Akal dan Cahaya Muhammad, Ciptaan Pertama Tuhan
Oleh: Mohammad Adlany
Akal, yang dalam istilah agama dan al-Qur’an adalah malaikat, adalah sebuah substansi yang mujarrad (non materi) sempurna, baik secara dzat maupun secara perbuatan. Dia bukan saja non materi dan non jasmani, bahkan juga tidak membutuhkan keberadaan badan atau jasmani untuk melakukan aktifitas-aktifitasnya, walaupun hanya sebagai sarana saja, baik di alam tabiat (alam materi) maupun di alam metafisik. Eksistensi non materi semacam ini dinamakan juga dengan “eksistensi non materi sempurna”.
Tentu saja, eksistensi yang non materi murni ini tidak boleh disalah artikan dengan akal manusia yang dipergunakan untuk berpikir dan merupakan salah satu dari fakultas jiwa mereka, meskipun jiwa manusia pada tahapan ta’aqqul(pemahaman universal, intelektual) memiliki hubungan dan berinteraksi dengan eksistensi-eksistensi non materi dan alam akal ini, serta bisa menggapai alam tersebut sesuai dengan kapabilitas wujudnya.
Dalam sistem eksistensi, terdapat sebuah alam yang bernama “alam akal” dan alam ini merupakan perantara bagi terbentuknya alam yang lebih bawah.
Nah sekarang, eksistensi terbaik dari akal tidak lain adalah apa yang disebut dengan “akal pertama” kadangkala disebut pula dengan “ciptaan pertama” yang tunggal dan aktual, dan tidak bergantung pada materi, waktu, dan tidak memiliki potensi.
Akal pertama ini dalam menciptakan dan memberikan pengaruh tidak membutuhkan sesuatupun selain pada dzat suci Ilahi. Di dalam akal pertama, seluruh kesempurnaan Tuhan akan nampak dan termanifestasi. Eksistensi ini merupakan makhluk yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang ada, dan dia merupakan eksistensi yang paling mulia, paling tinggi, paling tidak berangkap, dan paling kuat di antara eksistensi-eksistensi lainnya.
Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan akal pertama ini juga merupakan sebuah wujud dan eksistensi yang fakir, membutuhkan dan bergantung secara mutlak pada Wujud Wajib (baca: Tuhan).
Berdasarkan prinsip keindentikan antarasebab dan akibat, dalam pembahasankausalitas (di dalam filsafat) dikatakan bahwa akibat merupakan manifestasi dan penampakan dari sebab. Dan pada prinsipnya, akibat merupakan tahapan dibawah sebab-nya. Berdasarkan prinsip yang telah disebutkan di atas, dengan semakin tinggi dan semakin mulianya kedudukan sebuah sebab, maka wujudakibat yang akan ditimbulkannya pun akan semakin tinggi dan semakin mulia pula. Sebab yang terbaik akan memilikiakibat yang terbaik pula. Dengan demikian, akibat pertama dari Sang Pencipta (Sebab pertama) adalah akal pertama dimana seluruh kesempurnaan Tuhan ini termanifestasi dan tertampakkan padanya.
Dari berbagai riwayat yang berasal dari Rasulullah saw dan para Imam Maksum As yang sampai ke kita, kita bisa menemukan berbagai ungkapan tentang “makhluk pertama” atau “ciptaan pertama” ini. Sebagian sepakat bahwa nur dan cahaya Rasulullah saw-lah yang merupakan makhluk pertama Tuhan.
Akal mampu memberikan pengaruh pada eksistensi-eksistensi alam tabiat dan tidak sebaliknya, yakni dirinya sendiri sama sekali tidak menerima pengaruh dari eksistensi-eksistensi alam tersebut. Pada prinsipnya eksistensi non materi sempurna ini benar-benar konstan dan tidak mengalami perubahan, pergantian, maupun gerak pada dzatnya. Dan karena masa, ukuran gerak dan yang sejenisnya bersama dengan alam tabiat, maka non materi sempurna inipun berada di luar zaman dan ruang sehingga menisbatkan masa dan ruang kepadanya tidak akan bermakna.
Perlu untuk diperhatikan bahwa akal dengan makna “eksistensi non materi sempurna” ini tidak boleh disalah artikan dengan salah satu dari kekuatan dan fakultas jiwa manusia yang dipergunakan untuk berpikir, berkontemplasi, dan untuk menemukan ide-ide baru.[1]
Tentu saja, sebagaimana alam penciptaan dan alam makhluk yang dari satu sisi diklasifikasikan ke dalam tiga alam secara global yaitu alam materi, alam mitsal, dan alam akal, maka pemahaman manusia pun diklasifikasikan ke dalam pemahaman inderawi, imajinasi, dan akal (pemahaman universal).
Dan jiwa manusia dalam setiap tahapan pemahaman dan pemikiran berinteraksi dengan alam yang sesuai dengan tahapan penginderaan yang dimilikinya.
Dari sinilah jiwa dan kekuatan pemahaman manusia pada tahapan pemahaman universal berinteraksi dengan alam non materi sempurna (yaitu alam akal) dan dia akan mendapatkan kemuliaan dari alam tersebut sesuai dengan kapabilitas, keluasan, dan kualitas wujudnya.[2]
Akal, Ciptaan pertama
Para filosof Ilahi, baik dari aliran Peripatetik, Iluminasi, maupun para pendukung Hikmah Muta’aliyah seluruhnya sepakat bahwa alam akal itu ada.
Dan alam ini merupakan perantara untuk penciptaan alam-alam yang di bawahnya (meskipun di dalamnya masih terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah akal serta metode perbanyakan akal). Terbaiknya eksistensi akal tidak lain adalah akal pertama atau ciptaan pertama yang memiliki karakteristik-karakteristik berikut:
Wahid dan tunggal;Aktual (lawan potensi);Wujudnya tidak bergantung pada materi, masa, dan potensi;Tidak membutuhkan sesuatu yang lain selain Dzat IIahi dalam mewujudkan dan memberikan pengaruh.
Dari pembahasan filsafat berkenaan dengan teori sebab dan akibat (Prinsip Kausalitas), kaidah yang telah terbukti di dalam teori ini adalah “adanya kemiripan dan keidentikan (as-sinkhiyat) antarasebab dan akibat“.
Konsekuensi yang bisa diambil dari prinsip ini terbukti bahwa akibatmerupakan manifestasi dan tajalli darisebab, dan pada prinsipnya bisa dikatakan bahwa akibat merupakan tahapan menurun dari sebab-nya sendiri.
Berdasarkan prinsip di atas, dengan semakin tinggi dan semakin mulianyasebab, hal ini juga akan meniscayakan semakin tinggi dan semakin mulianyaakibat-nya. Demikian juga dengan semakin baik, semakin sempurna, dan semakin kuatnya sebab, akibat yang akan ditimbulkannya pun akan semakin baik, semakin sempurna, dan semakin kuat.
Seluruh kebaikan dan kesempurnaan Tuhan akan hadir dan termanifestasi di dalam akal pertama. Akal pertama ini merupakan eksistensi yang paling sempurna di alam penciptaan dan di antara seluruh makhluk yang ada, ia merupakan eksistensi yang lebih mulia, lebih sempurna, lebih tidak berangkap, dan lebih kuat di antara makhluk-makhluk lainnya.
Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, hubungannya dengan Tuhan (Wajibul Wujud) seperti sebuah kebutuhan, kefakiran, dan kebergantungan wujud, dan karena itulah sehingga ciptaan pertama ini dengan segala kesempurnaan wujud yang dimilikinya masih tetap diselimuti oleh ketidaksempurnaan dzat dan keterbatasan eksistensial jika dibandingkan dengan Yang Maha Sempurna. Sebuah keterbatasan yang dibutuhkan untuk menjadi sebab bagi alam lainnya dan dalam posisinya sebagai makhluk Ilahi.
Keterbatasan eksistensial ini akan menentukan tingkatan, menetapkan derajat, menegaskan tahapan wujud akal pertama, dan meniscayakan kuiditas (mahiyah) kemakhlukannya. Karena kuiditas (mahiyah) itu merupakan batasan wujud itu sendiri, dengan demikian setiap eksistensi terbatas niscaya memiliki mahiyah.
Akal pertama, meskipun merupakan sebuah eksistensi yang tunggal (yakni akal pertama itu hanya satu), akan tetapi di dalam esensinya memiliki semacam keragaman dan kejamakan. Dan keragaman inilah yang memungkinkan untuk menciptakan keberagaman yang lain. Hal ini berlawanan dengan Dzat Tuhan yang sama sekali tidak memiliki keragaman dan kejamakan dalam dzat-Nya.[3]
Perspektif Irfan
Sebagaimana halnya pembahasan Irfan lebih tinggi dari pembahasan filsafat, maka kaidah filosofi yang terdapat dalam irfan memiliki warna irfani tersendiri yang lebih dalam, lebih teliti, dan lebih cermat dibandingkan dengan metode filsafat.
Pancaran (ash-shudur) yang merupakan unsur asli dari kaidah “al-wahid“[4] memiliki makna khas dalam filsafat seperti “penciptaan”, “sebab”, dan sepertinya. Dan makna filsafat ini sama sekali berbeda dengan makna irfaninya seperti “tajalli”, “manifestasi” dan “penampakan”.
Ketika dalam filsafat dan irfan terdapat perbedaan unsur-unsur asasi dalam kaidah di atas, dan maknanya dalam irfan lebih tinggi dari pemahaman dalam filsafat, meskipun prinsip hukum kausalitas dalam filsafat dan irfan tidak bisa ditafsirkan ke dalam satu batasan, maka secara pasti, makna kaidah “al-wahid” pada dua cabang ilmu akal (filsafat) dan penyaksian mistikal (irfan) ini akan menjadi berbeda.
Dan kesimpulannya, “ciptaan pertama” yang terdapat dalam “pemikiran intelektual kaum filosof” dengan “penampakan pertama (tajalli pertama)” dalam “penyaksiaan kaum Arif” terdapat perbedaan asasi.
Dengan demikian, jika eksistensi-eksistensi merupakan realitas-realitas yang bergradasi dari satu hakikat wujud yang tidak terbatas dimana Tuhan merupakan eksistensi yang paling tinggi dan paling sempurna, maka tidaklah sulit memberikan ilustrasi tentang “terpancarnya” atau terciptanya suatu realitas yang bergradasi yang secara mutlak bergantung kepada eksistensi yang paling tinggi (baca: Tuhan).
Dengan berpijak pada hal itu, bisa dikatakan bahwa realitas tunggal (akal pertama atau tajalli pertama) yang terpancar dari Tuhan adalah suatu eksistensi tunggal yang bergradasi yang secara mutlak bergantung kepada Sang Pencipta pada keseluruhan hakikat wujudnya mulai dari realitas yang terendah hingga pada realitas yang tertinggi.
Berdasarkan konsep gradasi wujud, yang terpancar dari Tuhan adalah suatu realitas hakiki yang bergantung secara mutlak kepada-Nya dan tidak memiliki sedikitpun kemandirian eksistensial (atau dengan ungkapan yang lebih cermat dikatakan bahwa realitas yang terpancar itu tidak lain adalah kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri yakni bukan bermakna bahwa ada suatu realitas yang bergantung kepada Tuhan).
Dengan asas ini, maka tidak bisa ditegaskan adanya kesatuan mutlak, kenonmaterian mutlak, dan yang sepertinya pada seluruh eksistensi termasuk Dzat Tuhan.
Dan kesimpulannya, ayat yang berbunyi “Dan perkara kami kecuali hanya satu” tidak bisa ditafsirkan secara cermat, karena dalam perspektif itu, walaupun Tuhan diletakkan sebagai wujud yang memiliki kesatuan hakiki, akan tetapi kesatuannya bersifat nisbi dan bukan hanya milik-Nya, yakni hubungan Tuhan dengan “pancaran-Nya” tidak memiliki syarat dan merupakan kesatuan murni, namun karena Dzat Tuhan sendiri bersyarat dengan ketiadaan kejamakan yakni Dzat-Nya bukan tidak bersyarat sama sekali, oleh karena itu, dalam inti Dzat-Nya sendiri memiliki syarat (yakni ketiadaan kejamakan dan ketidakberangkapan) yang menjadi penghalang bagi kemutlakan Dzat-Nya.
Dan ketika Dzat Tuhan memiliki syarat, maka seluruh realitas selain-Nya pun mempunyai syarat dan tidak bersifat mutlak serta sesuatu yang terpancar dari Dzat Tuhantidak lain adalah satu kesatuan yang terbentang secara tertutup. Realitas yang terpancar itu bukanlah rahmat Tuhan (rahmatMunbasith) yang mutlak yang terbentang secara tak terbatas sebagaimana yang ditegaskan oleh irfan.
Irfan, disamping memiliki perspektif yang mendalam dan tinggi atas unsur asli dari kaidah al-wahid itu juga memiliki penjabaran yang baru atas prinsip kausalitas, mampu merumuskan suatu teori tentang “kesatuan bayangan” (yakni suatu realitas tunggal dan mutlak yang tidak lain merupakan bayangan dari ketunggalan dan kemutlakan Tuhan) yang tidak hanya mencakup dua rahmat Tuhan (yakni rahmat Aqdas danMuqaddas) bahkan lebih luas dari itu (yakni rahmat Munbasith atau Nafas Rahmaniyah). Karena apa pun warna dan bentuk tajalli dari Tuhan berada dalam cakupan rahmat Munbasith dan Nafas Rahmaniyah yang tidak memiliki syarat sama sekali kecuali syarat kemutlakan itu sendiri dan tidak ada batasannya sama sekali kecuali keluasan itu sendiri serta tidak memiliki kuiditas sama sekali atau yang serupa dengannya.
Kesimpulannya, pembahasan tentang kebergantungan kuiditas (al-imkan al-mahuwi) dalam filsafat Peripatetik dan Iluminasi, bahkan pembahasan tentang kebergantungan eksistensial (al-imkan al-faqr) dalam Hikmah Muta’aliyah sama sekali tidak berkaitan dengan Nafas Rahmaniyah itu. Karena kebergantungan eksistensial itu adalah “wujud hubungan” (al-wujud al-râbeth) itu sendiri yang murni bergantung kepada Realitas Yang Mandiri, dan sesuatu yang sama sekali tidak memiliki wujud bagaimana mungkin memiliki kebergantungan eksistensial ala filsafat itu.
Namun, kebergantungan eksistensial itu, dalam irfan, bermakna manifestasi, bayangan, tajalli, dan ayat yang tidak dikategorikan sebagai realitas wujud (karena wujud hanya dinisbahkan kepada Yang Maha Sempurna). Dalam hal ini tidak ada pembahasan tentang adanya kerangkapan antara wujud dan kuiditas dalam manifestasi pertama, begitu pula tidak ada gagasan tentang adanya ciptaan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Karena sebagaimana Tuhan – Yang Awal dan Yang Terakhir, Yang lahir dan Yang Batin – tidak memiliki dua realitas (tidak ada dua Tuhan), makaNafas Rahmaniyah dan Rahmat Munbasith-Nya yang tidak lain adalah manifestasi dari “Dia Yang Awal dan Yang Terakhir, Dia Yang Lahir dan Yang Batin” juga tidak mempunyai dua, tiga, dan seterusnya.Nafas Rahmaniyah-Nya hanya satu dan tunggal, sebagaimana Dia Yang Maha Esa.
Akal Pertama = Cahaya Muhammad
Alam mayor (alam kabir) adalah kumpulan dimensi ruhani dan jasmani atau gabungan batin dan lahir. Alam mayor sebagai bentuk hakikat insan, wajah hakiki manusia, dan khalifah gaib. Manusia sempurna merupakan manifestasi sempurna hakikat insaniah, tajalli kesempurnaan segenap alam mayor, pengatur alam, dan hakikat manusia sempurna senantiasa dalam kegaiban karena ia tersifati dengan sifat Ilahi yang juga senantiasa berada dalam kegaiban.
Sebagaimana khalifah dan hakikat insaniah merupakan perantara rahmat rahmaniah (alam takwiniah) dan rahmat rahimiah (alam tasyri’iah) Tuhan atas segenap realitas ruhani dan jasmani, karena perantara dan wasilah dalam rahmat Ilahi adalah akal pertama, dan akal pertama merupakan manifestasi pertama hakikat insaniah seperti sabda Rasulullah saw, “Yang dicipta pertama kali oleh Tuhan adalah cahayaku.” Maka dengan ini, khalifah adalah gaib dan alam bersifat lahir dan nampak (tidak gaib).
Khalifah terposisikan sebagai jiwa bagi alam, sebagaimana posisi jiwa (yang bersifat gaib) terhadap badan (yang bersifat nampak).[5]
Karena Tuhan Yang Maha Tinggi menciptakan Cahaya Muhammad saw itu, maka dalam Cahaya Muhammad ini terkumpul secara tunggal segenap jiwa para nabi dan wali sebelum mereka dihadirkan secara partikular di alam eksternal. Realitas yang tunggal ini berada pada tingkatan akal pertama.
Kemudian jiwa-jiwa tersebut mengalami manifestasi dan mengalami penurunan pada tingkatan Lauh Mahfuz yang biasa disebut dengan Jiwa Universal (sebagai Pengatur ‘Arsy). Setelah itu, jiwa-jiwa itu mendapatkan cahayanya masing-masing yang secara esensial berbeda satu sama lain sedemikian sehingga mereka hadir di alam materi ini dengan cahaya-cahaya mereka sendiri yang berbeda itu.[6]
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1] . Ubudiyyat Abdurrasul, Dar Omadi bar Falsafe-ye Islami, Muassasah Omuzesy wa Pozuhesyi Imam Khomeni, hal. 186.
[2] . Allamah Thabathabai, Bidayatul Hikmah, bagian kesebelas, pasal kedua, hal. 14-0-143 dan bagian keduabelas, pasal kesembilan, hal. 171-172. Nihayatul Hikmah, bagian kesebelas, pasal, ketiga, hal. 243-246 dan bagian keduabelas, pasal kesembilan, hal. 313-323. Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta’aliyah, jilid pertama, hal. 303 dan jilid ketujuh, hal. 262-276. Taqi Misbah Yazdi, Ta’liqah Nihayatul hikmah, hal. 335 dan 460.
[3] . Ali Syirwani, Tarjemeh wa Syarh-e Bidayatul Hikmah, jilid keempat, hal. 236, MakrkazeIntesyarat Daftar-e Tablighat-e Islami Hauzah Ilmiyah Qom.
[4] . Salah satu pembahasan dalam filsafat Islam adalah berkaitan tentang kaidah “al-wahid la yashduru anhu illal wahid”. Lihat: Allamah Thabathabai,Bidayatul Hikmah, bagian ketujuh, pasal keempat, hal. 113-114 dan Nihayatul Hikmah, bagian kedelapan, pasal, keempat, hal. 165-167.
[5]. Ayatullah Jawadi Amuli, Talkhish Tahrir Tamhidul Qawa’id, hal. 50-53, Intesyarat az-Zahra.
[6]. Ayatullah Hasan Zodeh Amuli, Syarh-e Fushushul Hikam, hal. 52, Sozemon Job wa Intesyarat-e Wezarat-e Farhang wa Irsyad. Dan, Syarh-e Fushushul Hikam Jamy.
(teosophy/ABNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar