAH dalam agama Islam. Yang berarti “DIA YANG MAHA WELAS ASIH”. Pundarika, Raja Kalki kedua, dalam karyanya Vimalaprabha-nama-laghu-Kalachakra-tantra-raja-tika juga berkata: “Sekarang, membahas mengenai pernyataan dari mleccha Tayi, Rahman sang PENCIPTA memunculkan segala fenomena yang bekerja, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Sebab dari pembebasan bagi bangsa Tayi, yang dinamakan mleccha berjubah putih, adalah menyenangkan RAHMAN dan tentu saja hal ini membawa insan untuk terlahir di alam kelahiran yang lebih tinggi (Jannah). [Jika] tidak menyenangkannya, maka datanglah (kelahiran kembali di) neraka. Inilah ajaran-ajaran RAHMAN, [berdasarkan] pernyataan dari para Tayi.” Tayi dinyatakan berjubah putih, berdasarkan umat Muslim yang naik haji ke Mekah memakai jubah putih. Menyenangkan RAHMAN berarti menaati hukum Syariah. Filosofi “bergerak maupun tidak bergerak” adalah interpretasi alam semesta oleh al-Sijistani. Pundarika dalam Shriparamartha-seva, menjelaskan: “Menurut yang lain, penyebab dari kelahiran di alam yang lebih tinggi (surga) adalah dengan memotong kulit penis milik seseorang itu sendiri dan makan pada akhir hari dan awal dari malam. Inilah yang bangsa Tayi pasti lakukan. Mereka tidak menikmati daging ternak yang meninggal (kematian alami) oleh karena karma mereka. Mereka lebih [memilih] untuk makan daging ternak yang telah disembelih. Selain [dengan cara] itu, maka tidak ada jalan untuk mencapai alam kelahiran yang lebih tinggi (Jannagh) bagi insan.” Memotong kulit penis adalah sunat dan makan pada akhir hari dan awal malam adalah puasa Ramadhan. Memakan daging yang telah disembelih mengingatkan kita pada kurban pada hari Idul Adha. Pundarika juga berkata pada para Hindu, “Kalian akan menganggap bahwa ajaran Tayi adalah ajaran yang valid, karena perkataan dalam kitab-kitab Vedamu, ‘Jadikanlah ternak untuk pengorbanan.’” Agama Buddha melarang adanya pengorbanan binatang / ternak, karena termasuk dalam pembunuhan makhluk hidup. Dalam Vimalaprabha . Pundarika berkata: “Dengan parang, mereka menggorok leher ternak dengan mantra dari Tuhan mleccha, Bishimilla, dan kemudian memakan daging ternak yang telah disembelih dengan mantra Tuhan mereka. Mereka tidak makan daging ternak yang telah meninggal (secara alami) menurut karma mereka.” Basmalah (BismiLLAH) berarti “dalam nama ALLAH”. Lebih lanjut Shri-Kalachakra-tantrottaratantra-hrdaya menyatakan: “Dengan mengikuti ajaran-ajaran di mana kaum perempuan memakai jilbab… pasukan berkuda Tayi dalam jumlah yang besar menghancurkan patung-patung dewa yang mereka temukan selama berperang, tanpa pengecualian. Mereka memiliki satu kasta, tidak mencuri dan berkata dengan benar [jujur]. Mereka menjaga kebersihan, menolak istri orang lain dan mengikuti praktek pertapaan tertentu, dan tetap setia pada istri-istri mereka sendiri. Pertama, setelah membersihkan diri mereka sendiri dan pada waktu yang diinginkan oleh masing-masing orang selama malam petang dan selama siang hari, senja, tengah hari dan ketika matahari terbit di atas pegunungan, para non-Buddhis (tirthika) Tayi melakukan penghormatan sebanyak 5 kali (setiap hari), bersujud di atas tanah menghadap ke tanah suci mereka dan mengambil satu perlindungan di dalam ‘Tuhan dengan ciri Tamas’ di alam surga di atas bumi.” Teks Kalachakra juga menjelaskan dengan jelas keyakinan umat Muslim: 1. Penghormatan 5 kali adalah sembahyang 5 kali dalam agama Islam 2. Tidak membuat patung-patung karena dianggap berhala 3. Menghormati kesamaan derajat manusia dalam Islam 4. Menjaga etika yang ketat 5. Satu perlindungan di dalam ‘Tuhan dengan ciri Tamas’ adalah syahadat bahwa ALLAH adalah satu-satunya ILAH ‘Tuhan dengan ciri Tamas’ (ALLAH) berada di alam (devaloka) di atas bumi. Perkataan ini jelas menandakan bahwa dalam pandangan Buddhis, ALLAH dalam agama MAHADEWA yang berada di alam MAHA TINGGI Kepercayaan setelah kematian bagi umat Muslim secara jelas dibabarkan dalam Laghu-Kalachakra-tantra-raja II.174 : “Melalui kehidupan abadi setelah kematian, seseorang mengalami keadaan sesuai dengan buah tindakan karmanya sebelumnya di dunia. Bila memang demikian, maka akumulasi karma manusia dari satu kelahiran ke kelahiran lainnya tidak akan terjadi. Tidak akan ada jalan keluar dari samsara dan tidak ada jalan menuju pembebasan meskipun dalam jangka waktu keberadaan yang tak terbatas. Pikiran tersebut, sesungguhnya, muncul di antara para Tayi, meskipun ditolak oleh beberapa kelompok.” Pundarika dalam Vimalaprabha menerangkan kalimat di atas: “Pernyataan dari Tayi mleccha adalah bahwa manusia yang meninggal mengalami kebahagiaan atau penderitaan di alam surgawi atau neraka dengan tubuh manusia mereka, melalui keputusan RAHMAN.” Kalimat di atas menerangkan tentang keyakinan Islam akan Hari Penghakiman. Berdasarkan tindakan mereka pada saat hidup. Mereka dilahirkan di surga untuk mendapatkan kebahagiaan abadi atau di neraka untuk mendapatkan penderitaan abadi. Mereka dilahirkan di kedua alam tersebut dengan masih mempunyai tubuh manusia, yang akan dibangkitkan pada Hari Penghakiman, demikian ajaran mleccha Tayi. Pada abad ke-19 M, komentator dari Tibet bernama Mipam dalam karya tulisnya (dPal dus-kyi ‘khor-lo’i rgyud-kyi tshig don rab-tu gsal-byed rdo-rje nyi-ma’i snang-ba Ye-shes le’u’i ‘grel-chen) menjelaskan: “Para mleccha memiliki dua poin ajaran yang mereka pegang. Mereka memegang bahwa fenomena eksternal memiliki sifat atom-atom yang mengumpul dan mereka memegang ajaran tentang keberadaan dari diri seseorang yang secara sementara terlahir dan memiliki sebuah aspek yang mengambil kelahiran di samsara. Tujuan mereka adalah untuk mencapai buah kebahagiaan para deva. Selain ini, mereka tidak menyatakan tipe lain dari nirvana.” ‘Mereka memegang ajaran tentang keberadaan dari diri seseorang’ memiliki arti bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang memegang konsep adanya Atta (Atman) atau Diri. Dan tujuan mereka adalah mencapai alam devaloka . Mipam melanjutkan, “Mengetahui watak dan pikiran mereka (Tayi), Sang Buddha mengajarkan sutra-sutra yang mereka (Tayi) dapat terima. Sebagai contoh, di dalam Sutra Membawa Tanggung Jawab (Khur ‘khu-ba’i mdo), ada Sang Buddha berkata bahwa manusia membawa tanggung jawab (atas tindakan mereka), tetapi tanpa membicarakan apakah jiwa seseorang permanen atau tidak permanen. Poin-poin ini benar di hadapan pernyataan Tayi. Maksud dari Sang Buddha adalah bahwa manusia memang eksis sebagai diri yang berkelanjutan membawa responsibilitas karma, tetapi hanya sebatas pada rangkaian [kesadaran], yang pada sifat sejatinya, bukanlah permanen maupun tidak permanen.” Ajaran agama Buddha tidak meyakini suatu Atta (Atman) oleh karena itu yang berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya hanyalah kesadaran, bukan jiwa. Kesadaran ini selalu berubah-ubah, oleh karena itu disebut tidak permanen (tidak kekal). Namun kesadaran juga bukan tidak permanen, dalam artian ketika kesadaran tersebut mencapai Nirvana atau Dharmakaya kekal, yang permanen. Sedangkan menurut Al-Sijistani, semua jiwa individu Insan itu sama dan merupakan bagian dari “jiwa” universal. Ketika jiwa individual meninggalkan tubuh insan, maka eksistensi tubuh yang sementara akan berakhir. Jiwa individu tersebut akan bergabung melebur dalam jiwa universal dan tidak lagi terlahir dalam wujud tubuh sampai akhirnya Hari Penghakiman tiba. Namun jiwa-jiwa tersebut tetap mempertahankan identitasnya. Pada saat kebangkitan dan penghakiman, jiwa individu akan mencapai Surga Abadi atau Neraka Kekal. Shambala –yin oron-u teuke orosiba, sebuah karya Mongolia yang muncul pada tahun 1828 M, meniru buku panduan Shambala-lai lam yig yang ditulis Lobsang Palden Yeshe (1738-1780 M), menulis: “Sejak waktu Muhammad sampai sekarang, pandangan salah umat Muslim perlahan-lahan menyebar. Dari penghuni Jambudvipa ini, mayoritas sekarang adalah Muslim.” “Menurut para Muslim, mereka berkata bahwa engkau tidak dapat memakan daging binatang yang mati secara alami. Untuk membunuh binatang menurut pandangan salah mereka, seseorang dapat diselamatkan apabila, ketika memotong leher binatang dengan menggunakan pisau, engkau melafalkan dharani dari ALLAH, BismiLLAH.” “Terhadap para penganut agama lainnya di dunia, kalau kita mempunyai kemampuan dan kondisi seharusnya juga membantu mereka, membantu mereka untuk naik ke surga, membantu mereka untuk naik ke surga juga merupakan kebajikan, kita tidak perlu mempermasalahkan mereka naik ke Surga ke berapa. Kita juga membaca dalam Sutra, bahwa di berbagai Surga itu juga terdapat banyak Buddha/Bodhisattva yang ber Dharmadesana memutar roda Dharma, jadi jangan berpikir picik bahwa hanya dialam manusia ada Buddha Dharma, di 28 Langit/Surga juga terdapat Buddha Dharma.” (Ven. Chin Kung, Dharma Center Ci She Lim. Singapore) Ven. Sheng Yen, Patriark Chan, menghubungkan ALLAH Islam dengan Raja Dewa Surga Tavatimsa yaitu Sakra Devanam Indra: “Dari perspektif kosmologi Buddhis, Tuhan di agama Tao dan Islam ekuivalen dengan Raja Dewa Surga Trayastrimsa (Tavatimsa), Surga 33 Dewa.” Berikut adalah tulisan dari Ven. Chin Kung, Patriark dari sekte Sukhavati tentang ALLAH dalam agama Islam: “Mereka (para tokoh pemuka dari Agama Islam) kembali bertanya : Apa hubungan antara Buddha/Bodhisattva kalian dengan ALLAH ? Apakah kalian orang Buddha menghormati ALLAH ? Chin Kung menjawab : “Kami menghormati ALLAH”, lalu menunjukan sebuah perumpamaan : di dunia terdapat agama-agama, dimana mereka cuma mengakui satu-satunya ALLAH (Chen Shen), juga terdapat agama-agama menghormati banyak God (Shen/Diterjemahkan sebagai Dewa), apakah dengan demikian terdapat konflik ? Tidak ada konflik. Buddha mengajarkan, semua Kelompok Dewa(atau lebih tepat Malaikat) itu ibarat Pimpinan setiap lapis masyarakat, dimana satu-satunya ALLAH disuatu letak daerah atau negara, tidak lain adalah Presiden dari Negara itu. Konsept Tuhan yang majemuk disamping Presiden, juga terdapat menteri, gubernur, bupati dan seterusnya. Buddha/Bodhisattva adalah pekerja sosial Pendidikan masyarakat yang bekerja pada masyarakat multikultural, Buddha/Bodhisattva bukan Pimpinan masyarakat, bukan Presiden, bukan menteri atau bupati, dengan demikian mereka bukan Dewa. Tetapi kami orang Buddhist sangat menghormati SANG MAHA TUNGGAL dan Para Dewa, kami bekerja mengabdi padaNYA, disamping itu kami menerima bimbingan Buddha. Dengan demikian para Buddha/Bodhisattva adalah Pekerja Pendidikan masyarakat, hanya melalui Pendidikan maka masyarakat akan menjadi damai dan makmur, membantu para Dewa , membantu pimpinan lapisan masyarakat adalah pekerjaan mulia dan bernilai tinggi. Hanya insan yang penuh welas asih dan bijak baru bersedia bekerja secara demikian.

3 komentar: