Jenis Obyek yang Terlibat dalam Konsep Pengetahuan
Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Penjelasan lebih jauh tentang pengertian ganda obyektivitas memerlukan penyuguhan analisis mengenai proposisi yang biasanya diajukan manakala orang mempunyai pengetahuan fenomenal yang biasa tentang sebuah obyek eksternal, yakni jenis pengetahuan yang nanti akan kita sebut pengetahuan dengan korespondensi.
Andaikan kita mempunyai pernyataan utama:
A. S mengetahui P
Selagi pernyataan utama ini berlaku, ia bisa dianalisis menjadi tiga sub pernyatan analitis, yang masing-masing menggambarkan sebuah komponen bagian dari hakikat mengetahui. Ketiga komponen tersebut adalah:
S adalah subyek yang mengetahui PP adalah obyek yang diketahui STindak mengetahui P telah dioperasikan oleh S.
Kenyataan bahwa pernyataan utama di atas secara logis menyiratkan ketiga pernyataan tersebut berarti bahwa sub pernyataan b seperti halnya a dan c adalah esensial terhadap pernyataan A sedemikian rupa sehingga jika orang mengajukan pernyataan A dan mengingkari sub pernyataan b dalam suatu konjungsi (kata sambung) logis, dia akan jatuh dalam sebuah kontradiksi yang nyata.
Konjungsi itu adalah:
A1. “S mengetahui P” dan “P bukan obyek yang diketahui oleh S”. Berdasarkan pengandaian ini, pernyataan selanjutnya adalah “P bukan obyek yang diketahui oleh S”, ekivalen dengan pernyataan:
“P tidak eksis di dalam pikiran S” yang pasti sepadan dengan “S tidak mengetahui P”, dan kita mencapai kesimpulan bahwa:
A2.”S mengetahui P” dan “S tidak mengetahui P”.
Karena pengingkaran sub pernyataan b membawa kepada kontradiksi ini, dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa yang menjadi masalah adalah “pengingkaran terhadap pengingkaran” ini, Jadi, pada dasarnya b adalah kebenaran yang wajib dari pernyataan utama. Dengan demikian P, karena mewakili obyek subyektif dalam definisi hubungan “mengetahui” adalah sebuah komponen logis dari hubungan ini, dan sebagaimana yang terkandung dalam hubungan ini, adalah obyek esensial dan bukan obyek aksidental.
Semua ini menunjuk kepada obyek imanen intrinsik yang disebut obyek subyektif dalam hubungan mengetahui. Sekalipun demikian, analisis di atas tidak berlaku jika yang dipertimbangkan adalah obyek obyektif. Ini karena apabila kita mengganti obyek subyektif dengan obyek obyektif dan menganggap:
B. S mengetahui P
sebagai pernyataan utama kita dimana yang kita maksudkan dengan P adalah suatu eksistensi yang mandiri seperti sebuah benda fisik, katakanlah sebuah meja, maka ia juga bisa dianalisis menjadi tiga pernyataan berikut:
S adalah subyek yang mengetahui P,P adalah obyek eksternal yang diketahui oleh S,Tindak mengetahui P diinisiatifkan oleh S.
Tetapi, berlawanan dengan kasus yang terdahulu, kita tidak dihadang kontradiksi logis jika menganggap pernyataan utama B benar, dan mengingkari sub pernyataan e dalam konjungsi berikut:
B1. “S mengetahui P”, dan “P bukan obyek eksternal yang sesungguhnya diketahui oleh S”.
Alasan bahwa B1 tidak konsisten adalah bahwa orang bisa mengetahui dengan cukup pasti bahwa S pada akhirnya mengetahui P, sementara dia tidak sepakat dengan S bahwa P adalah hal yang diketahuinya. Dinyatakan dengan ringkas, bukanlah pernyataan yang mengalahkan diri sendiri jika ditanyakan:
B2. “S mengetahui P”, tetapi “apakah P benar-benar hal yang diketahui oleh S?”
Sebaliknya, tampaknya adalah sebuah pernyataan terbuka jika ditanyakan betulkah ada sebuah obyek eksternal tertentu, meskipun kta tahu dengan pasti bahwa S percaya obyek seperti itu memang ada. Dengan demikian, kita memang memiliki dua pengertian obyektivitas –yakni obyek esensial atau obyek imanen dan obyek aksidental atau obyek transitif.
Untuk kedua pengertian ‘obyek’ yang secara mendasar berbeda ini, salah seorang tokoh terkemuka dalam filsafat Islam yakni Shadr Al-Din Syirazi, menggunakan istilah “esensial”, “hal-hal terpahami yang aktual” (ma’lum bi adz-dzat, actual intelligibles), dan “hal-hal terpahami yang aksidental” (ma’lum bi al-aradh, accidental intelligibles) dalam kasus pengetahuan transendental, dan juga sebutan-sebutan “esensial”, “hal-hal terinderai yang aktual” (actual sensibles), serta “hal-hal terinderai yang aksidental (accidental sensibles) dalam kasus pengetahuan empiris.
Dia menulis, “Bentuk benda-benda ada dua jenis, yang pertama adalah bentuk material yang eksistensinya diasosiasikan dengan materi dan posisi, dan bersifat spasitemporal. Berkenaan dengan kondisi materialnya yang ditempatkan di luar kuasa mental kita, jenis bentuk ini tidak mungkin bisa “terpahami secara aktual dan esensial”, karena itu tidak pula “terinderai secara aktual dan esensial” kecuali “secara aksidental”. Bentuk yang kedua adalah bentuk yang bebas dan terpisah dari materi, dari posisi dan dari ruang dan lokasi. Pemisahan itu adalah melalui abstraksi sepenuhnya, seperti suatu “hal-hal terpahami yang aktual”, atau melalui abstraksi yang tak lengkap seperti “hal-hal terkhayalkan yang aktual” dan “obyek-obyek terinderai yang aktual”.[1]
Dalam wacana ini jelas terlibat dua dikotomi yang penting secara mendasar. Pertama adalah obyek terpahami yang aktual atau esensial (yang berada di alam pikiran) versus obyek aksidental atau material (yang berada di alam eksternal). Yang kedua adalah obyek terkhayalkan atau terinderai yang aktual, yang berbeda dari obyek aksidental atau material. Dalam kedua dikotomi ini jajaran obyek yang pertama dicirikan oleh aktualitas dan esensialitas, dan yang kedua oleh materialitas dan aksidentalitas. Sebuah obyek dikatakan “terpahami secara aktual dan esensial” hanya jika ia secara eksistensial identik dengan, dan hadir dalam pikiran sebagai bagian dari fenomena mental tindak mengetahui. Obyek tersebut diyakini “terinderai secara aktual” atau “terkhayalkan secara aktual” ketika ia menjadi bagian dari tindak penginderaan atau imajinasi kita. Akan tetapi, ketika obyek tersebut secara eksistensial berada di luar akal atau di luar persepsi indera dan imajinasi kita, maka ia memiliki hubungan korespondensi eksterior dengan representasinya dalam pikiran kita. Hanya aspek kebetulan dan aksidentalitas saja yang mencirikan penampakan obyek material yang tergambar dalam pikiran kita pada waktu kita mengkhayalkannya atau menginderakannya dalam persepsi indera. Ini berarti tidak ada kepastian logis seperti bahwa hubungan korepondensi harus tetapi ada, sebab selalu ada ruang bagi kemungkinan logis bahwa pengetahuan S tentang P ternyata tidak benar. Dengan demikian, tampaknya sangat bisa diterima apabila dikatakan bahwa karena korespondensi obyek mental dengan obyek material bersifat aksidental, maka obyek material (yang berada di alam eksternal) harus disebut “obyek aksidental”. Hasilnya, aksidentalitas di sini berarti probabilitas yang senantiasa ada dalam kebenaran ilmiah.
Sesuai dengan itu, manusia memiliki fakultas-fakultas “hal-hal terpahami yang esensial” maupun “hal-hal yang esensial” yang kedua-duanya dirujuk, dalam terminologi Ducasse, sebagai “obyek subyektif”, dan yang dalam terminologi kami disebut “obyek imanen”. Sama halnya, manusia memiliki “obyek-obyek terpahami yang aksidental” maupun “obyek-obyek terinderai yang aksidental”, yang mungkin sekali kedua-duanya disebut oleh Ducasse sebagai “obyek obyektif” apabila dia bisa mempertimbangkan masalahnya secara metafisik; kami telah menyebut obyek-obyek aksidental ini sebagai obyek “transitif” dan obyek “tak hadir” (yakni tidak hadir secara langsung dalam jiwa kita). Makalah ini menegaskan bahwa, dari dua obyek utama ini, yakni obyek imanen dan obyek transitif, hanya obyek imanen yang konstitutif dan esensial bagi teori pengetahuan qua pengetahuan.
Obyektivitas Ganda Informasi-Inderawi
Bukan hanya analisis mengenai pengertian ganda obyektivitas saja yang didasarkan pada teori korespondensi. Tesis Russell tentang “informasi-inderawi” juga melibatkan teori obyektivitas ganda yang sama, meskipun Russell sendiri mungkin tidak mengakui implikasi seperti itu. Akan tetapi, kesan ini menjadi jelas ketika dia bersiteguh bahwa mesti ada hubungan korespondensi antara informasi-inderawi dengan eksistensi independen obyek fisik yang dicerap. Apabila terdapat korespondensi, maka terdapat juga obyektivitas ganda. Bertrand Russell menulis, “Dalam persoalan informasi-inderawi, kita telah menyaksikan bahwa, bahkan apabila obyek-obyek fisik memang memiliki eksistensi independen dan mandiri, mereka mesti sangat jauh berbeda dari informasi-inderawi, dan hanya dapat mempunyai korespondensi dengan informasi-inderawi dengan cara yang sama seperti sebuah katalog mempunyai korespondensi dengan apa-apa yang dikatalogkan.[2]
Russell sama sekali tidak siap untuk mengakui dan menerima lebih jauh bahwa ada implikasi yang harus dipertimbangkan dalam gagasan tentang korespondensi itu sendiri. Implikasinya adalah bahwa seandainya ada obyek-obyek fisik yang eksistensinya tak bergantung pada informasi-inderawi, maka mau tak mau obyek-obyek fisik itu berhak menjadi obyek-obyek obyektif yang berkoresponden dengan entitas-entitas mental (realitas-realitas yang ada dalam pikiran) yang mesti disebut obyek-obyek subyektif, atau seperti dikatakan Russell sebagai informasi-inderawi. Apabila obyek-obyek fisik mempuyai koresponden dengan benda-benda yang dikatalogkan, maka pada kedua dimensi hubungan korespondensi tersebut harus terdapat obyek-obyek yang berkoresponden sedemikian sehingga hubungan korespondensi dua dimensi ini bisa mempunyai makna. Ini adalah implikasi yang logis.
Sebagaimana halnya di satu pihak dari hubungan tersebut terdapat beberapa “obyek fisik” yang bisa menjadi “obyek-obyek obyektif”, maka mesti terdapat pula, di pihak yang lain dari hubungan itu, beberapa “obyek mental” yang harus dipandang sebagai “obyek-obyek subyektif”. Merupakan hal yang jelas bahwa sebuah katalog, agar mempunyai arti dan makna, harus secara subyektif mempuyai pengertian obyektivitas benda-benda yang dikatalogkannya, yang menghubungkan yang disebut belakangan ini dengan obyek-obyek yang disebut terdahulu. Akan tetapi, sebagaimana terbukti, Russell enggan menerima, dalam keadaan apapun bahwa terdapat obyek-obyek subyektif atau obyek-obyek obyektif mental tersebut. Dia menggambarkan masalahnya dengan cara begini, “Di satu pihak ada sesuatu yang kita sadari, katakanlah warna meja saya, dan di lain pihak ada kesadaran aktual itu sendiri, yakni aksi mental memahami sesuatu itu. Aksi mental itu tidak diragukan lagi bersifat mental, akan tetapi apakah ada alasan untuk menganggap bahwa yang dipahami itu sendiri bersifat mental.”[3]
Apabila informasi-inderawi belum merupakan obyek-obyek mental, orang akan berpikir-pikir apakah informasi-inderawi itu sebenarnya.
Kembali kepada sistem filsafat Iluminasi, kita sekarang harus membahas mengapa semua obyek fisik yang secara eksistensial tak bergantung pada pikiran kita diperlakukan dalam sistem tersebut sebagai “obyek-obyek yang tak hadir” yang diperlawankan dengan “obyek-obyek yang hadir”. Dengan mempertimbangkan eksistensi obyek-obyek fisik sebagai sama sekali tak bergantung pada dan tak berpengaruh oleh aksi mental mengetahui kita, maka pokok pembicaraannya menjadi jelas bahwa sifat eksistensi seperti itu terletak di luar kecemerlangan mentalitas eksistensial kita, dan tak pernah identik dengannya. Keadaan “tak tergantung”, “tak terpengaruh”, dan “berada di luar” ini diungkapkan oleh filsafat Iluminasi sebagai keadaan “tak hadir”, dan obyek-obyek yang termasuk dalam keadaan ini diungkapkan sebagai “obyek-obyek tak hadir”. Ini berurusan dengan kata “tak hadir”. Sedangkan tentang kata “hadir”, filsafat Iluminasi dengan landasan yang sama memandangnya dalam pengertian kondisi keidentikan eksistensi pikiran dengn eksistensi aksi-aksi mental dan entitas-entitas mentalnya. Entitas-entitas yang dihadirkan dalam kondisi identitas pikiran subyek yang mengetahui disebut sebagai “obyek-obyek hadir”. Karenanya, “kehadiran”, dalam pengertian yang positif memiliki konotasi yang mirip dengan arti “identitas” dalam eksistensi dengan pikiran, sebagaimana halnya kata “ketidakhadiran” berarti perbedaan dalam eksistensi dari eksistensi pikiran. Dalam pengertian yang negatif, “obyek-obyek yang hadir” adalah obyek-obyek yang tidak absen dari kecemerlangan eksistensial pikiran.
Selama kita mempertahankan sudut pandang terminologi murni filsafat iluminasi, akan tampak tidak ada atau hanya sedikit sekali perbedaan antara fisafat Iluminasi dengan pendekatan empiris Ducasse terhadap pengertian ganda obyektivitas. Akan tetapi, harus dicatat bahwa ada satu langkah lebih lanjut dalam pokok bahasan yang disebut di muka dimana analisis Shadr Al-Din Syirazi (Mulla Shadra) bergerak lebih dalam daripada analisis Ducasse. Yakni perluasan “obyek-obyek subyektif dan esensial” dari keadaan pembatasan pada kesan-kesan indera sebagai obyek-obyek pengalaman-indera, yang tentangnya keduanya sepakat, kepada “obyek-obyek transendental terpahami” yang hanya muncul dalam filsafat eksistensi Mulla Shadra. Tampak sangat jelas bahwa sebagai filosof penganut empirisme, Ducasse tidak merasa berkewajiban untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam masalah “obyek-obyek transendental”, karena obyek-obyek ini terletak jauh di luar lingkup dan wilayah “kesan-kesan indera” Ducasse dan obyek-obyek subyektifnya. Akan tetapi, dalam filsafat Mulla Shadra, perbedaan antara “obyek esensial” dan “obyek aksidental” terutama dirancang untuk berlaku pada semua jenis tindak epistemik, baik yang bersifat empiris maupun transendental, yakni pemahaman transendental mengenai “obyek-obyek terpahami”. “Hal-hal yang terpahami”, kata Mulla Sadra, “Adalah obyek-obyek aktual pikiran kita, jenis obyek yang sepenuhnya bebas dari materi dan bersifat esensial terhadap aksi mengetahui intelektual”.[4]
Obyek Aksidental adalah Obyek Tak Hadir
Dari semua ini kita bisa memahami bagaimana semua situasi dan kondisi ini membenarkan pengandaian-pengandaian oleh para pemikir yang berorientasi pencerahan dan iluminatif, semisal Mulla Shadra, yang menegaskan bahwa benda-benda yang termasuk dalam tatanan dunia eksternal harus dipandang sebagai “obyek-obyek tak hadir” yang diperlawankan dengan “obyek-obyek yang hadir”. Obyek-obyek eksternal ini, dalam pengertian yang sesungguhnya, tidaklah hadir bagi, dan diidentifikasikan dengan, kita dalam dataran eksistensi, akan tetapi konsepsi-konsepsi mereka dan representasi-representasinya memang hadir bagi, dan identik dengan, kita. Dalam hal ini Mulla Shadra menulis, “Sebuah risalah tentang teori bahwa pengetahuan mengenai obyek-obyek ini yang eksistensinya absen dari kita hanya mungkin melalui perantaraan representasi obyek-obyek di dalam diri kita.”[5]
Akan tetapi, menurut pendapatnya, adalah absurd apabila realitas obyektif obyek-obyek ini pernah hadir dalam pikiran kita sedemikian rupa sehingga sebuah obyek eksternal menjadi internal secara total, dan suatu eksistensi yang mandiri jatuh dari dataran eksistensinya ke dataran konsepsi yang hidup dalam keadaan mentalitas kita (yakni berada di alam pikiran kita). Dalam pandangan filosof agung ini, kita masih dapat mencapai komunikasi dengan “obyek-obyek tak hadir” tersebut hanya melalui representasi-representasi yang bersifat perseptual maupun konseptual dalam pikiran kita. Representasi-representasi ini pada mulanya adalah milik kita dan dibangkitkan serta ditegakkan oleh kekuatan intelektual kita.
Marilah kita ringkaskan pembahasan tentang perbedaan antara obyek esensial (imanen) dengan obyek aksidental (transitif). Obyek pengetahuan kita haruslah dipahami sebagai dua jenis:
(a) obyek-obyek esensial, imanen, intrinsik, dan wajib yang merupakan bagian dari aksi subyek yang mengetahui; dan
(b) obyek-obyek aksidental, transitif, dan ekstrinsik yang tidak hadir dalam pikiran dan berada di luar tindak mengetahui. Hubungan antara kedua obyek yang berbeda ini adalah melalui korespondensi bukan identitas.
Karena obyek esensial dan imanen bebas dari keterikatan dengan materi, dia dapat dicontohkan sebagai obyek yang bisa diindera, dibayangkan, dan sangat bisa dipahami secara transendental, bergantung pada derajat pengetahuan abstrak dan kekuatan pemahaman mental kita. Dalam proyek ini bahkan obyek terinderai yang imanen dalam pengetahuan empiris kita menikmati suatu derajat primitif abstraksi dan transendentalitas karena dia bebas dari materi. Artinya dia berada bukan dalam materi, akan tetapi di alam pikiran dan mental.
Di lain pihak, obyek aksidental dan transitif adalah bentuk obyek yang eksternal, material, ataupun immaterial, yang secara eksistensial tidak bergantung pada, dan terpisah dari, keadaan mentalitas kita dan tidak mempunyai kerentanan terhadap derajat abstraksi. Dalam kasus obyek material, dia terikat dan bergantung dengan materi, ruang, dan waktu. Di samping itu, dalam contoh obyek nonmaterial, apabila obyek seperti itu memang ada, dia berdiri sendiri tanpa hubungan pasif dengan materi, ruang, ataupun waktu. Obyek-obyek aksidental dan transitif ini dapat dikomunikasikan hanya dengan menginisiasi representasi-representasi ini, karena berada dalam tatanan konsepsi, mesti dipandang sebagai obyek-obyek imanen yang sebenarnya, dan obyek-obyek yang direpresentasikan oleh mereka –yang eksistensinya tetap berada dalam wujud- harus dianggap sebagai obyek-obyek transitif dan aksidental.
Akhirnya, orang harus memperhatikan bahwa untuk obyek-obyek esensial yang subyektif, yang baru saja kita cirikan sebagai obyek-obyek yang bebas dari materi, persoalan apakah obyek-obyek itu bebas, dan karenanya “abstrak” atau bebas secara esensial, dan karenanya “bersifat bawaan”, bisa diputuskan dengan mudah. Meskipun tidak secara prinsipil menjadi pokok persoalan kita, kita telah menunjukkan bahwa “abstraksi” tidak boleh dianggap sebagai aksi intensional lain yang ditambahkan kepada tindakan mengetahui, mempersepsi, atau menggagas. Sebaliknya, dia tidak lain adalah tindak mengetahui itu sendiri, sedemikian sehingga bahkan dalam bentuk primitifnya dia merepresentasikan bentuk murni obyek material melalui pengalaman-indera. Karenanya, abstraksi tidak boleh dipahami sebagai penjumlahan persepsi atas seluruh obyek material, kemudian memisahkan bentuknya dari materi dengan tetap menyimpan bentuknya dalam pikiran, dan membiarkan materi berada di dunia luar. Kekuatan subyektif mengetahui tidak, dan tidak bisa, mendatangkan apapun dari luar dirinya. Sebaliknya, kekuatan bawaan representasi bentuk murni benda-bendalah yang membuat esensi sederhana pengetahuan kita menjadi mungkin. Atas dasar pencerahan ini, semua jenis dan ragam pengetahuan kita memperoleh derajat transendentalitas yang layak. Persepsi-indera yang empiris, misalnya, karena merupakan representasi-indera dari bentuk murni sebuah obyek fisik, terhitung sebagai bentuk primitif tak sempurna dari obyek transendental.[6] Status eksistensial suatu persepsi-indera tidak pernah dapat diklasifikasikan sebagai obyek material, sebaliknya, dia merupakan entitas immaterial yang mewakili bentuk murni obyek material. Dia mewakili bentuk obyek material tersebut tanpa memiliki materi eksternalnya.
Kesimpulan:
Dalam semua ini kita telah membicarakan persoalan-persoalan mendasar berikut: analisis tentang pengetahuan secara logis menyiratkan bahwa karena obyeknya tidak lain hanya bersifat imanen dan esensial, maka arti obyektivitas obyek ini, seperti yang telah kita tunjukkan bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri. Sebaliknya, obyek transitif, karena secara keseluruhan bersifat aksidental, tidak menjadi bagian dari inti esensial kesadaran dan pengetahuan manusia. Obyek transitif dan aksidental dengan demikian menjadi konstitutif hanya ketika yang dipersoalkan adalah pengetahuan tentang obyek eksternal. Ini adalah spesies pengetahuan tertentu yang dalam terninologi kita akan dinamakan “pengetahuan dengan korespondensi” (ilmu hushuli) yang diperlawankan dengan “pengetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri). Akan tetapi, bentuk primordial pengetahuan adalah “pengetahuan dengan kehadiran”, dan terlebih lagi dalam teori pengetahuan, obyek transitif eksternal sama sekali tidak berfungsi sebagai bagian pembentuk konsep umum pengetahuan. Dari semua ini dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa gagasan prospektif kita tentang “pengetahuan dengan kehadiran”, sebagaimana dicirikan oleh swa-obyektivitas, benar-benar dan dengan sendirinya dijelaskan oleh bentuk dasar pengetahuan, tanpa mempunyai obyek fisik eksternal yang berkorespondensi dengan obyek yang hadir secara esensial. Akan tetapi, “pengetahuan dengan kehadiran” secara harfiah termasuk, bahkan merupakan contoh utama, dalam kategori pengetahuan seperti itu, sebab dia bersifat neotic dan obyektif dalam hakikatnya dan memenuhi semua persyaratan esensial konsepsi pengetahuan, mekipun tidak mempunyai obyek transitif yang aksidental. Dengan demikian, tidak terdapat alasan untuk mengingkari dan menolak pengertian obyektivitas jenis pengetahuan ini semata-mata karena dia tidak mempunyai obyek luar dan eksternal. Demikian pula, tidak ada alasan untuk diperlukannya semacam transubyektivitas[7] dalam kesadaran mistik yang, seperti akan kita lihat, merupakan sejenis “pengetahuan dengan kehadiran”. Dinyatakan secara ringkas, ilmu hudhuri secara harfiah berarti pengetahuan dengan kehadiran karena dia ditandai oleh keadaan neotic dan mempunyai obyek imanen dan esenssial yang menjadikannya pengetahuan swaobyek (self–object-knowledge), yang memadai untuk definisi pengetahuan seperti itu tanpa membutuhkan obyek transitif dan aksidental yang berkoresponden, selain obyek yang imanen dan esensial.
Referensi:
[1] . Syirazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. 3, pasal 10, bab 7, hal. 313.
[2] . B. Russell, The Problems of Philosophy(London, 1976), hal. 37-38.
[3] . Op.cit., hal. 41.
[4] . Sadr ad-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, jilid pertama, pasal 10, hal. 313-315.
[5] . Op. cit., hal. 20.
[6] . Op. cit., hal. 313.
[7] . Lihat W. T. Stace, Mysticism and Philosophy (Philadelphia, 1960), hal. 146-52.
(teosophy/ABNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar