Senin, 27 Juli 2015

FATIMAH as, PEREMPUAN DAN ISLAM NUSANTARA

Fatimah as, Perempuan dan Islam Nusantara

27/7/2015

 

Ustadz Miftah F. Rakhmat
Dewan Syura PP IJABI

Sungguh, memuliakan perempuan adalah memuliakan kemanusiaan. Islam datang dengan penghormatan itu. Justru ketika perempuan dilecehkan, dihinakan, kita akan dijauhkan dari kecintaan pada keluarga Nabi Saw yang disucikan. (majulah-IJABI)

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad

Bismillah wa billah wa ‘ala millati Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Kalimat pembuka di atas biasa dibaca untuk mengawali ritual ibadah, terutama haji. Dengan nama Allah, (bersama) demi Allah, dan pada jalan (umat) Rasulillah Saw. Memulai satu perkara, dengan menyebut nama Dia, berharap keridhoanNya dan perkenan Sang KekasihNya.

Itulah kalimat yang terlintas manakala saya membuka laptop saya dan mulai menulis. Sudah terlalu lama sejak saya tuangkan pikiran ke dalam kata-kata. Begitu banyak hal terjadi, saya kuatir ia mengendap di dalam diri, dan muncul pada saat yang seharusnya bersembunyi.

Seorang kerabat bertanya pada saya tentang fenomena kesurupan. Massal, bahkan ada yang tiba-tiba bercakap bahasa asing dengan baik. Saya jawab, saya tidak tahu tentang itu. Yang saya tahu, gejala kesurupan massal belum saya temukan di negeri-negeri Islam lainnya. Mungkin di Melayu yang serumpun ada, atau di tempat-tempat seperti Afrika dan negara-negara Pasifik, di tempat ketika unsur mistisisme lokal mempengaruhi budaya bangsa.

Lalu bagaimana menjelaskan orang yang tiba-tiba bisa berkata bahasa Asing begitu rupa? Jawab saya, karena saya percaya memori manusia merekam segalanya. Ia tersimpan, diendapkan begitu rupa, dan muncul pada saat-saat yang tak terduga. Semua yang kita dengar, lihat, dan baca, terjaga dengan baik dalam super memori terbesar otak kita. Tak ada yang hilang begitu saja. Katakanlah, kita pernah menonton sebuah siaran berbahasa asing, entah bagaimana, seluruh kata-kata yang ada di dalamnya sebetulnya disimpan—somewhere—dalam ingatan jangka panjang kita.

Karena itu, pilihlah kata-kata yang baik. Baik ketika mengucapkan, maupun ketika mendengar. Baik ketika menuliskan (status, postingan dan sebagainya) maupun ketika membacanya.

Saya, misalnya, tidak bisa melepaskan diri dari plesetan ISIS yang disampaikan anak saya. Mungkin ia baca di lalu lintas tak berbatas dunia maya. Katanya, ISIS itu singkatan dari Israel Secret Intelligence Service. Sebuah lembaga yang dibackup dan membackup pemerintahan Israel. Tak ada misalnya, walaupun dekat jaraknya, aksi pembelaan ISIS terhadap Palestina. Konon, beredar foto-foto kerjasama Israel dan anggota-anggota ISIS itu.

Dalam Bahasa Arab, ISIS disebut ‘Da’isy’ dengan dal, alif, ‘ayn dan syin. Kepala Negara Iran yang mayoritas penduduknya Muslim Syiah itu menyebut kepanjangan Da’isy dengan “Dal” Dollar, “Alif” Amerika, “Ayn” ‘Alaihi, “Syin” Syiah. Sederhananya: Dolar Amerika (yang digunakan) untuk memerangi Syiah. Mungkin karena aksi-aksi mereka memakan korban banyak Muslim Syiah. Di negeri ini, ajaibnya, disebarkan isu kalau justru Syiah yang mendanai ISIS. Min ‘ujbil ‘ujab. Di antara keajaiban dunia yang tujuh itu.

Yang menarik, isu seputar Islam Nusantara dan Islamic State yang juga muncul mewarnai rimba raya kata-kata. Ke mana orang harus merujuk akan Islam yang sesungguhnya? Para pengusung Islamic State ditakuti karena tindak kekerasannya. Tapi, para pendukung Islam Nusantara juga dicemoohkan karena tidak jelas rujukannya. Lalu, adakah Islam yang tanpa label? Islam Muhammadiyyah, Islam Nahdatul ‘Ulama? (Wajah) Islam Timur Tengah, atau Islam Asia Tenggara?

Di Televisi, seorang ustadzah kondang mengungkapkan protesnya tentang Islam Nusantara. Katanya, “Tidak ada itu istilah Islam Nusantara. Coret!” ujarnya dengan lantang.

Ustadzah kondang itu, Mamah Dedeh namanya. Ia ikon dakwah di Nusantara ini dalam sepuluh tahun terakhir. Ia menjadi lambang pendakwah perempuan. Ia simbol. Setelahnya, ada juga generasi kedua dari pendakwah perempuan itu. Semua punya ciri khas masing-masing. Bahkan ada yang gemulai, atau pun mengisinya dengan gerakan.

Kehadiran Mamah Dedeh adalah ciri khas Islam yang di Indonesia itu. Mau disebut Islam Indonesia atau Islam Nusantara, hanya di negeri ini ada pendakwah perempuan seperti beliau. Tidak ada lagi di satu negeri Islam mana pun di dunia. Saya ulangi: di dunia! Mamah Dedeh menjadi ikon Islam Nusantara. Mengapa? Karena di negeri-negeri Islam lainnya, terutama di Timur Tengah, perempuan hampir kesulitan menempati posisi yang sama dengan pria. Di Saudi misalnya, tak boleh berkendara, tak boleh di tempat yang tidak ada muhrimnya, tak bebas bergerak ke sini dan ke sana. Silakan cari, adakah Ustadzah seperti Mamah Dedeh di belahan bumi Islam yang lainnya? Mamah Dedeh adalah Islam Nusantara.

Itu juga bagian dari kebanggaan kita di negeri ini. Indonesia kita tercinta. Hanya di Indonesia, usai akad nikah, pengantin membacakan sighat ta’liq. Menjadikan pernikahan sesuatu yang bersyarat. Dalam bahasa Persia, istilah mut’ah pada pernikahan disebut dengan sighat. Karena ada ‘syarat’ yang ditetapkan. Mengapa hanya di Indonesia? Demikian ijtihad para ulama Nusantara, untuk melindungi hak-hak kaum wanita. Hanya muslimah Indonesia juga yang punya pakaian khas shalat yang disebut dengan ‘mukena’.

Saya berdiskusi tentang itu dengan teman-teman di sebuah perusahaan. Bagi saya, Islam Nusantara hanya wajah saja, sepanjang ia tidak bertentangan dengan ajaran Baginda Nabi Saw. Mudik, tidak pernah dicontohkan. Tapi ia adalah silaturahmi. Mudik adalah Islam Indonesia. Toh, teman-teman yang tidak sependapat dengan Islam Indonesia pun pasti tidak ada yang keberatan dengan yang satu ini: THR, tunjangan (setiap) hari raya. Ini tidak ada dalilnya. Tidak ada hadisnya. Tidak pula ada yang semisalnya di negeri Islam lainnya. Dan toh, tak ada yang protes untuk urusan yang satu itu?

Keprihatinan pada Islam Nusantara mengemuka justru pada saat yang sama ketika Pak Menteri Pendidikan menggalakkan gerakan Penumbuhan Budi Pekerti. Sepertinya beliau belajar dari peristiwa doa bersama tahun lalu, ketika terjadi silang pendapat dengan Ust. Yusuf Mansur, hingga yang kedua tabayun pada yang pertama. Apa mau dikata, sudah terlanjur twit Ust. Yusuf diritwit oleh ratusan followernya. Hingga sang ustad meminta maaf. Pak Menteri belajar dengan baik. Kali ini, ia tidak membawa label agama. Nasionalisme dan budi pekerti yang diusungnya. Great move, Pak Menteri. Kami semua mendukungmu.

Hal-hal bernada Indonesia itulah yang membuat negeri kita istimewa. Upacara bendera, ‘kisruh’ penerimaan murid baru, buku teks dan senarai hafalan… komikus Benny Rachmadi menyederhanakannya dengan baik dalam bukunya ‘Indonesia Banget’. A recommended satire to look up.

Posisi perempuan Indonesia pun istimewa. Seorang di antara mereka bahkan menjadi presiden negeri ini dan memimpin partai politik terlama dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Sebuah prestasi tersendiri. Kiprah menteri Susi menambah deretan partisipasi perempuan di ranah publik. Semua khas negeri ini.

Sayangnya, di antara yang khas Indonesia pula adalah naik turunnya hubungan umat beragama. Betapa mudah kita dipecah oleh isu atas nama agama. Kerusuhan Tolikara pada hari raya menambah pekerjaan rumah para pemimpin dan pemuka agama. Kuncinya sederhana: tahan kata, dan jangan dulu berburuk sangka.

Sebuah situs isaislamdankaumwanita.com dengan terang-terangan menceritakan kritik terhadap posisi kaum wanita dalam Islam. Kita harus meminimalisir hal-hal seperti itu. Penafsiran Islami diliputi oleh senarai ruang lingkup yang semestinya tidak terpisahkan satu sama lain, dan tidak diambil kesimpulan begitu saja. Untuk toleransi dan persatuan, situs seperti itu perlu diambil tindakan tegas oleh pemerintah. Bila saudaraku umat nasrani membaca tulisan ini, silakan lihat, sampaikan salam saya kepada pengelola situs dan perkenankan saya mengingatkan mereka sebagai saudara sebangsa. Mari pelihara—kata Pak Anies Baswedan—tenun kebangsaan kita.

Memang, ada hal-hal yang jadi otokoreksi untuk umat Islam sendiri. Ada hadis-hadis yang perlu dikaji lebih dalam, bahkan dipertanyakan keabsahannya. Bukhari 3241 dan Muslim 2737 mengisahkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Al-Qur’an menyitir ulang ucapan Nabi Yusuf as pada para perempuan penggoda (bukan menunjukkan semua perempuan), “sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar” (QS. Yusuf [12]:28). Maka jangan bandingkan ia dengan ayat yang mengisahkan tipuan setan kecil, “sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah” (QS. Al-Nisa [4]:76) lalu kita menarik kesimpulan perempuan lebih menipu dari setan?

Sebuah sinetron Turki, Muhtesem Yuzyil menyedot perhatian setengah dunia Islam. Indonesia menyiarkannya dengan judul Abad Kejayaan. Meski banyak diprotes, serial itu laku keras. Ia menjadi tontonan dengan rating tertinggi di Timur Tengah. Gaya pakaian, rambut, hingga perhiasan menjadi trend. Episode terakhir ditonton oleh 300 juta orang. Banyak orang menduga ia terinspirasi novel The Sultan’s Harem dari Colin Falconer. Serial fiktif berdasarkan sejarah kehidupan Sulaiman al-Qanuni itu mengisahkan intrik seputar kekaisaran Ottoman. Film dengan cerdik menghindari penggunaan kata kekhalifahan. Karena ia—lagi-lagi—bernafaskan Islam dan akan mengundang kontroversi. Putra tertua Kaisar Sulaiman dieksekusi oleh ayahnya sendiri. Turki bergejolak. Ribuan orang ziarah pada makam pangeran itu usai televisi menayangkan kematiannya. Film itu bahkan menjadi isu politik.

Yang luput dari perhatian pemirsa adalah kenyataan bahwa semua konflik yang ada dalam serial itu disebabkan oleh perempuan. Hampir sulit mencari tokoh perempuan yang tidak punya andil dalam kekisruhan itu. Seolah mengaminkan ucapan Nabi Yusuf as. Perempuan adalah penipu paling ulung.

Begitulah kalau kita memaknai dan membingkainya dengan tergesa-gesa. Seperti situs isaislamdankaumwanita.com itu. Silakan teman-teman kunjungi situs itu, lihat dengan baik. Di tengah suasana toleransi yang terancam di negeri ini, pengelola situs itu harus menahan diri.

Padahal, Islam sangat memuliakan perempuan. Semua orang tahu hadis surga di bawah telapak kaki ibu. Semua tahu Islam menyelamatkan hidup bayi perempuan di saat yang lain menguburkannya. Nabi Islam Saw memuliakan putrinya, berdiri bila menyambutnya, menunduk dan mencium tangannya. Siti Hajar ibunda Nabi Ismail dimakamkan di samping rumah Tuhan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Baitullah. Menurut Ali Syari’ati, dari seluruh makhluk, Tuhan pilih seorang perempuan, berkulit hitam, budak belian. Ketiga kelompok yang termarginalkan dalam banyak sejarah kemanusiaan.

Saya bahkan merasa hadis-hadis kemuliaan perempuan sangat banyak, terlalu banyak. Annemarie Schimmel, penulis Jerman itu bahkan memberi judul bukunya, Meine Seele ist eine Frau, sebuah buku sufistik yang berkisah tentang kemuliaan sifat-sifat keperempuanan, keibuan dalam diri setiap manusia.

Dalam khazanah Islam, banyak pujian pada anak-anak puteri, bahwa memiliki mereka dan mendidik mereka dengan baik akan menjadi pelindung bagi orangtuanya dari api neraka. Mazhab Ahlul Bait ‘alaihimus salaam bahkan menempatkan Sayyidah Fathimah sa, putri Nabi Saw, begitu rupa hingga ada riwayat siapa saja yang mengetahui Sayyidah Fathimah sa dengan hak yang sebenarnya, ia telah beroleh kemuliaan malam qadar (Rujuk Tafsir al-Kufi atau ‘Uyun Akhbar al-Ridha as pada Bab Tafsir Surat Al-Qadr). Atau hadis dari Imam Ja’far Shadiq as, “Barangsiapa merasakan keharuan kecintaan pada kami Ahlul Bait Nabi Saw, hendaklah ia memperbanyak berdoa untuk ibunya, karena ia tidak mengkhianati ayahnya.” (Al-Bihar 27:147, Ma’ani al-Akhbar 51). Kecintaan kepada keluarga Nabi dipengaruhi benar oleh kesetiaan seorang istri pada suaminya. Kecintaan keluarga Nabi adalah penopang umat, karena itu peranan perempuan sungguh tak ternilai.

Bagi saya, cukup kemuliaan perempuan dalam Islam itu bahwa setiap yang mereka lakukan untuk keluarga mereka adalah ibadah. Bila mereka mengandung, setiap detiknya mereka berada dalam jihad di jalan Allah Ta’ala. Jihad mereka juga adalah berakhlak baik pada suami dan keluarga mereka, menampakkan wajah bahagia dan sukacita. Bila ada suami membuat mereka berduka, tak diterima shalat dan puasa suami itu, hingga istrinya ridho kepadanya. Begitu pula seorang istri jika membuat suaminya murka.

Alkisah seorang sahabat datang pada Baginda Nabi Saw. Ia ingin bertaubat dari dosa-dosanya yang besar. Nabi Saw mendengarkan curahan hati sahabatnya dengan penuh kasih. Kemudian Nabi Saw bersabda, “Apakah kau masih punya orangtua?” Ia mengiyakan, “Ayahku.” Baginda berkata lagi, “Berbuat baiklah kepadanya.” Nabi Saw menunjukkan cara taubat terbaik adalah dengan berbuat baik pada orangtua. Ketika sahabat yang bertanya itu sudah pergi, Nabi Saw memandang para sahabatnya yang lain dan bersabda “Law kaanat ummuhu, sekiranya saja masih ada ibunya.” Berkhidmat pada Ibu pintu taubat terbaik, tercepat, teristimewa.

Itulah mengapa dalam tradisi Islam Indonesia, Ibu punya peranan teramat khusus. Silaturahmi pasca hari raya meniscayakan tersungkur di kaki Ibunda, memeluknya, mencium lembut tangannya. Berbahagialah saudara yang masih punya orangtua, yang masih punya Ayah, yang masih punya Ibu. Berkhidmatlah pada keduanya. Terutama pada ibunda. Bila jarak memisahkan, hubungi senantiasa. Bila perlu, cuti dari rutinitas dan khususkan diri untuk berkhidmat pada Ibunda. Minta izin pada suami atau istri, selagi kesempatan masih ada. Jangan tunggu hingga mereka sakit baru kita datang menemani. Saya, punya dosa yang saya mohonkan ampunannya. Saya kurang berkhidmat pada orangtua dan mertua saya. Maka saya bermohon agar setiap amalan yang saya lakukan, diantarkan Allah Ta’ala juga pahalanya bagi mereka.

Saya teringat Allamah Muhsin Qaraati dalam sebuah ceramahnya yang menyentuh dan menyayat hati. Katanya, ia dianggap orang lain sebagai ulama. Ia sudah menulis banyak buku, berceramah ke sana kemari. Tapi ia takut, semua itu ada riyanya. Ia menulis buku takut terselip harapan ingin dipuji. Ia berbuat baik, ia takut di dalamnya ada keinginan diapresiasi. Ia merasa ia tak punya bekal apa pun untuk kembali. Ia takut semua amalnya dicampakkan karena di dalamnya ada ego pribadi.

Lalu, katanya…ia kisahkan gurunya, Mulla Kasyani. Gurunya itu berziarah ke pusara Imam Ridha as, ia minta ampun kepada Allah Ta’ala. Ia berwasilah pada Imam Ridha as. Di hadapan pusaranya, ia hanya berkata, “Bi Faathimah, bi Faathimah, bi Faathimah…” seraya menangis mencurahkan air mata. Muridnya melihatnya. Kemudian ia bertanya, “Guru, engkau tengah berziarah pada Imam Ridha as. Tetapi mengapa yang kau panggil Sayyidah Faathimah sa?”

Mulla Kasyani menjawab, “Para teladan kita ini sangat mencintai Ibu mereka. Sangat memuliakan dan menghormati ibu mereka. Maka aku memanggil nama ibunya. Aku yakin mereka tidak akan menolak siapa pun yang menunjukkan kecintaan pada ibunya…”

Sungguh, memuliakan perempuan adalah memuliakan kemanusiaan. Islam datang dengan penghormatan itu. Justru ketika perempuan dilecehkan, dihinakan, kita akan dijauhkan dari kecintaan pada keluarga Nabi Saw yang disucikan. Manusia tanpa cinta keluarga Nabi dapat dengan sangat mudah terpengaruh pada paham-paham radikal semisal ISIS dan sejenisnya. Bukankah di kalangan mereka, ada yang disebut Jihad Munakahah? Berjihad dengan berkhidmat menjadi istri bagi beberapa serdadu bersenjata itu?

Maka dunia harus melirik Indonesia. Betapa perempuan menjadi tokoh di negeri ini. Sejak Cut Nyak, Dewi Sartika, hingga perempuan-perempuan pekerja. Mereka yang hijrah ke negeri-negeri tetangga untuk menopang hidup keluarga. Dari negeri ini pula wajah Islam yang ramah, penuh toleransi mengemuka. Islam menjadi rahmah. Itu semua karena para perempuan hebat itu. Partisipasi perempuan muslimah adalah di antara yang khas dari Islam Indonesia itu.

Pak Menteri Anies, untuk gerakan menumbuhkan budi pekerti itu, mohon kiranya berikan bagian yang sangat besar pada peranan para perempuan. Pada para ibu. Jadikan keikutsertaan mereka dalam kegiatan sekolah sesuatu yang disyaratkan. Geliatkan gerakan membaca bersama ibu dan anak. Kegiatan bersama di antara mereka. Mohon bantu agar para ibu Indonesia lebih sering memegang anak-anak ketimbang gadget mereka. Bantu kami agar kalimat berikut tak menjadi ciri khas negeri ini.

Whatsapp last visited 2 minutes ago
Facebook last updated 5 minutes ago
Line last updated 7 minutes ago
Instagram last viewed 30 minutes ago
Twitter last updated 1 hour ago

Your child last time hugged?
The Quran last time read?

Kapan kali terakhir kita membelai anak kita? Memeluknya? Kapan kali terakhir kita membuka Al-Quran? Membacanya?

Ah Tuhan, saya hanya bisa berharap pada para teladan kekasih hati. Dan di hadapan mereka saya akan berkata: “Bi Faathimah…bi Faathimah…”

Bi Faathimah.

UsMif@TPW
miftahrakhmat.com
@miftahrakhmat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar